CINTA DALAM DIAM
Isma Az-Zaiinh
Ku melihat ada seseorang menghentikan motornya tepat di
depan rumahku. Ia masuk kerumah dan kakakku, Anwar yang menemuinya. Ternyata ia
mencariku, kakakku pun memanggilku. Saat itu aku sedang berada di kamar. Aku
pun keluar dan menemuinya. Ku lihat ia berdiri dari duduknya.
“Tidak.” Begitulah ucapnya.
Setelah itu penglihatanku kabur dan aku terbangun. Aku terpaku
sejenak berusaha mencerna apa arti dari
mimpiku ini. Tak seperti biasanya, kali ini aku mampu mengingat mimpiku
yang terlihat begitu nyata itu. Jantungku berdebar kencang. Ada apa ini?. Tak
pernah ku sebelumnya merasa seperti ini.
“Ah, sudahlah, hanya mimpi biasa.” Ucapku dalam hati. Aku
pun bergegas ke belakang untuk berwudhu.
Pagi yang indah. Langit sangat cerah namun teduh,
berhiaskan awan – awan putih yang tersapu warna merah seperti pipi yang merona.
Ditambah sepoi angin pagi yang membelai begitu sejuk. Ingin rasanya kuberhenti
di waktu ini sedikit lebih lama. Ku tak ingin lepas dari pelukan pagi yang
indah ini.
“Neng.” Ucap seseorang dengan menadahkan tangannya di
hadapanku.
Segera ku rogoh saku dan memberikan selembar uang dua ribuan kepada kernet
angkot yang ku tumpangi ini.
“Pasar, pasar...” Kembali kenet angkot tadi mengagetkanku. Tapi kali ini
aku berterima kasih, dalam hati tentunya, karena sudah menyadarkanku sebentar
lagi sampai di sekolah. Pernah sekali waktu aku sibuk dengan hp ku hingga tak
sadar angkot yang aku tumpangi elah melewati sekolahku. Saat itu hujan, sangat
lebat malah, jadi aku tidak bisa melihat keluar dengan jelas. Alhasil, aku pun
harus naik angkot lain untuk kembali ke sekolah.
Baru saja aku turun dari angkot tadi, mataku tertumbuk dengan gerbang
sekolahku. Ah, aku teringat mimpiku semalam. Seseorang itu adalah orang yang
sering ku di sini, di sekolah ini. Dia adalah guruku, guru bahasa arabku
tepatnya. Entah kenapa aku merasa mimpiku kali ini terasa berbeda. Seperti
mempunyai makna. Tapi apa maknanya? Aku pun tak tahu.
“Door...!!!!” sebuah suara mengagetkanku. Aku berbalik dan menemukan sosok
wajah yangn berbalut jilbab sambil memamerkan giginya tanpa dosa. Dialah Umi,
teman sabangkuku.
“Ahh, ngagetin aja sih”
“Yee, siapa suruh pagi – pagi udah ngelamun.”
“Nggak ngelamun, tapi lagi memikirkan sesuatu.”
“Apaan tuh?”
“Apa aja boleeee....”
“Yeee, rese deh. Eh Ra, uda hafalan pidato bahasa arab belum?”
Deg. Bahasa arab? Ah, kenapa semua yang berhubungan dengannya selalu
membuatku seperti ini. Seperti terkena sengatan listrik.
“Belum.” Ku jawab pelan.
“Sama dong....hehe.” Tak ku hiraukan lagi ia. Ku berjalan dengan ditemani
celotehan darinya.
###
“Teeeet..., teeeet..., teeeet....”
Terdengar bunyi bel tanda pergantian jam pelajaran.
“Aaaaaa.........” Teriakku dalam hati. Bagaimana tidak? Ini adalah bel
tanda masuk jam ketiga. Itu artinya aku harus pindah kelas menuju kelas bahasa
arab. Kelas dimana baru ku masuki saja sudah membuatku panas dingin. Aku tak
tahu kenapa bisa seperti itu. Sungguh, kalau bisa aku tidak ingin ikut
pelajaran saja.
###
“Berarti kamu suka Ra sama orang itu.”
“Hah? Yang benar saja Mi... ! Kalau orang suka mah harusnya pengen deket
terus dong sama orang yang disukai. Lha, aku malah pengennya selalu menghindar
darinya Mi.
“Zahra, sekarang tatap mata aku, bilang kalau kamu nggak suka sama orang
itu?”
“A......” Aku tercekat. Tak mampu ku berkata-kata lagi. Tak terasa, ada
bulir bening mengalir di pipiku.
“Ra, kamu kenapa? Kamu nangis?”
Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku semakin tersedu.
“Ra, maaf kalau aku salah ngomong. Ra, jangan nangis dong.”
“Apakah boleh Mi aku menyukai dia?” Ucapku sambil tersedu.
Umi mendekapku dan berkata, “Udah, udah, jangan nangis lagi. Kenapa nggak boleh
Ra? Hak mu untuk menyukai siapa pun.
Aku masih tersedu dalam dekapannya. Benahkah aku menyukainya? Mana mungkin?
Selama ini, aku tidak berani menatapnya. Aku selalu menghindar saat berpapasan
dengannya. Aku tidak berani melewati ruang kelasnya saat akan pergi ke mushola,
meski aku harus memutar jalan lebih jauh. Aku yang berhaap cepat-cepat lulus
dari sekolah ini agar tidak bertemu lagi dengannya. Dan dia, dia selalu hadir
dalam ingatanku tanpa aku mau. Aku, aku ingin berhenti memikirkannya. Membuatku
sakit. Aku lelah. Aku lelah dengan keadaanku yang rumit ini.
###
“Hmmm..... mana ya?”
Sejak dari tadi aku mencari-cari kamus bahasa arab. Tetapi tidak ketemu.
Tumben, biasanya selalu ada kalau aku sedang butuh. Kamus itu sudah menjadi
langgananku. Aku pun menaruhnya khusus di pojok agar aku mudah mencarinya. Tapi
kali ini aku tak menemukannya meski sudah ku cari di setiap sudut rak buku
perpustakaan ini.
“Nyari ini Ra?” ucap sebuah suara mengagetkanku. Dan yang lebih
mengagetkanku lagi. Suara itu adalah milik Pak Ikhsan, guru bahasa arabku. Ya
Rabb, aku seketika membeku, panas dingin mulai merayap menyelimutiku. Ah,
bahkan aku pun tak mampu berkata apa pun. Tapi, aku tak boleh begini. Segera ku
menundukkan pandanganku, menenangkan diri dengan memainkan ujung jilbab
lebarku.
“i....iya Pak.”
“Oh, ini, tadi Bapak pinjam sebentar.” Ia pun menyerahkan buku itu kepadaku
dan segera berlalu. Ku tak tahu bagaimana ekspresi wajahya karena sampai ia
berlalu aku masih menundukkan pandanganku. Tersenyumkah? Datarkah? Aku tak
tahu. Bagaimana dengan dia? Taukah ia makna dari ekspresiku? Taukah ia betapa
jantungku berdebar sangat kencang? Taukah ia bahwa tubuhku panas dingin dengan
seketika? Ah, bagaimana pula ia tahu aku mencari kamus itu?
Aku masih terpaku dengan sejuta tanda tanya yang saling berkelebat.
Kejadian ini membuatku semakin takut. Benarkah ia bisa membaca pikiranku? Jika
memang benar apakah ia tahu bagaimana perasaanku? Ah. Ini semua membuatku gila.
Ini bukan pertama kalinya kejadian yang membuatku merasa ia bisa membaca
pikiranku. Entah, darimana aku mempunyai pikiran bahwa ia bia membaca
pikiranku. Tapi itulah yang aku rasa. Ya Allah, tolonglah aku.
###
Cuuuuuuurrr....
Ku buka keran dan ku basuh wajahku. Aku bermimpi itu lagi. Mimpi yang terasa
nyata dan selalu membayangi hari-hariku. Entah, sudah keberapa kali. Tapi kali
ini aku bermimpi berada dalam sebuah kelas. Di sana ada teman-temanku. Ku
melihat di sana ada sebuah acara yang entah aku tak tahu acara apa itu. Kami
duduk di bangku mendengarkan tutor-tutor yang ada di depan kami. Salah satunya
ada Pak Ikhsan. Ketika aku maju ke depan kelas di suruh salah satu tutor entah
untuk apa. Ku lihat Pak Ikhsan keluar dan tak kembali lagi. Aku menatap heran
dan aku terbangun. Ah, apa pula makna mimpi ku kali ini? Ku lirik jam yang
terletak di dinding sebelah kananku. Sudah pukul 03.00. aku pun berwudhu dan
sholat tahajud, berharap aku bisa merasa lebih tenang.
Seusai sholat, ku lipat sajadahku. Namun aku masih membiarkan diriku dalam
balutan mukenah. Ku duduk di tepi ranjangku masih menghadap sama seperti saat
aku sholat. Aku sedikit merenung. Mungkinkah dia membenciku? Tak terasa air
mataku kembali mengalir. kali ini terasa hangat dan panas. Mewakili hatiku yang
terluka perih. Ku biarkan air mataku mengalir jatuh membasahi mukenahku.
Bahkan, aku tak mampu menggerakkan tanganku untuk menyeka air mataku.
###
Kali ini pelajaran bahasa arab. Semoga ku duduk di bangku paling belakang.
Walau pun sama saja, aku tetap merasa panas dingin seperti biasanya. Tapi
setidaknya itu lebih baik. Aku bisa bersembunyi di balik punggung
teman-temanku, sekadar untuk membentengi pandanganku.
Pernah suatu ketika aku datang terlambat. Aku kebagian duduk di bangku
paling depan. Kalau saja Pak Ikhsan belum berada di kelas ingin rasanya aku
bolos dengan berpura-pura sakit di UKS. Tapi, akhirnya aku pun duduk di bangku
depan itu. Sungguh, sepanjang pelajaran aku menundukkan pandanganku. Tak berani
ku melihat ke depan sekedar melihat papan tulis karena aku takut pandanganku
beradu dengan Ustadz Ikhsan. Aku hanya mengandalkan pendengaranku untuk
mencerna materi kali itu.
Dan saat ini seperti biasaya Ustadz Ikhsan memulai pelajaran dengan
terlebih dahulu memberikan kami wejangan berupa kisah-kisah inspiratif,
nasehat-nasehat, maupun humor yang mengandung ilmu. Ia menyalakan proyektor dan
menampilkan layar yang berisi tulisan “...dan wanita-wanita yang baik adalah
untuk laki-laki yang baik dan laki-laki
yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” An-Nur:26.
“Nah, itu ada kata-kata bagus.” Ucapnya kepada kami dengan nada yang
menurut ku hanya ditujukan kepadaku. Sungguh, aku ingin menangis. Apa
maksudnya? Apakah dia baru saja mengatakan bahwa aku tidak baik untuk dia.
Mataku sudah berkaca-kaca. Ada sebutir bening air mataku yang hampir jatuh dan
segera ku seka. Setelah pelajaran usai ku lanngsung belari ke mushola di
sekolahku. Ku berwudhu dan sholat dhuha. Ku menangis sejadi-jadinya. Di sinilah
tempatku paling aman. Aku bisa menangis mengadu dengan sepuasnya kepada Allah.
Tempat curhatku yang terbaik. Hanya kepada-Nya lah aku bisa bercerita mengenai
aku, dia, dan perasaanku. Biarlah, biarlah ini menjadi rahasia antara aku dan
Sang Pemilik hatiku.
Seusai sholat aku merasa sedikit tenang.
“Baiklah..., aku akan menghilang, jika itu yang kau mau...” Ucapku lirih di
depan cermin mushola.
Sejak itu aku benar-benar berusaha menghilangkan perasaanku yang menyiksa
ini. Ku menghindar dari tempat-tempat di mana aku bisa melihatnya. Aku
bersyukur minggu depan sudah tidak ada lagi pelajaran bahasa Arab. Jadi bisa
mengurangi intensitas pertemuanku dengannya. Minggu-minggu sebelumnya beliau
memang jarang masuk kelas. Allah mengabulkan do’aku, atau mungkin dia tahu aku
sedang mengurangi intensitas pertemuan dengannya, agar aku bisa menghilangkan
perasaanku.
Usahaku cukup berhasil walau belum bisa di bilang berhasil. Tak apa.
Sebentar lagi aku lulus dari sekolah ini. Itu artinya aku tidak akan lagi
bertemu dengannya. Jadi akan lebih mudah untukku melupakannya, melupakan
perasaanku padanya.
###
“Aku lulus....!” Ucapku yang di
sambut senyum gembira teman-temanku. kami semua tersenyum bahagia, bahkan ada
beberapa temanku yang menangis. Aku peluk sahabatku tercinta, Umi. Dia pun membalas
erat pelukkanku. Ah, kenapa ada hari mengharukan seperti ini? Begitu indah. Aku
senang melihat senyum tawa temanku merekah sebagai ungkapan betapa bahagianya
mereka hari ini. Aku pun bahagia. Bahagia bisa segera melupakan semua
kenangan-kenanganku di sini. Ah, atas nama apa air ini mengalir? Bahagiakah?
Sedihkah? Entah.
Seusai ku menemui teman-temanku dan guru-guruku, aku pun memutuskan untuk
pulang. Saat aku melangkahkan kaki keluar dari gerbang, aku berbalik arah dan
berhenti sejenak.
“Aku pergi, aku akan pergi. Maaf, dan terimakasih.” Aku beucap lirih. Air
mataku meluncur jatuh. Segera ku seka dan aku berlari.
###
Tak terasa tiga tahun telah berlalu. Kini aku sedang memasuki semester enam
dikuliahku. Ku jalani hidupku yang baru ini. Semuanya berbeda, semuanya
berubah. Tapi, aku tetap seperti dulu tak berubah. Setidaknya itulah yang aku
rasa.
“Zahra, besok ikut seminar yuk” ajak Firdah, sahabatku.
“Mmmm, kayaknya nggak bisa fi, lagi banyak tugas.”
“Ayo lah Ra, aku nggak ada temennya nih. Sebentar doang ko, pliiiiis...”
ucapnya dengan tampang memelas, membuatku tak tega menolaknya.
“Ya udah deh, demi fifi apa sih yang nggak...”
“Yeee.... okke!
###
“Ra, cepetan dong.”
“Iya, iya, sebentar.”
Aku bergegas membetulkan jilbabku di depan cermin. Aku mengenakan gamis
hitam dengan motif bunga berwarna krem kecoklatan. Kupadu dengan jilbab lebar
berwarna krem. Entah kenapa aku ingin sekali mengenakan gamis ini, satu-satunya
gamis yang sangat aku sayangi. Setelah rapi, segera kusambar tasku dan bergegas
mengahampiri Firdah yang sedari tadi menungguku.
“Aduh, jamuran nih Ra nungguin kamu.”
“Hehe..., iya maaf deh fifi ku sayang” Ucapku sambil mencubit pipinya yang
gembil.
“ayo jalan.”
Kami berdua pun pergi menuju kampus. Meskipun diadakan di kampus tetapi
seminar ini dibuka untuk umum. Seminar ini akan membahas “peran pemuda dalam
dakwah”. Tak heran firdah sangat ingin menghadiri seminar itu. Ia begitu
antusias dengan hal yang berbau dakwah.
“Zahra”
Ada yang memanggilku. Aku pun menoleh. Dan, yang memanggilku adalah dia,
Ustadz Ikhsan.
“Kuliah di sini? Ngambil jurusan apa?”
“Tafsir Hadits.....” Ucapku ragu sambil menunduk.
“Wah hebat...! Saya kesana dulu ya...”
“Iya Pak” Jawabku masih menunduk. Ku beranikan diri mengangkat wajahku. Ia
berjalan menghampiri seseorang, entah siapa dia, aku tak melihatnya karena
Firdah menarik tanganku menuju tempat duduk.
###
“Mbak, ini buat mbak.” Ucap Fariz, adik kelasku yang juga mengambil jurusan
yang sama denganku.
“Lho, apa ini Fariz?” aku menatap heran pada sebuah kertas yang diberikan
Fariz.
“Baca aja mbak.”
Aku pun membuka lipatan kertas itu.
Assalamu’alaikum...
Uhty, mungkin ini sedikit mengagetkan
Tapi...
Kalau kau besedia,
Bolehkah aku mengkhitbahmu?
Tentu tak harus kau jawab sekarang
Akan lebih baik jika kau melakukan istikharoh dulu.
Ku tunggu jawabanmu...
Ikhsan
“Kata bang Ikhsan, mba bisa menjawabnya melalui saya mba.”
Aku terdiam
“Saya permisi dulu mbak.”
Ku biarkan ia berlalu meninggalkan diriku terpaku. Ikhsan? Apakah maksudnya
Ustadz Ikhsaan? Tulisan khas itu memang milik Ustadz Ikhsan. Lengkungan huruf
itu, aku masih sangat mengingatnya. Yah itu memang tulisannya.
Keesokan harinya aku baru tahu kalau Fariz adalah keponakan Pak Ikhsan. Ah,
kenapa dunia ini begitu sempit? Seusai ku melaksanakan sholat istikharah dan
mengutarakan hal ini ke orang tuaku , aku pun mengirim sms ke Fariz.
Assalamu’alaikum
Fariz, sampaikan ke abangmu,
Jika ingin mengkhitbahku, datanglah kerumahku.
Lama tak ada balasan. Aku mulai gelisah. Hp ku berdering. Bukan dari Fariz,
tapi nomor baru.
“Halo, assalamu’alaikum”
“wa’alaikumussalam, ini aku, Ikhsan. Terima kasih atas jawabannya. Besok
aku dan keluarga akan datang untuk melamarmu.”
Aku terdiam. Sungguh, jantungku berdebar sangat kencang. Aku tak mampu
bekata-kata.
“Zahra....”
“I... iya, aku tunggu.”
“Tunggu apa?” Ku dengar ia seperti tersenyum.
“...” Aku diam. Tak tahu harus kujawab apa. Kurasa ia sedang menggodaku.
“assalamu’alaikum” Akhirnya kata itulah yang terucap. Ku tutup telephone
setelah ku mendengar balasan salam darinya. Ah, padahal aku masih ingin
mendengarkan suaranya. Astaghfirullah, diakan belum halal bagiku.
Keesokan harinya ia memang benar-benar datang ke rumahku bersama
keluarganya.
###
“sah?”
“sah.”
Sungguh terasa seperti mimpi. Tak kuasa ku menahan air mataku. Ia pun ku
lihat begitu. Ku melihat matanya yang berkaca-kaca. Benarkah ini nyata?
Benarkah ia telah menjadi suamiku?
“Mi...” ucapkan saat duduk di atas ranjang menghadapku.
“Maaf sudah membuat umi menunggu lama dan terima kasih sudah mau
menungguku.” Ucapnya setelah meraih tanganku.
Dia memanggilku umi? Bolehkah aku memanggilnya Abi? .Ah, tentu saja. Dia
kan sekarang telah menjadi suamiku, imamku.
“Maksud Abi?” tanyaku lembut.
“Abi tahu bagaimana perasaan Umi kepada Abi sejak dulu, sejak Abi masih
mengajar Umi, dan Abi pun merasakan hal yang sama.”
Jadi selama ini dia tahu perasaanku dan membiarkan ku menyimpannya dalam
diam?. Ku lihat ia tersenyum dan mendaratkan kecupan di keningku.
Ya Rabb, terima kasih telah memjadikan cinta dalam diamku menjadi nyata.
Ucapku membatin.