Senin, Juli 18, 2016

Dua Pintu Satu Nama

“Dua Pintu Satu Nama”
Isma Az-Zaiinh
060616

Dua pintu satu nama,
Bukan karena apa-apa
Hanya saja kita memang sama (?)
Lalu,
Untuk apa sama kalau kau membeda?
Entahlah,
Sejauh mana kumemandang sama
Tetap saja kau  ingin berbeda
Cukup,
Biarlah kugali lebih dalam hati
Mungkin saja, ku akan menemukan ruang baru
Tempat untuk segala yang sama
Tak lagi beda
Tak lagi tak sama
Atau (?)
Mungkin saja, tidak
Anggap saja
Itu ikhtiar terakhir untukku membuat sama
Sekali, lagi,
Torehan akhir

Dalam persamaan yang berbeda.. .

Sayap yang Patah

“Sayap yang Patah”
Isma Az-Zaiinh
060616

Entah kapan masanya
Kau akan menemukanku terjatuh
Dengan sisa angan yang luruh
Satu,
Dua,
Entah berapa kali kumencoba untuk bangkit
Tertatih,
Kau takkan pernah menemukanku kembali
Entah kapan masanya
Kau akan menemukanku tersimpuh
Dengan sisa cita yang kian merapuh
Terseret kembali dalam dengung itu
Pilihan terberat,
Bara dikedua tanganku
Entah kapan masanya
Kau akan menemukanku berurai peluh
Dengan kelebat rayu, caci, dan keluh
Memeluk erat jiwa yang terkulai
Entah kemana ia akan bersemayam
Menebar angan tak sampai
Jangan,
Jangan lagi ada maki
Meski itu dalam bisu
Tak tau kah?
Bisa jadi hanya karena kau yang tak tahu
Entah kapan masanya
Kau akan menemukanku dengan sayap yang patah
Entah,

Petuah mana yang sudi membangunkanku untuk kembali melangkah (?)

Sabtu, Mei 28, 2016

Aku, Kau, dan Al-Qur'an

“Aku, Kau, dan Al-Qur’an”
Isma Az-Zaiinh
10-06-16


... وَلَآ تَسْأَلُوْنَ عَمَّا كَانُواْ يَعْمَلُوْنَ ۝  (البقرة: 141)    
Shodaqallāhul ‘adzīm"
Baru satu juz. Aku menghentikan muraja’ahku. Jarum jam menunjukkan angka dua. Masih ada waktu panjang untuk menantikan adzan subuh. Aku masih duduk di atas sajadah berbalut mukenah berwarna hijau dengan Al-Qur’an yang setia menemani. Al-Qur’an bersampul emas yang menjadi saksi bisu kisah perjuanganku yang kumulai enam tahun silam.
Kuusap pelan halaman Al-Qur’an yang baru selesai kubaca. Akhir juz satu. Ada bercak gelap di sana. Bekas tetes air mata yang telah lama mengering. Namun jejak memori yang tersimpan di dalamnya takkan pernah kering. Sesekali membasuh hati dan membuat basah oleh tetes air mata yang kembali mengalir. Seperti kali ini. Setetes bulir bening kembali terjatuh. Menyeret memoriku ke masa enam tahun lalu. Kala itu, keluargaku sowan ke ndalem Abah Kyai, memasrahkanku untuk mondok di Ponpes Durrotu Ahlissunnah Waljama’ah.
“Ngapalke Al-Qur’an yo nduk, ngaji karo kuliahe sing sregep, lanjut S2 yo, ben koyo Mbak Muz.” Dawuh Abah Kyai. Sekejap tertegun. Seolah beliau tahu kegundahanku selama ini. Menelisik hingga ke relung hati. Ada keinginan terpendam di sana. Lama tak mampu kuungkapkan.
“Ng, Nggih Bah.” Ucapku tergagap dihadapan Abah Kyai dan kedua orang tuaku.
Itulah awal dari lika-liku perjalanku. Sebuah perjalanan yang tak mudah. Perjalanan untuk sebuah cita yang kubalut dalam keniatan dan iringan restu kedua orang tua. Berazam untuk menjaga kalam-kalam suci-Nya. Mematri dalam hati dan ingatan hingga menjadikannya nafas dalam setiap helaan kehidupan.
###
Kutersenyum mengingat kejadian itu. Al-Qur’an bersampul emasku masih dalam genggaman. Kubuka lembar-lembar berikutnya. Juz dua, juz tiga, hingga sampai pada juz enam. Ingatanku kembali terperosok ke masa silam. Seringkali kutergugu kala itu. Mencipta bercak yang tak lagi sedikit. Menoreh sejarah dalam tiap genangannya.
“Lho, niat awalmu opo nduk? Kuliah sambil mondok? Atau mondok sambil kuliah? Wis iku dipikir sek sing tenanan.” Dawuh beliau kala kusowan untuk meminta saran dari beliau. Entah, ini kali keberapa kumenangis dan menumpahkan semua keluh kesahku di hadapan beliau. Duh, Abah, maafkan diri tak tak tahu diri ini, yang seringkali menyita waktumu hanya untuk membagi air mata.
 “Yo prioritaske sing dadi kewajibanmu mbak. Ora usah melu organisasi nek ngabotke sampean. Madrasah Diniyah kan yo ora wajib kanggo santri tahfidz tho? Nek kewalahan yo ora usah melu Madin. Sing penting Al-Qur’ane mbak. Nderes neng ndi wae iso tho? Ora usah isin ngelakoni penggawean apik. Sing penting Allah ridho, ora usah nggolek ridhone menungso, ora bakal ono enteke.” Dawuh Ustadzahku.
Benar. Aku memang harus bisa memilih mana yang diutamakan. Akhirnya aku melepas semua organisasi kampus yang kuikuti. Seperti dawuh Abah, kita harus bisa mengukur kadar kemampuan diri. Jika merasa tidak mampu maka jangan mengambil tanggung jawab yang nantinya tidak bisa kita pertanggungjawabkan.
###
Kini ujung mataku mulai berembun. Ada tetes yang menggenang di sana. Tak menunggu hitungan waktu. Bulir bening pun mengalir melewati pipi. Kembali kubuka lembar-lembar Al-Qur’anku. Perlahan. Hingga pada juz 12 kuterhenti. Membuka kembali memori yang terselip rapi dalam tiap jengkal kalam indah-Nya. Kala hatiku menuai uji.
 ‘Assalamu’alaikum. ‘Afwan, apakah benar ini mbak Husna?’  Ada sebuah sms.
‘Wa’alaikumussalam. Iya benar. ‘Afwan, ini siapa ya?’ Balasku.
‘Saya Ashdaq delegasi MTQ dari UIN Sunan Kalijaga Jogja. ‘Afwan mbak, sepertinya piala kita tertukar. Kok saya menerima piala juara dua cabang lomba Musabaqah Hifdzil Qur’an  atas nama Zakiyatul Husna ya?’ Balasnya panjang lebar.
Aku segera mengecek pialaku. Benar. Piala di hadapanku bukan milikku. Melainkan atas nama Muhammad Ashdaq Fillah juara dua cabang lomba Musabaqah Tafsiril Qur’an.
‘Iya mas. Piala kita tertukar. Terus bagaimana ini? Saya sudah diperjalanan menuju Semarang.’ Balasku yang kala itu memang sedang di bus perjalanan pulang bersama rombonganku.
‘Ya sudah mbak, nggak papa. Semoga saja nanti kita ditakdirkan bertemu, jadi bisa sekalian nuker piala. He.’ Balasnya yang seketika membuatku tertawa tertahan.
Hari berganti hari, minggu, hingga sampai pada bilangan bulan. Komunikasi semakin intensif. Tidak hanya melalui sms. Kami pun sudah bertukar semua sosmed, mulai dari facebook, twitter, wa, wattpad, tumblr, bbm, instagram, line, hingga blog.
Entah bagaimana aku membahasakannya. Perbincangan kami mulai merambah pada topik yang tak lagi ringan. Seringkali ia menanyakan kepadaku hal yang langsung membuat dahiku berkerut. Sekali itu langsung menjadi diskusi panjang diantara kami. Tak hanya sekali. Bahkan seolah telah menjadi rutinitas.
Hingga lambat laun hal itu mengganggu aktifitas hafalanku. Menyadarkanku bahwa langkahku keliru. Apa bedanya aku dengan mereka yang selama ini aku do’akan agar diberi hidayah oleh Allah. Memperbaiki diri. Menjaga ikhtilat dengan lawan jenis. Menjaga muru’ah. Aku malu pada diriku sendiri. Salahkah? Bukan duniaku-kah? Derai air mata ini semakin menjadi. Deras tak terkendali.
‘PING!!!’
‘Keif?’ Balasnya.
‘Ada yang hilang.’
‘Apanya yang hilang?’
‘Diriku yang dulu, yang tak mengenal ikhwan.’
Lama tak ada balasan. Mungkin ia pun mulai menyadari kekeliruan kami selama ini.
Boleh minta tolong?’ Akhirnya kumembalas.
‘Insya Allah, minta tolong apa?’
‘Unfollow semua sosmedku’
Lama lagi tak ada balasan.
‘Aiwa, bismillah, demi menjaga izzah dan iffahmu, aku rela.’ Balasnya kemudian.
‘Tapi Anti beneran nggak mau pacaran kan?’ Balasnya lagi.
‘Insya Allah, do’akan ya.’
‘Du’a bidu’a. Jomblo sampai halal. Hamasah.’
‘Aamiin.’  Hanya itu balasku. Semenjak itu tak ada lagi komunikasi antara kami. Entah di sana, air mataku telah menganak sungai. Kekuatan apa yang mendorongku untuk mengambil keputusan ini? Hanya azimat dari Ustadzahku yang membuatku tenang kala kumenceritakan kepada beliau akan ujian hatiku ini. Ikhlaskanlah untuk mengikhlaskan, karena yang menjaga pasti akan dijaga. Bismillah, demi Al-Qur’an, aku mengikhlaskanmu.
###
Kumenghela napas. Sekadar mengurangi derai yang tak mereda. Mukenah hijauku benar-benar telah basah oleh air mata. Kubuka lembar berikutnya. Sesekali kutercekat kala ingatanku terseret ke memori silam. Hingga sampai pada juz 18. Kala kuhampir saja melepas Al-Qur’an dalam genggamanku.
Hampir sebulan lebih aku terbaring tak berdaya. Entah itu di rumah atau di rumah sakit. Tak ada diagnosa jelas mengenai sakitku. Bahkan ada yang mengatakan aku diganggu makhluk halus.
Hampir saja kumelepas Al-Qur’an dalam genggamanku kala keluargaku merekomendasikan hal itu kepadaku. Sampai pada suatu hari Ustadzah menjengukku.
“Sing sabar mbak. Ujian wong ngapalke ncen akeh. Salah sijine sakit. Eling ngendhikane Abah Kyai tho? Mau, Mampu, Menyempatkan. Wis, iku kuncine mbak. Aku yo wis pernah ngalami abote proses ngapalke. Sampean istirahat sek. Tenangno pikiran. Nek wis sehat, ngaji meneh mbak. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. Sopo ngerti mbak, sakit iki dadi dalane sukses dunia akhirat. مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ” Sambung beliau.
“Aamiin” Ucapku lirih dengan derai air mata. Meraih tangan beliau dan menciumnya.
Panjang lebar beliau menasehatiku. Serupa gerimis dalam gurun sahara. Hatiku kembali teduh. Terkumpul kembali kemantapan hati yang kutekadkan tiga tahun silam.
###
Alhamdulillah.” Desahku lirih. Tetap dengan derai yang agak sedikit mereda.
Kembali kubuka lembar Al-Qur’an yang kugenggam. Satu per satu. Hingga sampai pada juz 22. Kala kuhadapkan pada dua pilihan. Hingga aku pun tak tahu harus menangis atau bahagia.
Suatu keajaiban. Aku sembuh total dari semua diagnosa dokter yang berbeda-beda. Entah ini gangguan jin atau bukan. Allah telah mencabut ujian sakitku. Alhamdulillah. Segera kukejar ketertinggalanku, baik itu kuliah maupun Al-Qur’anku. Hingga aku berhasil menyelesaikan S1-ku. Wisuda.
“Nduk. Kenal Furqon?” Tanya Ayahku dalam perjalanan pulang usai wisuda. Sedikit kaget. Kumenatap Ayahku yang tetap khusyuk menyetir mobil yang kami kendarai. Berharap kumenemukan raut yang berbeda dari guratan wajah beliau. Sepertinya aku tahu akan kemana arah pembicaraan Ayahku.
“Kenal Bah.” Jawabku singkat.
“Sesuk meh dolan ning omah nduk.”
“Badhe nopo nggih Bah?”
“Nglamar kowe tho nduk.” Deg. Kuarahkan kembali pandanganku pada beliau. Tak ada raut yang berubah. Sepertinya beliau serius. Benar, dugaanku.
“Al-Qur’ane kulo dereng khatam Bah.” Sanggahku.
“Kan yo iso ngenteni tho nduk.” Skakmat. Bagaimana ini? Entah kenapa aku tak begitu antusias menanggapinya. Seolah hatiku telah tertutup. Namun siapa yang telah menutupnya? Aku tak tahu.
“Duko Bah. Kulo khatamke Al-Qur’an kalih S2 riyin. Nembe kulo mikir jodoh nggih Bah.”
“Yo wes, karepmu nduk.” Jawab Ayahku datar. Sepertinya beliau tahu pilihanku tak bisa diganggu gugat.
Dua tahun pun berlalu. Aku wisuda S2 sekaligus wisuda khataman Al-Qur’anku. Tak kusangka aku bisa melaluinya. Hingga tiba-tiba saja ada seseorang yang datang kerumahku. Sendiri. Tak ada pemberitahuan sebelumnya. Ia melamarku.
###
Kali ini aku tersenyum, tidak, lebih tepatnya tertawa yang tertahan.
“Lho, kenapa dek? Kok berhenti muraja’ahnya?” Sahut sosok yang duduk di depanku. Sama sepertiku, di atas sajadah dengan Al-Qur’an digenggaman. Ia baru tersadar kalau sedari tadi aku menghentikan muraja’ahku. Mungkin karena ia terlalu khusyuk menikmati muraja’ahnya.
“Nggak papa mas.” Sahutku sambil mengusap air mataku dengan mukenah hijau yang kukenakan.
“Lho, kok malah nangis? Kenapa dek?” Ucapnya dengan nada sedikit khawatir.
“Nggak papa mas. Hanya terharu dengan skenario Allah. Alhamdulillah, Husna bisa bertemu lagi dengan piala Husna yang tertukar” Ucapku yang membuat kami tertawa bersama.
 “Ya Habībatiy hayya muroja’ah mā’an. Tadi sudah dapat berapa juz? Sini mas semakkan.”
“Baru satu juz. Aiwa, Abiy.” Jawabku dan aku memulai muraja’ahku.

Benar. Ia adalah Muhammad Ashdaq Fillah. Seseorang yang diam-diam telah menutup hatiku. Seseorang yang seringkali terlintas dalam ujung tengadah dan sujudku. Seseorang yang diam-diam menyelipkan namaku dalam do’anya hingga menguntai anak tangga. Belum ada perjumpaan kami sebelumnya. Hanya saja, mungkin do’a kami yang seingkali bertemu di Arys. Hingga Allah menyatukan kami di dalam mihrab cinta-Nya.

Senin, April 18, 2016

Kaligrafi




Kaligrafi pesanan mbak Ana Kurniati dibuat di Semarang.

Kaligrafi



Kaligrafi koleksi pribadi dibuat di Tegal.

Kaligrafi


Kaligrafi pesanan teman di Brebes dibuat di Tegal dan Semarang.

Kaligrafi



Kaligrafi koleksi pribadi dibuat di Tegal.

Kaligrafi




Kaligrafi koleksi pribadi dibuat di Kramat Tegal.

Kaligrafi



Kaligrafi koleksi pribadi dibuat di Tegal.

Kaligrafi


Kaligrafi koleksi pribadi. Dibuat di Tegal.

Kaligrafi


Kaligrafi pesanan untuk Mbak Sri Rakhmawati di Tegal.

Kaligrafi


Kaligrafi ini aku buat di Tegal. Bukan pesanan. Koleksi Pribadi. 

Kaligrafi





Kaligrafi keempat. Aku buat di Tegal dan sudah terpajang manis di ruang tamu rumahku.

Kamis, April 14, 2016

Diri ini, Rindu

13 April 2016
“Diri ini, Rindu”
Isma Az-Zaiinh

Di dalam sulbi-sulbi yang ringkih
Terpancang paku yang kukuh
Menyibak tirai kesunyian
Ku bersimpuh
Meredam  rindu,
 yang kian menderu
Di dalam sulbi-sulbi yang ringkih
Ku semayamkan cinta,
Memendam rindu untukku
Meski berabad jarak memisahkan kita
Cinta dan rindu ini,
Tak pernah lekang termakan zaman
Dan bilakah engkau mengizinkan,
Pada diri yang papa dan hina ini
Tuk mengecup ta’dzim tangan muliamu
Mengecap secercah nūr sucimu
Wahai engkau yang hidup di hatiku,
Jika hujan tak dapat kuraih
Derai gerimis pun cukup untuk mengobati rinduku padamu.. .
Ya Rasulallah,

Diri ini, rindu.. .

Mentari di Ufuk Timur

9 Desember 2015
“Mentari di Ufuk Timur”
Isma Az-Zaiinh

Entah,
Ini kali ke berapa kubercengkerama denganmu
Menanti,
Dari pekatnya temaram
Menuju terangnya fajar
Mentari di ufuk timur
Hadirmu menenangkan
Penuh senyum kehangatan
Menawarkan harapan baru
Pada jiwa yang bimbang,
Dengan hati yang lebih tenang
Mengajakku untuk menghapus segala perih masa lalu
Mengajakku untuk menepis luka bayangan semu
Mengajakku untuk mengubur dalam-dalam duka di kalbu
Menjanjikan lembar baru bagiku
Menyadarkanku,
Akan ada banyak ruang untukku menoreh jejak langkahku
Mengecap manis kalam indah-Mu
Dalam desah dan simpulku
Dengan sepenuh harapan
Menjadi lebih baik,
Lagi,
Dan lebih baik lagi
Hanya karena-Mu,
Oleh-Mu,
Dan untukku-Mu

Allah, Allah, Allah.. .

Ombak dan Karang

28 Desember 2015
“Ombak dan Karang”
Isma Az-Zaiinh

Kuharap aku adalah ombak itu
Begitu ikhlas
Membubung tinggi terbawa angin,
Dan kemudian terhempas
Deburnya tak selalu menjejak luka
Menebar buih-buih tak kentara
Dan kau adalah karang itu
Kalam-kalam suci-Nya
Yang perlahan kukikis
Merapal dalam pejaman
Melebur dalam hati dan ingatan
Mengeja,
Ayat demi ayat indah-Mu
Dalam hening
Dalam himmah yang tak mampu kujelaskan
Kuharap aku adalah ombak itu
Teguh,
Istiqomah,
Menaklukan kokohnya karang
Tunggu aku di batas waktu
Kan kuterus mengejarmu
Dalam perih,
Dalam rintih,
Demi menjaga bait-bait mulia-Mu
Allah.. .
Izinkanlah kumenggenggammu,
Hingga terpatri dalam relung hati
Pikiran,
Dan ingatan,
Izinkanlah kumencintaimu,
Lebih lama,
Dari selama-lamanya.. .


Bayangan

28 Desember 2015
“Bayangan”
Isma Az-Zaiinh

Sadarkan aku,
Bahwa kau hanyalah bayangan
Melukiskan warna yang indah 
Memesona,
Birunya langit berpadu dengan  hijaunya bumi,
Sadarkan aku,
Bahwa kau hanyalah bayangan itu
Yang tercipta hanya dalam ketenangan
Keheningan,
Entah apa jadinya jika cermin tu beriak,
Bahkan bergelombang
Sadarkankan aku,
Akan dunia kita yang berbeda
Tak ada pintu untuk kita membuka bersama
Lepaskan aku dari perangkap semu
Jika kita tahu hal itu akan berakhir buruk,
Sanggupkah kita menghentikannya saat masih terasa indah?
Kau,

Bayangan.. .

The Secret Book

“The Secret Book”
Isma Az-Zaiinh
27-02-2016




“Juna bosan Mah. Juna bosan hidup dengan Mamah. Mamah tak pernah punya waktu untuk Juna. Pantas saja ayah pergi, lari dari kehidupan Mamah yang gila. Seharusnya Juna ikut bersama Ayah. Juna benci Mamah.” Teriak Juna sambil berlari menuju kamarnya. Menguncinya dan berlari ke ruang perpustakaan pribadi di kamarnya. Juna duduk di bawah rak buku memeluk lutut dan menangis.
“Juna. Maafkan Mamah. Semua yang Mamah lakukan juga untuk kamu Juna.”
Tak ada jawaban.
“Juna, buka pintunya Juna.”
Tetap tak ada jawaban.
“Miauww.” Kucing kesayangannya mengeong dan mengusap-usapkan kepalanya di kaki Juna. Seolah menghiburnya. Juna meraihnya dan menaruh kucing itu dipangkuannya. Kucing itu kembali mengeong dan melompat turun dari pangkuan Juna.
 “Ceri? Mau kemana?” Sahut Juna.
Kucing itu menengok ke arahnya dan mengeong lagi. Kemudian berjalan berbelok ke kiri. Juna mengikutinya. Kucing berhenti di ujung lorong barat perpustakaan pribadinya. Kucing itu duduk termangu seolah menunggu. Ada sebuah pintu di sana.
 “Ceri? Kau membawaku ke sini?” Tanya Juna dengan raut muka heran.
Usianya 20 tahun. Dan selama itu ia belum pernah melihat pintu itu. Entah kekuatan apa yang membuatnya melangkah mendekati pintu itu. Memutar gagang pintunya. Pintu itu berderit. Gelap. Hanya ada cahaya yang menerobos dari jendela yang sedikit tersingkap tirainya. Lantainya kotor dan berdebu. Begitu juga ranjang dan semua perabot yang ada di sana. Kucing itu menerobos masuk yang diikuti oleh Juna.
“Miaauuww” Ceri mengeong di atas peti yang tergeletak di tepi ranjang.
“Kau menyuruhku membukanya?” Tanya Juna.
Juna pun membuka peti itu. Ada sebuah buku berwarna hitam. Juna meraihnya.
“The Secret Book” Juna membaca tulisan emas yang ada sampul hitam itu.
Juna membuka lembar pertama. Kosong. Hanya kertas usang yang kekuning-kuningan. Juna hendak membuka lembar berikutnya ketika tiba-tiba saja muncul tulisan di halaman yang tadinya kosong. Juna terperanjat kaget. Hampir saja ia melempar buku itu.
Ia buka perlahan matanya yang refleks terpejam. Jantungnya berdegup kencang. Ada tulisan-tulisan di lembar itu. Ia tak bisa membaca tulisan itu. Simbol-simbol aneh. Ia sampai di tengah-tengah buku itu. Kosong. Tidak, ada titik hitam. Titik itu semakin membesar. Membesar hingga memenuhi halaman buku itu.
“Aaaaaaaa...” Teriak Juna kala muncul cahaya menyilaukan dari lubang hitam yang menyedotnya masuk kedalam buku itu. Ia buka perlahan matanya. Ia tetap sama dengan posisi sebelumnya. Hanya saja, ruangan itu berubah. Bersih. Tirai jendela berwarna hijau. Seprei, bantal, cat tembok pun berwarna hijau lembut. Warna kesukaannya. Lantai marmer berkilau. Langit-langit kamar di lukis seperti langit sesungguhnya. Ada banyak bunga dalam vas di meja samping ranjangnya, di bawah jendela, dan di setiap ujung ruangan. Berwarna-warni. Indah.
Ceri melompat kepangkuan Juna. Bulunya yang hitam berubah menjadi putih bersih. Juna meraih kucingnya hendak memeluk. Kala itu ia tersadar, baju yang ia kenakan pun berubah. Menjadi gaun berwarna hijau lembut menjuntai kebawah dengan lapisan kain tipis berwarna hijau terang yang berkerlip-kerlip. Indah. Seperti gaun putri dalam dongeng. Ia berdiri. Berjalan. Memutar. Tak percaya ia mengenakan gaun seindah itu.
“Aaaaa....” Ia menjerit, lagi. Kala ia melihat pada cermin besar yang terpajang di atas meja rias di samping ranjangnya. Ia melihat gadis yang sangat cantik. Benarkah itu dia? Juna berjalan mendekati cermin. Menyentuh pipinya. Kemana perginya jerawat yang selalu memenuhi wajahnya itu? Pipinya lembut, merona, bersih dan cerah. Rambutnya? Bukan lagi kribo mengembang tetapi panjang hitam legam bergelombang. Ada mahkota kecil yang berkilau di kepalanya.
“Hwaahhh... Mimpikah?” Ucapnya sambil menepuk pipinya.
“Miiauww.” Ceri mengeong seolah menjawab pertanyaan Juna.
“Aaaaaaaa.... Ini nyataaaaa....” Teriak Juna sekali lagi. Juna berjingkrak kegirangan.
“Juna sayang, ada apa? Kenapa menjerit begitu?” Terdengar suara lembut dari balik pintu yang terbuka sedikit.
“Ma, mah?” Ucap Juna.
“Kamu panggil apa sayang? Mamah? Bukankah kau biasanya memanggil bunda? Bunda Elena” Ucap perempuan cantik di hadapan Juna.
“Eh, nggak Ma, eh, bunda.” Ucap Juna tergagap. Ia bingung hendak memanggil sosok di depannya itu dengan sebutan apa. Ia miripsekali dengan Mamahnya di dunia nyata. Namun di sini ia terlihat lebih cantik. Tidak seperti biasanya. Berantakan. Hidupnya hanya di laboratorium. Gila dengan penemuan-penemuan bodohnya.
“Ayo turun. Bunda menunggumu dari tadi untuk saparan bersama. Hari ini bunda masak menu spesial. Kesukaan kamu.”
“I, iya, Bunda.” Jawab Juna masih tergagap. Tak percaya. Bagaimana bisa ibunya berubah menjadi ramah dan lembut seperti itu. Biasanya tak seramah itu. Selalu mengabaikan Juna dan sibuk dengan dunianya sendiri. Ia berubah menjadi sangat cantik. Dengan gaun perpaduan warna biru tua dan muda. Indah.
Juna meraih ceri. Berjalan mengikuti perempuan itu.
“Huwwaahhh.” Desah Juna tercengang. Di depan kamar juna ada sebuah tangga berkilau yang menghubungkan dengan lantai dua. Sebuah ruangan yang sangat besar. Seperti aula. Di lantainya terbentang permadani yang sangat indah dan lembut. Dindingnya pun dihiasi dengan lukisan-lukisan  dan ormamen yang indah. Sungguh. Rumahnya seperti istana di negeri dongeng.
“Ayo sayang” Ucap perempuan bergaun biru itu.
Juna mempercepat langkah menuruni tangga. Menuju ruang makan. Juna lahap memakan makanan kesukaannya itu.
Usai makan perempuan itu berdiri. Mengayunkan tongkat yang ada di genggamannya. Semua peralatan makan itu terbang sendiri menuju wastafel. Bergerak-gerak seolah ada yang sedang mencuci. Setelah bersih semua perabotan itu terbang dan tertata rapi di rak.
“Mana tongkatmu sayang? Kamu tinggal di kamar?”
“A, eh, i, iya bunda.” Jawab Juna asal. Padahal ia tak tahu. Tongkat? Tongkat apa? Tongkat sihir? Benarkah ia mempunyai tongkat sihir? Seperti yang dipegang oleh perempuan itu?
“Tak apa. Bunda ambilkan.” Ucapnya sambil mengayunkan kembali tongkatnya. Dan benar. Tongkat lain muncul dari kamarnya. Terbang menuruni tangga, melewati ruangan tengah, dan sampai di depan Juna. Juna meraihnya. Bingung.
“Lakukanlah apapun yang ingin kau lakukan Juna.”
Juna berjalan dan diiringi oleh Ceri. Menuju taman di belakang istana. Sungguh. Indahnya tak tertandingi. Ada sebuah gazebo yang terbuat dari kaca dan kristal. Berkilau di tengah danau yang jernih airnya. Di sekeliling danau itu tumbuh bunga-bunga yang tertata dengan rapi. Berwarna-warni seperti pelangi. Kupu-kupu berterbangan dengan sayap-sayap yang indah di dedaunan pohon perdu yanga asri. Hari demi hari ia lalui di istana yang megah  itu.
Suatu saat ia sedang berada di halaman atas istana megah itu, dimana ia biasa menanti hadirnya sunrise dan sunset yang mengagumkan. Istana itu memang benar-benar megah. Berada di puncak bukit yang di sisinya adalah lautan yang indah memesona. Gerbang istana itu tampak kecil jika dilihat dari tempat ia berdiri saat ini. setiap hari ia melihat perempuan yang berpakaian sederhana berjalan menuju istana dengan di kawal oleh penjaga istana. Namun ia tak pernah melihat perempuan-perempuan itu berjalan keluar ke istana. Entah. Mungkin mereka tenaga baru yang direkrut menjadi pelayan di istana ini.
Hingga suatu hari. Kala ia sedang menunggang unicorn putihnya di taman istana. Perempuan itu memanggilnya.
“Ayo ikuti bunda. Sudah waktunya kita melakukan ritual itu sayang.” Ucap Elena sambil berjalan meninggalkan ruang makan.
“Ritual apa bunda?” Tanya Juna sambil beranjak mengikuti langkah perempuan itu.
“Kau lupa? Hari ini genap usiamu 20 tahun. Kau harus melakukan ritual ini jika ingin kecantikan dan kekuatanmu tetap abadi dan tidak pudar. Dan ritual  ini akan berlanjut setiap sebulan sekali.”
Ritual? Kecantikan? Kekuatan? Keabadian? Pertanyaan itu berkelebat di pikirannya. Hingga mereka sampai di depan pintu yang menjulang tinggi.
Perempuan itu mengayunkan kembali tongkatnya. Pintu itu berdebam. Terbuka perlahan. Di dalamnya ada sebuah kolam dengan air berwarna merah. Air? tak tampak seperti air. Entah. Darahkah?
“Masuklah ke dalamnya.” Ucap Elena.
“Ta, tapi ini apa bunda? Aku tidak mau.” Jawab Juna.
“Masuk. Kau tidak bisa menolaknya.” Jawab Elena tegas. Sorot matanya menakutkan.
“Tidak. Aku tidak mau.” Jawab Juna hendak berlari keluar ruangan itu.
Perempuan itu mengayunkan tongkatnya. Pintu megah itu berdebam dan kembali tertutup. Juna mendorong pintu itu. Percuma. Tenaganya tak kuat untuk membuka pintu kokoh itu.
“Kau harus tetap hidup Juna. Untuk meneruskan kerajaan ini.”
“Ta, tapi apa yang ada di kolam itu?”
“Itu adalah harga yang harus dibayar untuk apa yang ingin kita inginkan Juna.”
“Tidak. Bukan ini yang aku inginkan.”
“Bukankah ini impianmu? Menjadi putri cantik yang hidup di kerajaan mewah? Bukan hidup di rumah tua dengan Mamahmu yang gila itu. Gila dengan penemuan-penemuan tak bergunanya?”
Saat itu Juna teringat pada ibunya. Ia merindukan ibunya. Ia menyesal kala itu membentak ibunya dan berkata bahwa ia membencinya. Sekarang ia tak butuh kemegahan, kecantikan, dan kekuatan ini. Ia hanya butuh ibunya.
“Mamah.” Ucapnya lirih dengan derai air mata yang mulai mengalir. Ia mengayunkan tongkatnya ke arah perempuan itu. Tongkat itu mengeluarkan petir yang membuatnya terpental. Namun itu tak seberapa. Kekuatan Juna tak mampu menandingi Elena.
Elena balas mengayunkan tongkatnya. Bukan untuk melukai Juna. Melainkan mengambil tongkat yang digenggam oleh Juna. Tongkatnya terlempar jauh darinya. Juna tak bisa melawan.
“Ayo cepat.” Perempuan itu menarik paksa tangan Juna dan menyeretnya menuju kolam berisi darah itu.
Juna meronta. Ah, sayang sekali tongkatnya tak bisa ia raih. Mereka sampai di tepi kolam itu.
“Setelah ini kau takkan pernah bisa kembali ke duniamu yang dulu. Hahahhhaa...” Ucap Elena dengan tawa yang mengerikan.
Hingga tiba-tiba saja Ceri, kucing Juna, berlari menerjang wajah Elena yang membuatnya terjatuh ke dalam kolam itu. Juna langsung berlari meraih tongkatnya dan mengayunkan ke arah pintu itu. Sepertinya Elena kehilangan tongkatnya dikubangan darah itu.
“Jangan buka pintu itu Juna. Jangan!!!”
Terlambat. Pintu itu terbuka. Juna meraih Ceri dan melangkah keluar pintu itu. Ia kembali ke ruang perpustakaannya. Segera ia menutup pintu itu. Tepat saat Elena hendak sampai ke pintu. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya tersengal. Ia menghela napas dan memeluk Ceri.
“Juna, buka pintunya. Maafkan Mamah sayang.” Terdengar suara dari balik pintu kamarnya. Ibunya masih di sana? Jadi berbulan-bulan ia di dunia aneh itu tak merubah sedikit pun waktu di sini? Juna segera berlari. Membuka pintu kamarnya. Dan memeluk ibunya.
“Mamah, maafkan Juna. Maafkan Juna. Juna sayang Mamah.” Ucapnya dengan derai air mata.
“Mamah juga sayang kamu Juna. Maafkan Mamah.”
 

Blogger news

Blogroll

About