ANALISIS CERPEN
“GUS JAKFAR”
Karya A. Mustofa Bisri
Karya A. Mustofa Bisri
dengan
Pendekatan Sosiologi Sastra
Diajukan
Sebagai Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sastra
Dosen
Pengampu: Retno Purnama Irawati, S.S, M.A
Disusun oleh :
ROZAENAH
NIM : 2303412012
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
KATA
PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله رب العلمين، اشهدأن لا اله إلا الله و اشهد أن محمدا رسول الله
والصلاة والسلام على أشرق الأنبياء والمرسلين محمدوعلى آله و أصحابه أجمعين، اما
بعد.
Puji syukur Alhamdulillah kepada Dzat Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang, atas segala curahan rahmat dan inayah-Nya akhirnya penuis
berhasil menyelesaikan penulisan analis ini. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada sang revolusioner penakluk kebodohan dan
kezaliman, beliau Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada umatnya
cahaya kegemerlapan menuju kebenaran hakiki.
Analisis dengan judul “Analisis
Cerpen “Gus Jakfar” Karya A. Mustofa Bisri dengan Pendekatan Sosiologi Sastra”
ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas akhir mata kuliah Pengantar
Ilmu Sastra. Namun lebih dari itu analisis ini merupakan sebuah titik kulminasi
atas pembacaan penulis terhadap karya sastra, dalam hal ini dikhususkan pada
cerpen “Gus Jakfar” karya A. Mustofa Bisri. Dalam proses analisis ini penulis
tidak terlepas dari berbagai hambatan dan kendala, namun berkat pertolongan
Allah SWT serta dukungan dan motivasi dari berbagai pihak, teman, sahabat,
saudara dan orang-orang yang penuh cinta kasih akhirnya analisis ini dapat
terselesaikan. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada berbagai pihak yang
terikat selama proses studi dan penulisan analisis ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan
hati penulis menyadari bahwa penulisan analisis ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu penulis sangat menerima kritik dan saran yang konstruktif, bagi
kesempurnaanya analisis ini.
Semarang,
15 Desember 2012
Penyusun
ROZAENAH
NIM : 2303412012
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ 1
DAFTAR ISI....................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 3
1. 1. LATAR BELAKANG............................................................................... 3
1. 2. LANDASAN TEORI................................................................................. 4
1. 3. RUMUSAN MASALAH............................................................................ 5
1. 4. TUJUAN...................................................................................................... 5
1. 5. MANFAAT.................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 6
2. 1. Mengungkap Faktor-faktor
Sosial yang Terkandung dalam Cerpen
“Gus Jakfar”.......................................................................................... 6
2. 2
Realitas sosial Masyarakat Pesantren.................................................... 7
2. 3. Hubungan
antara Faktor-faktor Sosial yang Terkandung dalam
Cerpen dan Realitas Sosial Masyarakat................................................ 8
BAB III PENUTUP............................................................................................. 12
4. 1. KESIMPULAN............................................................................................ 12
4. 1. SARAN......................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 13
LAMPIRAN.......................................................................................................... 14
BAB
I
PENDAHULUAN
1. 1. LATAR BELAKANG
Proses kreatif yang dilakukan
pengarang melalui karya sastra sangat mungkin berasal dari kehidupan sosial
yang dekat dengan kehidupan si
pengarang. Kehidupan sosial biasanya diatur oleh institusi sosial yang ada
dalam masyarakat. Meminjam istilah Wellek dan Warren (1977:109), sastra adalah
“institusi sosial yang memakai medium bahasa.” Wellek dan Warren juga
menyatakan karya sastra sebagai suatu yang “menyajikan kehidupan” dan kehidupan
sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru
“alam” dan dunia subjektif manusia. Kenyataan sosial yang disajikan dalam karya
sastra biasanya mengambarkan kondisi sosial suatu masyarakat dengan jelas.
Pengarang dalam mengungkapkan
ide-idenya memilih sastra sebagai medianya. Karya sastra tersebut dapat berupa
prosa, drama, atau puisi. Pengungkapan ide pengarang lewat puisi tentu akan
berbeda dengan pengungkapan lewat drama. Demikian juga halnya pengungkapan
dengan cerita pendek atau cerpen. Tarigan (1984:176-177), yang mengutip
pendapat Ajip Rosidi, mendefinisikan cerpen sebagai “Kebetulan ide .... Dalam
kesingkatan dan kepadatannya itu, sebuah cerpen adalah lengkap, bulat,dan
singkat. Semua bagian dari sebuah cerpen meski terikat pada suatu kesatuan jiwa
: padat, pendek, dan lengkap. Tak ada bgaian-bagian yang boleh dikatakan
‘lebih’ dan bisa dibuang.”
Cerpen “Gus Jakfar” karya A.
Mustofa Bisri merupakan cerpen yang bernafaskan Islam dengan latar budaya
pesantren Jawa. Kehidupan masyarakat pesantren tersebut dapat dilihat melalui
tokoh-tokoh dan latar yang mewakili dunia pesantren. Utomo (2006) juga
mengemukaan adanya indikasi budaya pesantren dalam cerpen-cerpen Gus Mus.
Melalui tokoh Gus Jakfar yang
menjadi judul cerpen dalam Lukisan Kaligrafi dan tema religiusitas masyarakat
pesantren Jawa yang diangkat Gus Mus dalam cerpennya, telah menghadirkan
karakteristik atau warna yang berbeda dalam kesusastraan Indonesia modern. Hal
ini yang mendasari penulis untuk mengambil cerpen “Gus Jakfar” sebagai bahan
untuk analisis cerpen dengan pendekatan sosiologi. Selain itu masalah sosial
umat Islam yang dihadirkan Gus Mus melalui cerpen “Gus Jakfar” ternyata menjadi
kritik sosial terhadap masyarakat pesantren Jawa dan masyarakat Islam di
Indonesia. Kritik sosial yang disampaikan Gus Mus dalam cerpen ini ditujukan
kepada masyarakat pesantren Jawa dan masyarakat Islam Indonesia.
1. 2. LANDASAN
TEORI
Analisi ini berlandaskan pada
teori sosial sastra yang menyatakan adanya hubungan antara karya sastra dengan
masyarakat. Teori ini menyebutkan bahwa sastra merupakan cermin masyarakat. Hal
ini dapat dikatakan demikian karena pengarang karya tersebut merupakan anggota
atau bagian dari masyarakat. Selain itu, karya sastra yang dihasilkannya
menampikan kondisi masyarakatnya.
Wellek dan Warren (dalam Damono,
2002:3) telah membuat klasifikasi sosiologi sastra. Klasifikasi pertama adalah
sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan
lain-lain yang menyangkut pengarang pangarang sebagai penghasil sastra.
Klasifikasi kedua adalh sosiologi sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu
sendiri; yang menjadipokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya
sastradan apa yang menjadi tujuannya. Klasifikasi ini mengajukan pertanyaan
mengenai tujuan penulisannya seperti yang tersurat di dalam karya-karya itu
dalam kaitannya dengan lingkungan sosial budaya yang telah menghasilkannya
(dalam Damono, 2002:3).
Sementara itu, Ian Watt dalam
sebuah artikelnya (dalam Damono, 2002:4) membicarakan hubungan timbal-balik
antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Watt juga menyebutkan klasifikasi
sosiologi sastra yang tidak banyak berbeda dengan Wellek dan Warren. Lebih
lanjut, Watt menjelaskan klasifikasi “sastra sebagai sermin masyarakat.” Namun,
pengertian sastra sebagai cermin masyarakat tidak selalu tepat untuk membedah
sebuah karya sastra karena bisa jadi masyarakat yang ditampilkan dalam karya
sastra tersebut tidak disuguhkan dengan teliti. Pandangan sosial pengarang
tetunya masih harus diperhitungkan untuk menilai karya sastra. Akan tetapi,
konsep sastra sebgai cermin atau refleksi masyarakat dapat digunakan untuk
mengetahui masyarakat apa yang ditampilkan dalam sebuah karya sastra. Selain
itu, mengutip pendapat Grebstein (dalam Damono, 2002:6), karya sastra tidak
dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan
atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan.
1. 3. RUMUSAN MASALAH
Beberapa masalah yang penulis kaji dalam
analisis cerpen “Gus Jakfar” adalah sebagai berikut :
1) Apa saja
faktor-faktor sosial yang terkandung dalam cerpen “Gus Jakfar” ?
2)
Bagaimana realitas sosial yang ada dalam masyarakat pesantren
?
3)
Bagaimana hubungan antara faktor-faktor sosial yang
terkandung dalam cerpen dan realitas sosial masyarakat pesantren ?
1. 4. TUJUAN
Adapun tujuan dari analisis cerpen ini
adalah sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui apa
saja faktor-faktor sosial yang terkandung dalam cerpen “Gus Jakfar” .
2)
Untuk mengetahui bagaimana realitas sosial yang ada dalam
masyarakat pesantren.
3)
Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara faktor-faktor
sosial yang terkandung dalam cerpen dan realitas sosial masyarakat pesantren.
1. 5. MANFAAT
Hasil analisis ini diharapkan dapat
memberikan manfaat, antara lain :
1) Untuk memberikan
informasi apa saja faktor-faktor sosial
yang terkandung dalam cerpen “Gus Jakfar”.
2)
Untuk memberikan informasi bagaimana realitas sosial yang ada dalam
masyarakat pesantren.
3) Untuk memberikan
informasi bagaimana hubungan antara
faktor-faktor sosial yang terkandung dalam cerpen dan realitas sosial
masyarakat pesantren.
BAB
II
PEMBAHASAN
2. 1. Mengungkap Faktor-faktor
Sosial yang Terkandung dalam Cerpen “Gus
Jakfar”
Dalam cerpen “Gus Jakfar” dikisahkan
bahwa tokoh Gus Jakfar adalah kyai yang pandai membaca tanda-tanda seseorang.
Kepandaian yang dimaksud di sini bukanlah kepandaian yang diidentifikasikan
sebagai peramal, dukun, atau cenayang. Ia kyai yang mempunyai kelebihan
tertentu. Dikisahkan pula bahwa pada suatu hari ia pergi selama beberapa
minggu, setelah ia kembali, orang-orang disekelilingnya merasa heran karena ia
bersikap berubah seolah ia tidak punya keistimewaan lagi. Ia tidak lagi membaca
tanda-tanda seseorang meski disuruh sekalipun. Hal ini menimbulkan rasa
penasaran dan akhirnya datanglah beberapa orang kerumahnya untuk menyanyakan
apa penyebab dari perubahan sikapnya itu. Kyai itu pun kemudian bercerita :
Bermula dari mimpi berjumpa dengan ayahnya. Sang ayah, Kyai Saleh, menyuruhnya
untuk mencari Kyai Tawakkal. Ia lalu berkelana. Dan akhirnya bertemulah ia
dengan Kyai Tawakkal atau Mbah Jogo. Hal ini masih bisa disebut sebagai
realitas atau lebih tepatnya relitas lain yang terjadi daam kehidupan para
kyai. Di sini penulis, Gus Mus, bermaksud mengungkap “potret” komunitas
persekitaran, yakni kehidupan pesantren. Cerpen ini memang menampakkan karya
sastra yang cenderung menganut pendekatan tradisi budaya yang berupa
bentuk-bentuk spiritualitas dan agama tertentu dengan kesadaran bahwa tradisi
dan budaya masyarakat Indonesia terbentuk berkat masuknya beberapa agama besar,
seperti Hindu, Buddha, dan Islam. (Abdul Hadi WM : 1999).
Dalam cerpen ini
diceritakan pula peristiwa tentang tanda pada kening kyai Tawakkal yang bertuliskan
“ahli neraka”; sang kyai yang datang ke warung remang-remang; berjalan di atas
permukaan air sungai; dan bisa menghilang secara tiba-tiba entah kemana. Sosok
Kyai Tawakkal yang diceritakan dalam cerpen ini terkesan misterius dan
menyimpan misteri. Peristiwa-peristiwa itu sepintas terlihat irasional dan
sulit diterima dalam logika. Namun bagi kyai, santri atau kalangan pesantren, kisah
sejenis itu kerap diyakini sebagai kebenaran yang hanya dapat dialami oleh
orang-orang tertentu yang dianggap pantas mengalaminya. Kisah seperti itu
berada dalam garis tipis peristiwa faktual bagi mereka yang mempercayainya, dan
peristiwa irasional bagi mereka yang tidak mempercayainya. Tetapi ia tetap
hidup dan diyakini sebagai fakta sosiologis dalam komunitas pesantren.
Terlepas dari
kemistisan tema cerpen “Gus Jakfar” tersebut, penulis berusaha menyampaikan
pesan secara langsung melalui pernyataan Kyai Tawakkal kepada Gus Jakfar.
Berikut ini adalah salah saru bentuk kritik terhadap posisi kyai yang belum
tentu masuk ke daalm surga.
Sebagai
kyai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke surga kelak?
Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang yang di warung yang tadi kau
pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita
ingin dipandang baik oleh-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan
kita. Mengapa? Karenakebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukan begitu?
Kutipan
di atas memberitahukan bahwa posisi kyai sebagai orang yang alim dan dekat
dengan Allah belum menjamin untuk selamt masuk surga. Begitu pun sebaliknya,
orang-orang yang berada di warung mesum tersebut belum tentu pasti masuk
neraka.
2. 2
Realitas sosial Masyarakat Pesantren
Masyarakat
Jawa ke dalam tiga lingkungan sosial, yaitu desa, pasar, dan birokrasi
pemerintahan. Lingkungan tersebut akan memunculkan varian struktur sosial,
yaitu santri, abangan, dan priyayi (Geertz, 1983:6-7). Santri yang berada di
lingkungan pasar merupakan kalangan muslim ortodoks; priyayi yang berada di
lingkungan birokrasi pemerintah adalah kalangan bangsawan yang dipengaruhi
terutama oleh tradisi Hindu-Jawa; dan abangan, masyarakat desa pemeluk animisme.
Kaum santri inilah yang merupakan tipe masyarakat yang dekat dengan tradisi
Islam tradisional dan lingkungan pesantren.
Kyai
merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Ia seringkali
bahkan merupakan pendirinya. Menurut asal-usulnya, perkataan kyai dalam bahasa
Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar (Dhofier, 1982:55). Gelar pertama sebagai
gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; gelar kedua
merupakan gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya; dan gelar
terakhir adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama
yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam
klasik kepada para santrinya (Dhofier, 1982:55). Dalam masyarakat tradisional,
kyai memiliki kesan sebagai orang yang luar biasa yang memiliki
kelebihan-kelebihan spiritual seperti karamah (orang yang memiliki
keutamaan budi dan kharisma) dari Allah untuk para pengikutnya.
Dalam
istilah kekerabatan kyai di daerah Jawa Timur, istri-istri kyai diberi gelar
‘nyai,’ sedangkan putra-putra kyai diberi gelar ‘gus,’ yang berasal dari kata “si bagus”. Seorang
kyai selalu mengharapkan ‘gus-gus’ tersebut menggantikan peran ayahnya sebagai
pimpinan pesantren di masa mendatang.
Mitisme
islam atau sufisme merupakan hal yang berhubungan dengan pesantren. Tradisi
pesantren adalah tradisi yanga bernafaskan sufistik dan ubudiyah (Bruinessen,
1995:20). Banyak kyai yang berafiliasi dengan tarekat dan mengajarkan kepada
pengikutnya ibadah dan amalan sufistik yang khas.
2. 3. Hubungan antara Faktor-faktor Sosial yang
Terkandung dalam Cerpen dan
Realitas Sosial Masyarakat
Kehadiran Gus Mus lewat cerpen-cerpennya
itu sesungguhnya makin menegaskan, bahwa realitas spiritual masyarakat kita
memang bergerak di antara rasionalitas dan irasionalitas; antara logika formal
dan logika spiritual; antara dunia yang kasat mata dan dunia gaib. Dalam cerpen-cerpen
Gus Mus itu, yang terungkapkan adalah “potret” komunitas persekitaran. Jadi, begitulah, hakikatnya, cerpen-cerpen
Gus Mus merepresentasikan realitas masyarakat (Islam—pesantren) yang hidup
dengan segala sistem kepercayaannya. Di luar perkara itu, suasana kehidupan
kiai dengan berbagai persoalannya, setelah sekian lama tak terdengar kini
seolah-olah sengaja dihadirkan kembali dengan pertanyaan besar: di manakah
peranan para kiai hendak ditempatkan ketika zaman telah berubah dan kehidupan
politik ikut mempengaruhi perilaku masyarakat. Dengan begitu, dilihat dari
perjalanan cerpen
Indonesia, kehadiran cerpen-cerpen Gus Mus, tentu saja tidak sekadar memperkaya tema cerpen
kita, tetapi juga seperti menawarkan pandangan baru tentang terjadinya
pergeseran peran kiai.
Gus Mus boleh jadi sekadar berpretensi menggambarkan
terjadinya pergeseran peran kiai. Atau, sangat mungkin ia sekadar menulis cerpen
sambil menyentil ke sana ke mari. Tetapi di situlah fungsi sastra. Ia mengungkapkan problem individual yang maknanya
sering kali bersifat universal. Faktor kebetulan yang dalam pemikiran
strukturalisme kerap dimasalahkan ketika hubungan kausalitas terkesan dipaksakan,
dalam cerpen-cerpen
Gus Mus justru menjadi bagian penting jika dikaitkan dengan perkara keyakinan.
Maka, faktor kebetulan yang dalam pemikiran strukturalisme ditempatkan sebagai
bagian dari rangkaian peristiwa, dalam cerpen-cerpen
Gus Mus malah menjadi bagian dari tema cerita. Di sinilah pentingnya teks tidak
dilepaskan dari konteksnya, dari kultur yang mendekam di belakang yang tersurat
dalam teks. Dengan pemahaman itu, faktor kebetulan punya dasar kultural, bahkan
ideologis. Bukankah faktor kebetulan itu diyakini masih berada dalam lingkaran campur tangan Tuhan?
Dalam
kehidupan masyarakat biasa atau masyarakat yang belum paham dengan masyarakat
pesantren tentu kisah “Gus Jakfar” terkesan mustahil atau irasional, namun
dalam kehidupan para aulia, perkara itu bukanlah sesuatu yang mustahil, bukan
pula kisah supernatural, tetapi sesuatu yang niscaya ketika dikaitkan dengan
kehendak Tuhan. Inilah yang disebut dengan ajaran-ajaran mistisme Islam
(sufisme). Selain itu, jama’ah yang dipimpin Kyai Tawakkal dalam cerpen “Gus
Jakfar” juga mencerminkan sebuah kelompok tarekat. Mitisme Islam (sufisme)
merupakan hal yang menjadi ciri khas dari cerpen-cerpen A. Mustofa Bisri, salah
satunya yaitu cerpen “Gus Jakfar”. Perilaku mitisme Islam (tasawuf) dalam
cerpen A. Mustofa Bisri memang menghadirkan kisah-kisah yang irasional atau hal
yang gaib. Hal ini sesuai dengan kutipan sebagai berikut.
Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik
nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, “Hanya ada satu hal yang membuat saya
terkejut dan terganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang, ada tanda
yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup
besar berbunyi ‘Ahli neraka’. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat
tanda yang begitu gamblang. Saya ingin tidak
mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal
wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurat sebagai ahli
neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin- yakinkan diri saya bahwa itu
hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan
belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu.
Gila.”
“Kami melewati pematang, lalu menerobos
hutan, dan akhirnya sampaidi sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal
berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja.
Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung.
Beliau melambai, ‘Ayo!’ teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian
berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar.
Salah satu bentuk kritik terhadap perilaku
mistisme Islam (sufisme) dapat ditemukan dalam cerepen “Gus Jakfar”. Kyai
Tawakkal memberikan petunjuknya kepada Gus Jakfar entang hakikat ilmu kasyaf.
Hakikat tentang ilmu kasyaf yang diberikan Kyai Tawakkal telah membuat Gus
Jakfar mencapai atau menemukan kebenaran.
‘Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya
karena kau melihat tanda ‘Ahli neraka’ di kening saya. Kau pun tidak perlu
bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka.
Karena pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan
kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku
adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku
ke sorga atau ke neraka. Untuk memasukkan hambaNya ke sorga atau neraka,
sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani
menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan
bahwa orang-orang di warung tadi yang kau pandang sebelah mata itu, pasti masuk
neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin
berdekat-dekat denganNya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan
kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?’
Petunjuk yang diberian
Kyai Tawakkal merupakan bentuk kritik ilmu kasyaf yang merupakan bagian dari
perilaku mitisme Islam (sufisme). Kritikan tersebut menyampaikan bahwa
kebenaran tentang surga dan nerakan merupakan milik Tuhan, bukan milik manusia.
Gus Jakafar yang
memiliki ilmu kasyaf telah membuat jamaah pengajiannya resah. Para jamaah yang
mengaji takut kalau tanda pada tubuh mereka akan dibacaoleg Gus Jakfar pada
saat pengajian. Kritikan lain terhadap ilmu kasyaf yang dimiliki Gus Jakfar dapat
dilihat melalui percakapan Ustadz Kamil dan Pak Carik setelah Gus Jakfar
kembali dari pengembaraannya.
“Tapi bagaimana pun, ini ada hikmahnya,”
ujar Ustadz Kamil, “paling tidak kini, kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar
tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat
tulus mencari ilmu. Maka jika kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus
kita ini, hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung
saja menemui beliau.”
Kutipan di atas merupakan reaksi atas ilmu
kasyaf yang dimiliki Gus Jakfar. Para
jamaahnya bisa dengan tenang mengikuti pegajian etelah Gus Jakfar tidak memakai
ilmu kasyafnya lagi. Kritik terhadap ilmu kasyaf ini dapat dikatakan sebagai
bentuk kesalehan spiritual yang tidak boleh dipamerkan kepada orang lain.
Apabila dipamerkan, maka akan ada rasa takabur dan sombong di hati orang yang
memiliki ilmu tersebut –seperti pesan Kyai Tawakkal kepada Gus Jakfar-.
Setidaknya, itulah yang ingin disampaikan Gus Mus dalam cerpen “Gus Jakfar”
ini.
BAB III
PENUTUP
4. 1.
KESIMPUAN
Cerpen
“Gus Jakfar” ini bisa jadi merupakan sebuah sarana untuk berdakwah karena
posisi A. Ustofa Bisri yang juga merupakan seorang kyai. Hal ini dapat
diketahui melalui kritik yang paling dominan ditemukan dalam cerpen ini, yaitu
kritik terhadap perilaku umat Islam. Dalam cerpen ini A. Mustofa Bisri seakan
menyampaikan dan mengingatkan umat Islam di pesantren agar berperilaku sesuai
dengan ajaran-ajaran Islam.
Kritik
sosial yang disampaikan A. Mustofa Bisri dalam cerpen-cerpennya mungkin
hanyalah seperti “lebah tanpa sengat” seperti yang diungkapkan Sapardi Djoko
Damono. Atau seperti “balsem”, masyarakat yang membaca cerpen ini akan “panas”,
kemudian “panas” tersebut hilang perlahan-lahan. Walau demikian, kritik-kritik
tersebut tetap merupakan usaha sastrawan untuk sastrawan untuk menegur dan
“menyentil” ketidakberesan yang sedang terjadi di masyarakat.
4. 2. SARAN
Dalam penulisan analisis ini,
penulis beranggapan bahwa untuk menganalisis sebuah karya, dalam hal ini
penulis khususkan cerpen perlu dilakukan pengkajian karya tersebut dengan lebih
dalam agar analisis selanjutnya dapat lebih baik.
Menurut penulis, perlu ditelusuri
lebih lanjut mengenai mitisme islam (sufisme), dan kritik sosial dalam cerpen
ini. Selain itu cerpen ini perlu juga dikaji melalui metode dan pendekatan yang
lain.
Dengan saran ini, penulis harapkan semoga penulisan analisis selanjutnya dapat lebih
baik ataupun melengkapi kekurangan penulisan analisis sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdalla,
Ulil Abshar. 2002. “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam,” Kompas, 18
November.
Akhyadi, Moh. 2001. “Pesantren, Kyai, dan Tarekat: Studi
tentang Peranan Kyai di
Pesantren
dan Tarekat” dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga-lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia,
Abuddin Naata, ed. Jakarta:
Grasindo.
Bisri, A.
Mustofa. 2003. Lukisan Kaligrafi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Bruinessen,
Martin van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Bandung: Mizan.
Damono, Sapardi Djoko. 1983. “Kritik Sosial dalam Sastra
Indonesia: Lebah Tanpa
Sengat”
dalam Kesusastraan Indonesia Modern, Beberapa Catatan. Jakarta: PT
Gramedia.
. 2002. Pedoman Penelitian Sastra. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi
Tentang Pandangan Hidup Kiai.
Jakarta:
LP3ES.
Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, dan Priyayi
dalam Masyarakat Jawa. terj.
Aswab
Mahasin. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Cahyawati, Rosia Ria. “Analisis Novel” http://rosya-cahya.blogspot.com/2011/02/analisis-novel
diakses 11 November 2011
LAMPIRAN
Biografi A. Mustofa Bisri
Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), kini pengasuh Pondok
Pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang. Mantan Rais PBNU ini dilahirkan di
Rembang, 10 Agustus 1944. Nyantri di berbagai pesantren seperti Pesantren
Lirboyo Kediri di bawah asuhan KH Marzuqi dan KH Mahrus Ali; Al Munawwar
Krapyak Yogyakarta di bawah asuhan KH Ali Ma'shum dan KH Abdul Qadir; dan
Universitas Al Azhar Cairo di samping di pesantren milik ayahnya sendiri, KH
Bisri Mustofa, Raudlatuth Thalibin Rembang.
Menikah dengan St. Fatma, dikaruniai 6
(enam) orang anak perempuan : Ienas Tsuroiya, Kutsar Uzmut, Raudloh Quds,
Rabiatul Bisriyah, Nada dan Almas serta seorang anak laki-laki: Muhammad Bisri
Mustofa. Kini beliau telah memiliki 5 (lima) orang menantu: Ulil Abshar
Abdalla, Reza Shafi Habibi, Ahmad Sampton, Wahyu Salvana, dan Fadel Irawan
serta 7 (tujuh) orang cucu: Ektada Bennabi Muhammad; Ektada Bilhadi Muhammad;
Muhammad Ravi Hamadah, Muhammad Raqie Haidarah Habibi; Muhammad Najie Ukasyah,
Ahmad Naqie Usamah; dan Samih Wahyu Maulana.
Selain sebagai ulama dan Rais Syuriah PBNU, Gus Mus juga
dikenal sebagai budayawan dan penulis produktif.
v
Menulis kolom, esai, cerpen, puisi di berbagai media massa,
seperti:
Intisari;
Ummat; Amanah;Ulumul Qur’an; Panji Masyarakat; Horison; Jawa Pos; Republika; Media
Indonesia; Tempo; Forum; Kompas; Suara Merdeka; Kedaulatan Rakyat; Detak; Wawasan; Bali Pos; Dumas.
v
Sejumlah karya
yang telah diterbitkan:
ü
Ensiklopedi
Ijmak (Terjemahan bersama KHM Ahmad Sahal Mahfudz, Pustaka Firdaus, Jakarta);
ü
Proses Kebahagiaan (Sarana Sukses, Surabaya);
ü
Awas Manusia
dan Nyamuk Yang Perkasa (Gubahan Cerita anak-anak, Gaya Favorit Press,
Jakarta);
ü
Maha Kiai
Hasyim Asy’ari (Terjemahan, Kurnia Kalam Semesta, Jogjakarta);
ü
Syair Asmaul
Husna (Bahasa Jawa, Cet. I
Al-Huda, Temanggung; Cet. II 2007, MataAir Publishing);
ü
Saleh Ritual Saleh Sosial, Esai-esai Moral (Mizan, Bandung);
ü
Pesan Islam Sehari-hari, Ritus Dzikir dan Gempita Ummat
(Cet. II 1999, Risalah Gusti, Surabaya);
ü
Al-Muna, Terjemahan Syair Asma’ul Husna (Al-Miftah, / MataAir
Publishing Surabaya);
ü
Mutiara-mutiara
Benjol (Cet. II 2004 MataAir Publishing, Surabaya);
ü
Fikih Keseharian Gus Mus (Cet. I Juni 1997 Yayasan Al-Ibriz
bejerhasana dengan Penerbit Al-Miftah Surabaya; Cet. II April 2005, Cet. III
Januari 2006, Khalista, Surabaya bekerjasama dengan Komunitas Mata Air);
ü
Canda nabi & Tawa Sufi (Cet. I Juli 2002, cet. II
November 2002, Penerbit Hikmah, Bandung);
ü
Melihat Diri Sendiri
(Gama Media, Jogjakarta);
ü
Kompensasi (Cet. I 2007, MataAir Publishing, Surabaya).
v
Cerpen-cerpennya dimuat dalam berbagai harian seperti
Kompas, Jawa Pos, Suara Merdeka, Media Indonesia dan buku kumpulan cerpennya,
Lukisan Kaligrafi (Penerbit Buku Kompas, Jakarta) mendapat anugerah dari Majlis
Sastra Asia Tenggara tahun 2005.
v
Disamping puisi-puisi yang diterbitkan dalam
berbagai Antologi bersama rekan-rekan Penyair (seperti dalam “Horison Sastra
Indonesia, Buku Puisi”; “Horison Edisi Khusus Puisi Internasional 2002”;
“Takbir Para Penyair”; “Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air”; Ketika
Kata Ketika Warna”; “Antologi Puisi Jawa Tengah”; dll), kumpulan-kumpulan puisi
yang sudah terbit :
ü
Ohoi, Kumpulan
Puisi Balsem (Cet. I
Stensilan 1988; Cet. II P3M Jakarta 1990; Cet. III 1991, Pustaka Firdaus,
Jakarta);
ü
Tadarus (Cet. Pertama 1993 Prima Pustaka, Jogjakarta);
ü
Pahlawan dan Tikus
(Cet. I 1995, Pustaka Firdaus, Jakarta);
ü
Rubaiyat Angin & Rumput (Diterbitkan atas kerja sama
Majalah Humor dan PT Matra Multi Media, Jakart, Tanpa Tahun);
ü
Wekwekwek (Cet. I 1996
Risalah Gusti, Surabaya);
ü
Gelap Berlapis-lapis
(Fatma Press, Jakarta, Tanpa tahun);
ü
Negeri Daging (Cet.
I. September 2002, Bentang, Jogjakarta);
ü
Gandrung, Sajak-sajak
Cinta (Cet.I Yayasan Al-Ibriz 2000, cet. II, 2007 MataAir Publishing, Surabaya);
ü
Aku Manusia (MataAir
Publishing, 2007, Surabaya);
ü
Syi'iran Asmaul
Husnaa (Cet. II MataAir Publishing, 2007,Surabaya);
ü
Membuka Pintu Langit
(Penerbit Buku Kompas, Jakarta November 2007) .
v
Kegiatan
Pameran:
ü
Pameran tunggal
99 Lukisan Amplop Desember 1997 di Gedung Pameran Senirupa Depdikbud Jakarta.
ü
Pameran bersama Amang Rahman (Alm) dan D. Zawawi
Imron Juli 2000 di Surabaya.
ü
Pameran Lukisan
dan Pembacaan Puisi bersama Danarto, Amang Rahman (Alm), D. Zawawi Imron,
Sapardi Djoko Damono, Acep Zamzam Noor.. November 2000 di Jakarta.
ü
Pameran Kaos Kaligrafi, Mei 2001 di Surabaya.
ü
Pameran Kaos
Kaligrafi, Agustus 2001 di Jakarta.
ü
Pameran Lukisan
bersama kawan-kawan pelukis antara lain Joko Pekik, Danarto, Acep Zamzam Noor,
D. Zawawi Imron, dll, Maret 2003.
ü
Pameran bersama
dalam rangka Jambore Seni, Juli 2006.
ü
Pameran
Kaligrafi Bersama, Jogya Galery, 2007.
heeee...tugas PIS anti pake yang ini apa yang Granada? anti keren bgd si... ana salut sama anti.
BalasHapuspermisi ya boleh saya jadikan contoh ya makalahnya...
BalasHapusMa waxaad tahay qof u baahan in si amaah ah oo degdeg ah si ay u bixiso biilasha, ballaarinta ganacsiga, meydadka shirkadaha ama amaah shakhsi? Nala soo xidhiidh maanta si aad u hufan oo amaah kalsoon soomi maanta via email: elenanino07@gmail.com
BalasHapusSalaan
Mrs. Elena
ijin copas nggeh. maturswun
BalasHapus