“The Secret Book”
Isma Az-Zaiinh
27-02-2016
“Juna bosan Mah. Juna bosan hidup dengan Mamah. Mamah tak pernah
punya waktu untuk Juna. Pantas saja ayah pergi, lari dari kehidupan Mamah yang
gila. Seharusnya Juna ikut bersama Ayah. Juna benci Mamah.” Teriak Juna sambil
berlari menuju kamarnya. Menguncinya dan berlari ke ruang perpustakaan pribadi
di kamarnya. Juna duduk di bawah rak buku memeluk lutut dan menangis.
“Juna. Maafkan Mamah. Semua yang Mamah lakukan juga untuk kamu Juna.”
Tak ada jawaban.
“Juna, buka pintunya Juna.”
Tetap tak ada jawaban.
“Miauww.” Kucing kesayangannya mengeong dan mengusap-usapkan
kepalanya di kaki Juna. Seolah menghiburnya. Juna meraihnya dan menaruh kucing
itu dipangkuannya. Kucing itu kembali mengeong dan melompat turun dari pangkuan
Juna.
“Ceri? Mau kemana?” Sahut Juna.
Kucing itu menengok ke arahnya dan mengeong lagi. Kemudian berjalan berbelok
ke kiri. Juna mengikutinya. Kucing berhenti di ujung lorong barat perpustakaan
pribadinya. Kucing itu duduk termangu seolah menunggu. Ada sebuah pintu di
sana.
“Ceri? Kau membawaku ke sini?”
Tanya Juna dengan raut muka heran.
Usianya 20 tahun. Dan selama itu ia belum pernah melihat pintu itu. Entah
kekuatan apa yang membuatnya melangkah mendekati pintu itu. Memutar gagang pintunya.
Pintu itu berderit. Gelap. Hanya ada cahaya yang menerobos dari jendela yang
sedikit tersingkap tirainya. Lantainya kotor dan berdebu. Begitu juga ranjang
dan semua perabot yang ada di sana. Kucing itu menerobos masuk yang diikuti
oleh Juna.
“Miaauuww” Ceri mengeong di atas peti yang tergeletak di tepi
ranjang.
“Kau menyuruhku membukanya?” Tanya Juna.
Juna pun membuka peti itu. Ada sebuah buku berwarna hitam. Juna
meraihnya.
“The Secret Book” Juna membaca tulisan emas yang ada sampul hitam
itu.
Juna membuka lembar pertama. Kosong. Hanya kertas usang yang
kekuning-kuningan. Juna hendak membuka lembar berikutnya ketika tiba-tiba saja
muncul tulisan di halaman yang tadinya kosong. Juna terperanjat kaget. Hampir
saja ia melempar buku itu.
Ia buka perlahan matanya yang refleks terpejam. Jantungnya berdegup
kencang. Ada tulisan-tulisan di lembar itu. Ia tak bisa membaca tulisan itu.
Simbol-simbol aneh. Ia sampai di tengah-tengah buku itu. Kosong. Tidak, ada
titik hitam. Titik itu semakin membesar. Membesar hingga memenuhi halaman buku
itu.
“Aaaaaaaa...” Teriak Juna kala muncul cahaya menyilaukan dari lubang
hitam yang menyedotnya masuk kedalam buku itu. Ia buka perlahan matanya. Ia
tetap sama dengan posisi sebelumnya. Hanya saja, ruangan itu berubah. Bersih.
Tirai jendela berwarna hijau. Seprei, bantal, cat tembok pun berwarna hijau
lembut. Warna kesukaannya. Lantai marmer berkilau. Langit-langit kamar di lukis
seperti langit sesungguhnya. Ada banyak bunga dalam vas di meja samping
ranjangnya, di bawah jendela, dan di setiap ujung ruangan. Berwarna-warni.
Indah.
Ceri melompat kepangkuan Juna. Bulunya yang hitam berubah menjadi
putih bersih. Juna meraih kucingnya hendak memeluk. Kala itu ia tersadar, baju
yang ia kenakan pun berubah. Menjadi gaun berwarna hijau lembut menjuntai
kebawah dengan lapisan kain tipis berwarna hijau terang yang berkerlip-kerlip.
Indah. Seperti gaun putri dalam dongeng. Ia berdiri. Berjalan. Memutar. Tak
percaya ia mengenakan gaun seindah itu.
“Aaaaa....” Ia menjerit, lagi. Kala ia melihat pada cermin besar yang
terpajang di atas meja rias di samping ranjangnya. Ia melihat gadis yang sangat
cantik. Benarkah itu dia? Juna berjalan mendekati cermin. Menyentuh pipinya.
Kemana perginya jerawat yang selalu memenuhi wajahnya itu? Pipinya lembut, merona,
bersih dan cerah. Rambutnya? Bukan lagi kribo mengembang tetapi panjang hitam
legam bergelombang. Ada mahkota kecil yang berkilau di kepalanya.
“Hwaahhh... Mimpikah?” Ucapnya sambil menepuk pipinya.
“Miiauww.” Ceri mengeong seolah menjawab pertanyaan Juna.
“Aaaaaaaa.... Ini nyataaaaa....” Teriak Juna sekali lagi. Juna
berjingkrak kegirangan.
“Juna sayang, ada apa? Kenapa menjerit begitu?” Terdengar suara
lembut dari balik pintu yang terbuka sedikit.
“Ma, mah?” Ucap Juna.
“Kamu panggil apa sayang? Mamah? Bukankah kau biasanya memanggil
bunda? Bunda Elena” Ucap perempuan cantik di hadapan Juna.
“Eh, nggak Ma, eh, bunda.” Ucap Juna tergagap. Ia bingung hendak
memanggil sosok di depannya itu dengan sebutan apa. Ia miripsekali dengan
Mamahnya di dunia nyata. Namun di sini ia terlihat lebih cantik. Tidak seperti
biasanya. Berantakan. Hidupnya hanya di laboratorium. Gila dengan
penemuan-penemuan bodohnya.
“Ayo turun. Bunda menunggumu dari tadi untuk saparan bersama. Hari
ini bunda masak menu spesial. Kesukaan kamu.”
“I, iya, Bunda.” Jawab Juna masih tergagap. Tak percaya. Bagaimana bisa
ibunya berubah menjadi ramah dan lembut seperti itu. Biasanya tak seramah itu.
Selalu mengabaikan Juna dan sibuk dengan dunianya sendiri. Ia berubah menjadi
sangat cantik. Dengan gaun perpaduan warna biru tua dan muda. Indah.
Juna meraih ceri. Berjalan mengikuti perempuan itu.
“Huwwaahhh.” Desah Juna tercengang. Di depan kamar juna ada sebuah
tangga berkilau yang menghubungkan dengan lantai dua. Sebuah ruangan yang
sangat besar. Seperti aula. Di lantainya terbentang permadani yang sangat indah
dan lembut. Dindingnya pun dihiasi dengan lukisan-lukisan dan ormamen yang indah. Sungguh. Rumahnya
seperti istana di negeri dongeng.
“Ayo sayang” Ucap perempuan bergaun biru itu.
Juna mempercepat langkah menuruni tangga. Menuju ruang makan. Juna
lahap memakan makanan kesukaannya itu.
Usai makan perempuan itu berdiri. Mengayunkan tongkat yang ada di
genggamannya. Semua peralatan makan itu terbang sendiri menuju wastafel.
Bergerak-gerak seolah ada yang sedang mencuci. Setelah bersih semua perabotan
itu terbang dan tertata rapi di rak.
“Mana tongkatmu sayang? Kamu tinggal di kamar?”
“A, eh, i, iya bunda.” Jawab Juna asal. Padahal ia tak tahu. Tongkat?
Tongkat apa? Tongkat sihir? Benarkah ia mempunyai tongkat sihir? Seperti yang
dipegang oleh perempuan itu?
“Tak apa. Bunda ambilkan.” Ucapnya sambil mengayunkan kembali
tongkatnya. Dan benar. Tongkat lain muncul dari kamarnya. Terbang menuruni
tangga, melewati ruangan tengah, dan sampai di depan Juna. Juna meraihnya.
Bingung.
“Lakukanlah apapun yang ingin kau lakukan Juna.”
Juna berjalan dan diiringi oleh Ceri. Menuju taman di belakang
istana. Sungguh. Indahnya tak tertandingi. Ada sebuah gazebo yang terbuat dari
kaca dan kristal. Berkilau di tengah danau yang jernih airnya. Di sekeliling
danau itu tumbuh bunga-bunga yang tertata dengan rapi. Berwarna-warni seperti
pelangi. Kupu-kupu berterbangan dengan sayap-sayap yang indah di dedaunan pohon
perdu yanga asri. Hari demi hari ia lalui di istana yang megah itu.
Suatu saat ia sedang berada di halaman atas istana megah itu, dimana
ia biasa menanti hadirnya sunrise dan sunset yang mengagumkan. Istana itu
memang benar-benar megah. Berada di puncak bukit yang di sisinya adalah lautan
yang indah memesona. Gerbang istana itu tampak kecil jika dilihat dari tempat
ia berdiri saat ini. setiap hari ia melihat perempuan yang berpakaian sederhana
berjalan menuju istana dengan di kawal oleh penjaga istana. Namun ia tak pernah
melihat perempuan-perempuan itu berjalan keluar ke istana. Entah. Mungkin
mereka tenaga baru yang direkrut menjadi pelayan di istana ini.
Hingga suatu hari. Kala ia sedang menunggang unicorn putihnya di
taman istana. Perempuan itu memanggilnya.
“Ayo ikuti bunda. Sudah waktunya kita melakukan ritual itu sayang.”
Ucap Elena sambil berjalan meninggalkan ruang makan.
“Ritual apa bunda?” Tanya Juna sambil beranjak mengikuti langkah
perempuan itu.
“Kau lupa? Hari ini genap usiamu 20 tahun. Kau harus melakukan ritual
ini jika ingin kecantikan dan kekuatanmu tetap abadi dan tidak pudar. Dan
ritual ini akan berlanjut setiap sebulan
sekali.”
Ritual? Kecantikan? Kekuatan? Keabadian? Pertanyaan itu berkelebat di
pikirannya. Hingga mereka sampai di depan pintu yang menjulang tinggi.
Perempuan itu mengayunkan kembali tongkatnya. Pintu itu berdebam.
Terbuka perlahan. Di dalamnya ada sebuah kolam dengan air berwarna merah. Air?
tak tampak seperti air. Entah. Darahkah?
“Masuklah ke dalamnya.” Ucap Elena.
“Ta, tapi ini apa bunda? Aku tidak mau.” Jawab Juna.
“Masuk. Kau tidak bisa menolaknya.” Jawab Elena tegas. Sorot matanya
menakutkan.
“Tidak. Aku tidak mau.” Jawab Juna hendak berlari keluar ruangan itu.
Perempuan itu mengayunkan tongkatnya. Pintu megah itu berdebam dan
kembali tertutup. Juna mendorong pintu itu. Percuma. Tenaganya tak kuat untuk
membuka pintu kokoh itu.
“Kau harus tetap hidup Juna. Untuk meneruskan kerajaan ini.”
“Ta, tapi apa yang ada di kolam itu?”
“Itu adalah harga yang harus dibayar untuk apa yang ingin kita
inginkan Juna.”
“Tidak. Bukan ini yang aku inginkan.”
“Bukankah ini impianmu? Menjadi putri cantik yang hidup di kerajaan
mewah? Bukan hidup di rumah tua dengan Mamahmu yang gila itu. Gila dengan
penemuan-penemuan tak bergunanya?”
Saat itu Juna teringat pada ibunya. Ia merindukan ibunya. Ia menyesal
kala itu membentak ibunya dan berkata bahwa ia membencinya. Sekarang ia tak
butuh kemegahan, kecantikan, dan kekuatan ini. Ia hanya butuh ibunya.
“Mamah.” Ucapnya lirih dengan derai air mata yang mulai mengalir. Ia
mengayunkan tongkatnya ke arah perempuan itu. Tongkat itu mengeluarkan petir
yang membuatnya terpental. Namun itu tak seberapa. Kekuatan Juna tak mampu
menandingi Elena.
Elena balas mengayunkan tongkatnya. Bukan untuk melukai Juna.
Melainkan mengambil tongkat yang digenggam oleh Juna. Tongkatnya terlempar jauh
darinya. Juna tak bisa melawan.
“Ayo cepat.” Perempuan itu menarik paksa tangan Juna dan menyeretnya
menuju kolam berisi darah itu.
Juna meronta. Ah, sayang sekali tongkatnya tak bisa ia raih. Mereka
sampai di tepi kolam itu.
“Setelah ini kau takkan pernah bisa kembali ke duniamu yang dulu.
Hahahhhaa...” Ucap Elena dengan tawa yang mengerikan.
Hingga tiba-tiba saja Ceri, kucing Juna, berlari menerjang wajah
Elena yang membuatnya terjatuh ke dalam kolam itu. Juna langsung berlari meraih
tongkatnya dan mengayunkan ke arah pintu itu. Sepertinya Elena kehilangan
tongkatnya dikubangan darah itu.
“Jangan buka pintu itu Juna. Jangan!!!”
Terlambat. Pintu itu terbuka. Juna meraih Ceri dan melangkah keluar
pintu itu. Ia kembali ke ruang perpustakaannya. Segera ia menutup pintu itu.
Tepat saat Elena hendak sampai ke pintu. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya
tersengal. Ia menghela napas dan memeluk Ceri.
“Juna, buka pintunya. Maafkan Mamah sayang.” Terdengar suara dari
balik pintu kamarnya. Ibunya masih di sana? Jadi berbulan-bulan ia di dunia
aneh itu tak merubah sedikit pun waktu di sini? Juna segera berlari. Membuka
pintu kamarnya. Dan memeluk ibunya.
“Mamah, maafkan Juna. Maafkan Juna. Juna sayang Mamah.” Ucapnya
dengan derai air mata.
“Mamah
juga sayang kamu Juna. Maafkan Mamah.”
0 komentar:
Posting Komentar