“Kau Ibu”
Oleh Isma
Az-Zaiinh
“Ibu....Ibu...., ada nenek-nenek di luar Bu...”
“Iya Ibu, ada pengemis Bu, bajunya
jelek” Celoteh kedua anak kecil sambil berlari berhamburan masuk ke rumah
menemui Ibunya.
“Ada apa sayang...” Jawab sang ibu
sambil berjalan menuju pintu depan. Raut wajahnya menegang ketika ia melihat
siapa yang dimaksud anaknya sebagai pengemis.
“ Dira, Nina, masuk ke dalam dulu yah”
Ucapnya kepada kedua anak kembarnya.
“Mau apa Kau ke sini?!”
ia jawab pertanyaan itu dengan
menyerahkan sebuah bungkusan.
“Sudahlah, jangan
campuri kehidupanku..!, enyahlah, dan jangan pernah menampakkan wajahmu di hadapanku
lagi...!” Ucapnya sambil melempar bungkusan yang ternyata berisi kue-kue kecil.
Sosok rapuh itu tak mampu menjawab, hanya air mata yang
mampu mewakili betapa pedih hatinya. Ia langkahkan kakinya yang terasa semakin
berat. Sangat berat. Betapa tidak, anak satu-satunya, yang ia rawat sejak
kecil, memperlakukannya bak sampah yang mengganggunya.
Mendung semakin nampak. Langit yang sedari dari berwarna
biru kini merubah kelam oleh mendung yang menyelimuti. Satu-satu, tetes air
hujan mulai turun, menyentuh tubuh lemah yang berlajan pelan. Terseok, mencoba
menyeret tubuhnya yang terasa akan jatuh, hanya bertumpu pada tongkat yang
licin oleh guyuran air hujan. Air matanya bercampur dengan air hujan yang kini
telah membasahi sekujur tubuhnya. Ia tak peduli. Hatinya telah hancur.
Teringat ia, kala berjuang antara hidup dan mati,
berharap kehadiran sebuah kehidupan makhluk mungil. Air mata bercucuran penuh
bahagia menyambut kehadiran malaikat kecil yang ia namai Intan. Dan kini, ia
kucurkan air mata kesedihan demi mendengar orang yang paling ia cintai
menyuruhnya untuk tidak pernah hadir di kehidupannya lagi.
Kelebat-kelebat memori silam datang menampar-nampar,
membuka luka lama yang ia obati perlahan-lahan. Sesak kini menjalar memenuhi
rongga di hati. Dinginnya air hujan tak mampu mengalahkan pedih yang terasa
hingga ke sumsum tulangnya. Kala itu ia berusia 12 tahun.
“Ibu, kenapa ibu pincang sih..!Intan malu diledekin
temen-temen..!” Ucapnya sambil melempar tas sekolahnya di hadapan ibunya.
Kemudian ia lari masuk ke kamar membiarkan ibunya yang diam membatu.
Sang ibu memungut tas itu, mengusapnya, dan menciumnya.
Tak terasa bulir air hangat mengalir dari matanya yang kemudian menjadi
sesenggukan yang membuat tubuh ringkihnya berguncang.
###
Hujan semakin deras, sederas air matanya yang seolah tak
mampu berhenti. Jalanan sepi, hanya sesekali kendaraan lewat menyelip tubuh
ringkih tua yang berjalan terseok-seok. Memori-memori silam kembali berkelebat
di depan matanya. Menusuk-nusuk hatinya yang telah hancur berkeping-keping.
Kala itu ia kelas dua SMA. Di lorong sekolah yang sepi seorang gadis berseragam
putih abu-abu dengan modisnya, berjalan menghampiri sosok tua yang sedang
membereskan dagangannya.
“Kenapa sih harus jualan di sini?! Mau bikin malu saya
ya..! Mulai besok jangan pernah jualan di sini lagi, ngerti..!!”
Sang ibu hanya diam.
“Udah nggak usah nangis..! Mentang-mentang bisu bisanya cuma
nangis doang..!” ucapnya sambil berjalan cepat meninggalkan sosok yang kini
berlinangkan air mata. Ia pendam semua kesedihannya. Tak pernah ia membalas ucapan
kasar anak semata wayangnya. Ia mencoba mengubur kepedihan-kepedihan itu dan
mengubahnya menjadi rasa kasih sayang yang ia berikan sepenuhnya kepada
anaknya.
Hal yang paling membuatnya sedih adalah saat anaknya
berniat untuk pergi merantau ke Jakarta seusai lulus SMA.
“Aku mau pergi, mau merubah nasib, bosan aku hidup miskin
seperti ini!”
Lagi-lagi sang ibu diam. Meski hatinya meronta memohon
agar ia tidak pergi, namun ia berusaha tersenyum dan memberikan secarik kertas.
Pergilah nak,
carilah kebahagiaanmu,
maaf aku tak bisa membahagiakanmu,
Intan benar-benar pergi meninggalkan
ibunya. Tak ia indahkan kertas yang diberikan oleh ibunya kepadanya. Baginya,
lepas dari ibunya adalah suatu kemerdekaan. Sudah lama ia menanggung malu
tinggal dengan orang yang menurutnya memalukan. Pincang, miskin, bisu pula. Ia
pun berharap takkan pernah mempunyai orang tua seperti dia. Ia pergi tanpa
menoleh ke belakang lagi. Tak ia lihat bagaimana raut wajah ibunya yang terasa
berat melepas anaknya. Tak terasa air mata mengalir, menetes, mewakili pedih di
hatinya yang teramat sangat.
###
Suatu hari ia berkeliling menjajakan
dagangannya, kue-kue kecil yang ia buat sendiri. Hari sudah menjelang malam.
Nampak mega merah yang berarak mendekati pekat. Setengah lingkar matahari yang
membara pun perlahan menenggelamkan diri di ufuk horison barat. Ia melangkah
cepat, takut akan kemalaman di perjalanan. Di tikungan tiba-tiba muncul sebuah
mobil yang melaju cepat.
Ckiiiiiitt...
Hampir saja ia tertabrak mobil itu jika
saja mobil itu tidak mengerem dan ia melangkah selangkah lagi. Tuhan masih
melindunginya. Segera saja penumpang dari mobil itu turun.
“Heh, bosan hidup ya..! kalo jalan pake
mata dong..” ucap seorang perempuan yang tak asing suaranya. Dan ternyata, itu
adalah suara anaknya. Anaknya yang telah pergi meninggalkannya empat tahun yang
lalu. Sang ibu sangat kaget, melebihi kekagetannya sesaat lalu saat nyawa
terasa hendak lepas dari raganya.
“Kau..., Kau.. a...anakku...” Ucap sang
ibu terbata-bata menahan haru karena tak ia sangka akan bertemu dengan anaknya
lagi.
“Kau...” Ucap sang anak yang tak kalah
kagetnya.
“Siapa sih Mah?” Muncul sebuah suara
dari dalam mobil yang di susul dengan kemunculan sosok tegap dan berbaju rapi.
‘Mungkinkah ia suaminya’ Batin sang ibu.
“Bukan siapa-siapa Pah, ayo pulang Pah,
anak-anak sudah menunggu.”
Dua orang itu pun masuk ke mobil dan
pergi meninggalkan sosok yang masih terheran-heran itu. Sang ibu tak mau
melepaskan anaknya begitu saja. Ia ikuti
mobil itu yang ternyata berhenti tak jauh dari tikungan tadi. Gerbang
rumah di buka dan muncul dua sosok mungil yang berteriak kegirangan menyambut ayah dan
ibunya. Sang ibu hanya bisa mengamati dari kejauhan. Menahan haru melihat senyum
dan tawa keluarga yang bahagia itu. Sejak itu, setiap hari ia ketempat ini.
Sekedar melihat senyum tawa anak dan cucu-cucunya, meski itu dari kejauhan.
###
Langit masih saja menumpahkan airnya yang seolah tak
pernah habis. Hari pun semakin pekat. Mentari telah benar-benar bersembunyi di
peraduan. Meninggalkan sosok tertatih-tatih dalam guyuran hujan dan selimut
gelap yang mencekam. Hanya sesekali sorot lampu kendaraan menerpa dirinya,
menampakkan sosok rapuh tak berdaya. Ia terus saja berjalan, meski tak tahu
kemana arah ia langkahkan kakinya. Seolah ia sudah tak peduli pada tanah bumi
yang ia pijak itu. Pikirannya mengembara, menyelami memori-memori silam. Masih
tentang anaknya. Dan hanya tentang anaknya. Hingga tiba-tiba sebuah mobil
berwarna merah melesat cepat di pertigaan. Tak sempat sang pengemudi menginjak
rem dan ujung mobil itu telah menyentuh sosok rapuh tertatih itu.
Brukk...
Sosok rapuh itu terjatuh. Darah mengalir bercampur dengan
air hujan dalam malam yang pekat. Tetes-tetes hujan menjadi saksi bisu
perjalanan sosok ringkih itu menanggung pedih. Melawan derita yang seakan tak
pernah habis. Kelebat-kelebat memori semakin padam. Padam. Ia memejamkan mata
dan jatungnya berhenti berdetak.
###
“Mah, anak kita yang ketiga mau diberi nama siapa?”
“Hmmm, bagusnya apa ya Pah.”
“Bagaimana dengan Maryam?”
“Maryam?!! Kenapa harus maryam??”
“Aku teringat dengan seseorang yang menyelamatkanmu waktu
kau melahirkan dulu Mah, Ia datang tiba-tiba disaat aku sedang kebingungan mencari
pendonor darah AB, sungguh ia bagai malaikat,saat itu aku sangat takut
kehilanganmu Mah”
“Maryam? Bagaimana ciri-cirinya Pah?” Ucap sang istri
penasaran.
“Ia memakai daster, dan membawa sekeranjang kue-kue waktu
itu. Ah iya, ada tahi lalat di dagunya dan ia, ia bisu.”
Deg..
Tak salah lagi, itu adalah ibunya. Ah, kenapa ia merasa
terharu kali ini. Terharu pada sosok yang amat ia benci. Tapi bagaimana pun ia
telah menyelamatkan hidupnya. Ia berjanji suatu hari akan mengunjunginya,
sekadar mengucap terima kasih.
“kenapa Mah,kamu kenal?”
“E, ti..tidak Pah” segera ia mengubah ekspresi
kegugupannya.
###
Ia menghentikan mobil di depan rumah kecil yang lebih
tepat disebut gubuk. Bangunan yang sudah sangat tua, terlihat dari dindingnya
yang sudah jebol di sana-sini dan terkelupas menampakkan deretan batu-bata yang
menyusunnya. Cat pada jendela dan pintunya pun sudah tak nampak. Lantainya
masih berupa tanah.
Ia turun dari mobil. Sedikit ragu, namun akhirnya ia
melangkahkan kakinya menuju gubuk yang pernah menjadi rumahnya dulu. Ia ketuk
pintu. Tak ada jawaban. Ia ketuk lagi. Tetap tak ada jawaban. Ah iya, ia ingat
mungkin ibunya sedang berkeliling menjajakan dagangannya seperti biasa. Ia pun
berbalik arah hendak menuju mobilnya, hingga tiba-tiba terdengar suara dari
belakangnya.
“Nyari siapa Bu?”
Intan pun membalikkan badannya dan mendapati seorang
perempuan muda seusia dengannya muncul dari balik pintu rumah ibunya.
“Nyari Ibu Maryam, ada?”
“Sayang sekali Bu, Beliau sudah meninggal seminggu yang
lalu”
“A...apah??” ucap Intan kaget dan matanya berkaca-kaca.
“Maaf, kalau boleh tahu ibu siapa ya?”
“Sa..Saya bukan siapa-siapa.”
“Ah, sayang sekali, saya kira Ibu adalah anaknya yang
sering beliau ceritakan. Saya ingin menyerahkan peninggalan beliau kepada anaknya.”
“Sa...Saya kenal dengan anaknya, apa yang ingin
dititipkan? “Nanti akan saya berikan kepada anaknya.”
“Syukurlah, sebentar saya ambilkan.” Ia masuk dan tak
lama kemudian ia muncul dengan membawa sebuah kotak persegi dari kayu.
“Ini, saya tidak tahu apa isinya. Tolong sampaikan ke
Intan ya.”
“I...Iya.., saya permisi dulu, terima kasih.”
Ia pun pergi dengan membawa perasaan sedih dalam hatinya.
Entah karena apa. Bagiamana ia bisa merasa sedih dengan kepergian orang yang
selama ini ia benci. Apakah mungkin ia sudah tidak membenci ibunya lagi? Sesampainya
di rumah ia segera membuka kotak itu. Kotak itu berisi sebuah buku. Buku yang
terlihat sudah sangat tua Sampulnya berwarna coklat. Cukup bersih, mungkin
ibunya merawatnya dengan baik. Ia mulai membuka buku itu lembar demi lembar.
02-07-1965
Hidupku menjadi terasa indah dengan hadirnya sosok mungil
dalam hidupku, Intan, anakku yang amat kucintai. Semua kesedihan karena
ditinggalkan oleh suamiku seolah hilang semua. Hari-hariku menjadi lebih
berwarna. Aku berjuang keras untuk selalu membahagiakanmu.
25-02-1970
Saat itu aku akan menjemputmu di TK. Kau melihatku dan
langsung menghampiriku dengan menyebrang jalan di depan TK. Aku langsung menghampirimu
menyelamatkanmu dari mobil yang hampir menabrakmu. Kau selamat Nak, aku
bersyukur kau selamat. Meski untuk melihatmu selamat aku harus kehilangan satu
kakiku dan sejak itu aku berjalan pincang.
04-12-1982
Suatu hari kau bertanya kepadaku, “Ibu, kenapa ibu
pincang sih..!Intan malu diledekin temen-temen..!” Aku tak bisa menjawab. Bukan
karena lisanku yang tak mampu berkata tapi karena hatiku yang tak mampu
berkata. Aku tak mau kau merasa bersalah jika ku jawab kenapa aku pincang. Maaf
nak, maafkan ibumu yang memalukan ini.
19-02-1998
Hari itu aku dipanggil kepala sekolahmu. Biaya sekolahmu
menunggak. Aku datang. Aku datang untuk membayar sekolahmu dengan kalung peninggalan ayahmu. Satu-satunya
perhiasan yang aku punya. Hari sudah siang, jadi aku sekalian menjajakan dagangan
di sekolahmu. Tiba-tiba kau datang dan berkata, “Kenapa sih harus jualan di
sini?! Mau bikin malu saya ya..! Mulai besok jangan pernah jualan di sini lagi,
ngerti..!! Udah nggak usah nangis..! Mentang-mentang bisu bisanya cuma nangis
doang..!”
Maaf nak, maafkan ibumu yang tak tahu diri ini, maafkan
ibumu ini yang memalukan ini. Dan maafkan ibumu yang tak bisa bicara ini. Aku
menyayangimu, sangat menyayangimu.
13-09-2000
Di pagi buta, saat ku hendak pergi menjajakan dagangan,
kau berkata kepadaku, “Aku mau pergi, mau merubah nasib, bosan aku hidup miskin
seperti ini!” Aku sangat sedih kala itu. Tak apa kau benci padaku, tak apa
selalu berkata kasar padaku. Asal kau tak pergi dariku. Aku ingin kau selalu
ada di sampingku hingga ajalku tiba. Karena hanya kaulah alasanku untuk terus
hidup Nak. Semua telah aku korbankan untukmu, hanya untukmu. Tapi akhirnya aku melepasmu dengan berkata pada secarik
kertas yang kau buang tanpa kau baca, “Pergilah Nak, carilah kebahagiaanmu,
maaf aku tak bisa membahagiakanmu.”
07-01-2007
Sebenarnya aku sangat sakit kala kau tak mengakui aku
bukanlah ibumu. Orang tua mana yang tak sakit hatinya setelah berjuang
membesarkanmu dan tidak diakui sebagai orang tua nak. Tetapi aku terlalu
bahagia bisa bertemu denganmu kembali.Tak ku sangka aku bertemu lagi denganmu.
Kau telah kembali dari merantau. Kau berubah sekarang. Menjadi sangat cantik.
Dan kau telah bersuami. Anak-anakmu sangat manis.. Sejak itu, diam-diam aku
selalu mengunjungi rumahmu sekadar melihat senyummu, anak-anakmu, meski itu
hanya dari kejauhan. Itu sudah cukup membuatku tersenyum nak. Berbahagialah
nak, karena bahagiamu adalah bahagiaku.
06-06-2007
Kala itu ku tahu kau akan melahirkan. Aku datang ke rumah
sakit. Daganganku yang sedari pagi belum laku ku biarkan saja. Aku menungguimu
di situ, meski tak ada satu pun yang tahu nak, bahkan dirimu. Hingga ku dengar
kau mengalami pendarahan hebat, aku langsung menawarkan diriku untuk
mendonorkan darah kepadamu nak. Syukurlah kau selamat dan anakmu pun selamat.
21-12-2007
Besok aku akan ke rumahmu. Aku ingin melihat cucu baruku
yang baru berumur enam bulan. Akan aku bawakan kue-kue kesukaanmu dulu. Semoga kau
suka...
Tak terasa
selama membaca catatan ibunya air matanya mengalir dengan deras. Betapa
durhakanya ia selama ini. Betapa jahatnya ia selama ini. Ia telah menyakiti
sosok malaikat yang sangat mencintainya. Terakhir ibunya menulis catatan di
buku itu adalah hari dimana ibunya datang kerumahnya dengan membawa kue-kue
yang ia lempar di hadapan ibunya.
Pedih.
Bagaimana ia tak menyadari selama itu ia tinggal bersama seorang malaikat yang
selalu menjaga dan menyayanginya. Ia menangis sejadi-jadinya hingga tubuhnya
berguncang. Bahkan kata maaf pun belum sempat ia ucapkan.
‘Ibu...,
ibu...’ Rintihnya dalam hati sambil memeluk buku tua peninggalan ibunya.
“Mah,
kenapa Mah” Ucap suaminya khawatir setelah dilihatnya sang istri tercinta
menunduk tersimpuh dan menangis sesenggukan.
“Pah,
bimbing aku bertaubat Pah..”
Seusai
tangisnya reda, ia ceritakan semuanya kepada suaminya dan ia pun meminta maaf
karena telah membohongi suaminya bahwa ia seorang yatim piatu dan tak mempunyai
kerabat.
“Sudahlah,
aku memaafkanmu sayang..” Ucap sang suami dan memeluknya.
“Pah, aku
akan berjilbab, aku akan menghafal Al-Qur’an, aku ingin memberikan jubah
kemuliaan untuk orang tuaku di akhirat nanti Pah. Sebagai ucapan maaf dan
terima kasihku yang tak sempat kusampaikan padanya.”
Sejak saat
itu ia pun berjilbab dan mulai menghafalkan Al-Qur’an. Ia mulai rajin belajar
tentang agama. Tak berapa lama, ia pun mendirikan sebuah panti jompo dan panti
asuhan. Ia curahkan hidupnya untuk lebih
memperbaiki diri. Menata hati, jiwa, dan raganya. Hidayah telah benar-benar
Allah turunkan kepadanya melalui perantara sang ibu, sosok malaikat yang kini
amat dicintainya.
Suatu hari
ia menziarahi makam ibunya. Tak seperti biasanya, kali ini ia datang sendiri.
Sepoi angin sore datang membelai jilbabnya dan menembus relung hatinya. Terasa
damai.
“Ibu...,
seribu maaf mungkin takkan pernah cukup untuk menghapus salahku padamu. Tapi
aku akan melakukannya, dan terus melakukannya, dalam untaian do’aku untukmu.
Terima kasih..., terima kasih untuk keikhlasan cinta kasihmu yang tak pernah
menagih pamrih.., Ibu...”
Semarang, 6 Juni 2013