“Aku,
Kau, dan Al-Qur’an”
Isma Az-Zaiinh
10-06-16
... وَلَآ تَسْأَلُوْنَ
عَمَّا كَانُواْ يَعْمَلُوْنَ
(البقرة: 141)
“Shodaqallāhul ‘adzīm"
Baru satu
juz. Aku menghentikan muraja’ahku. Jarum jam menunjukkan angka dua.
Masih ada waktu panjang untuk menantikan adzan subuh. Aku masih duduk di atas
sajadah berbalut mukenah berwarna hijau dengan Al-Qur’an yang setia menemani. Al-Qur’an
bersampul emas yang menjadi saksi bisu kisah perjuanganku yang kumulai enam
tahun silam.
Kuusap
pelan halaman Al-Qur’an yang baru selesai kubaca. Akhir juz satu. Ada bercak
gelap di sana. Bekas tetes air mata yang telah lama mengering. Namun jejak
memori yang tersimpan di dalamnya takkan pernah kering. Sesekali membasuh hati
dan membuat basah oleh tetes air mata yang kembali mengalir. Seperti kali ini.
Setetes bulir bening kembali terjatuh. Menyeret memoriku ke masa enam tahun lalu.
Kala itu, keluargaku sowan ke ndalem Abah Kyai, memasrahkanku untuk
mondok di Ponpes Durrotu Ahlissunnah Waljama’ah.
“Ngapalke
Al-Qur’an yo nduk, ngaji karo kuliahe sing sregep, lanjut S2 yo, ben koyo Mbak
Muz.” Dawuh Abah Kyai. Sekejap tertegun. Seolah beliau tahu kegundahanku selama
ini. Menelisik hingga ke relung hati. Ada keinginan terpendam di sana. Lama tak
mampu kuungkapkan.
“Ng,
Nggih Bah.” Ucapku tergagap dihadapan Abah Kyai dan kedua orang tuaku.
Itulah
awal dari lika-liku perjalanku. Sebuah perjalanan yang tak mudah. Perjalanan
untuk sebuah cita yang kubalut dalam keniatan dan iringan restu kedua orang
tua. Berazam untuk menjaga kalam-kalam suci-Nya. Mematri dalam hati dan
ingatan hingga menjadikannya nafas dalam setiap helaan kehidupan.
###
Kutersenyum
mengingat kejadian itu. Al-Qur’an bersampul emasku masih dalam genggaman. Kubuka
lembar-lembar berikutnya. Juz dua, juz tiga, hingga sampai pada juz enam. Ingatanku
kembali terperosok ke masa silam. Seringkali kutergugu kala itu. Mencipta
bercak yang tak lagi sedikit. Menoreh sejarah dalam tiap genangannya.
“Lho,
niat awalmu opo nduk? Kuliah sambil mondok? Atau mondok sambil kuliah? Wis iku
dipikir sek sing tenanan.” Dawuh beliau kala kusowan untuk meminta saran
dari beliau. Entah, ini kali keberapa kumenangis dan menumpahkan semua keluh
kesahku di hadapan beliau. Duh, Abah, maafkan diri tak tak tahu diri ini, yang
seringkali menyita waktumu hanya untuk membagi air mata.
“Yo prioritaske sing dadi kewajibanmu mbak. Ora
usah melu organisasi nek ngabotke sampean. Madrasah Diniyah kan yo ora wajib
kanggo santri tahfidz tho? Nek kewalahan yo ora usah melu Madin. Sing penting Al-Qur’ane
mbak. Nderes neng ndi wae iso tho? Ora usah isin ngelakoni penggawean apik.
Sing penting Allah ridho, ora usah nggolek ridhone menungso, ora bakal ono
enteke.” Dawuh Ustadzahku.
Benar.
Aku memang harus bisa memilih mana yang diutamakan. Akhirnya aku melepas semua
organisasi kampus yang kuikuti. Seperti dawuh Abah, kita harus bisa mengukur
kadar kemampuan diri. Jika merasa tidak mampu maka jangan mengambil tanggung jawab
yang nantinya tidak bisa kita pertanggungjawabkan.
###
Kini
ujung mataku mulai berembun. Ada tetes yang menggenang di sana. Tak menunggu
hitungan waktu. Bulir bening pun mengalir melewati pipi. Kembali kubuka lembar-lembar
Al-Qur’anku. Perlahan. Hingga pada juz 12 kuterhenti. Membuka kembali memori
yang terselip rapi dalam tiap jengkal kalam indah-Nya. Kala hatiku menuai uji.
‘Assalamu’alaikum. ‘Afwan, apakah benar ini
mbak Husna?’ Ada sebuah sms.
‘Wa’alaikumussalam.
Iya benar. ‘Afwan, ini siapa ya?’ Balasku.
‘Saya
Ashdaq delegasi MTQ dari UIN Sunan Kalijaga Jogja. ‘Afwan mbak, sepertinya
piala kita tertukar. Kok saya menerima piala juara dua cabang lomba Musabaqah
Hifdzil Qur’an atas nama Zakiyatul Husna
ya?’ Balasnya
panjang lebar.
Aku
segera mengecek pialaku. Benar. Piala di hadapanku bukan milikku. Melainkan
atas nama Muhammad Ashdaq Fillah juara dua cabang lomba Musabaqah Tafsiril
Qur’an.
‘Iya
mas. Piala kita tertukar. Terus bagaimana ini? Saya sudah diperjalanan menuju
Semarang.’ Balasku yang kala itu memang sedang di bus perjalanan pulang bersama
rombonganku.
‘Ya
sudah mbak, nggak papa. Semoga saja nanti kita ditakdirkan bertemu, jadi bisa
sekalian nuker piala. He.’ Balasnya yang seketika membuatku tertawa tertahan.
Hari
berganti hari, minggu, hingga sampai pada bilangan bulan. Komunikasi semakin
intensif. Tidak hanya melalui sms. Kami pun sudah bertukar semua sosmed, mulai
dari facebook, twitter, wa, wattpad, tumblr, bbm, instagram, line, hingga blog.
Entah
bagaimana aku membahasakannya. Perbincangan kami mulai merambah pada topik yang
tak lagi ringan. Seringkali ia menanyakan kepadaku hal yang langsung membuat
dahiku berkerut. Sekali itu langsung menjadi diskusi panjang diantara kami. Tak
hanya sekali. Bahkan seolah telah menjadi rutinitas.
Hingga lambat laun hal itu mengganggu aktifitas
hafalanku. Menyadarkanku bahwa langkahku keliru. Apa bedanya aku dengan mereka
yang selama ini aku do’akan agar diberi hidayah oleh Allah. Memperbaiki diri.
Menjaga ikhtilat dengan lawan jenis. Menjaga muru’ah. Aku malu
pada diriku sendiri. Salahkah? Bukan duniaku-kah? Derai air mata ini semakin
menjadi. Deras tak terkendali.
‘PING!!!’
‘Keif?’ Balasnya.
‘Ada yang hilang.’
‘Apanya yang hilang?’
‘Diriku yang dulu, yang tak mengenal ikhwan.’
Lama tak ada balasan. Mungkin ia pun mulai menyadari
kekeliruan kami selama ini.
‘Boleh minta tolong?’ Akhirnya kumembalas.
‘Insya Allah, minta tolong apa?’
‘Unfollow semua sosmedku’
Lama lagi tak ada balasan.
‘Aiwa, bismillah, demi menjaga izzah dan iffahmu, aku
rela.’ Balasnya kemudian.
‘Tapi Anti beneran nggak mau pacaran kan?’ Balasnya lagi.
‘Insya Allah, do’akan ya.’
‘Du’a bidu’a. Jomblo sampai halal. Hamasah.’
‘Aamiin.’ Hanya itu balasku. Semenjak itu tak ada lagi
komunikasi antara kami. Entah di sana, air mataku telah menganak sungai.
Kekuatan apa yang mendorongku untuk mengambil keputusan ini? Hanya azimat dari
Ustadzahku yang membuatku tenang kala kumenceritakan kepada beliau akan ujian
hatiku ini. Ikhlaskanlah untuk mengikhlaskan, karena yang menjaga pasti akan
dijaga. Bismillah, demi Al-Qur’an, aku mengikhlaskanmu.
###
Kumenghela
napas. Sekadar mengurangi derai yang tak mereda. Mukenah hijauku benar-benar
telah basah oleh air mata. Kubuka lembar berikutnya. Sesekali kutercekat kala ingatanku
terseret ke memori silam. Hingga sampai pada juz 18. Kala kuhampir saja melepas
Al-Qur’an dalam genggamanku.
Hampir
sebulan lebih aku terbaring tak berdaya. Entah itu di rumah atau di rumah
sakit. Tak ada diagnosa jelas mengenai sakitku. Bahkan ada yang mengatakan aku
diganggu makhluk halus.
Hampir
saja kumelepas Al-Qur’an dalam genggamanku kala keluargaku merekomendasikan hal
itu kepadaku. Sampai pada suatu hari Ustadzah menjengukku.
“Sing
sabar mbak. Ujian wong ngapalke ncen akeh. Salah sijine sakit. Eling
ngendhikane Abah Kyai tho? Mau, Mampu, Menyempatkan. Wis, iku kuncine mbak. Aku
yo wis pernah ngalami abote proses ngapalke. Sampean istirahat sek. Tenangno
pikiran. Nek wis sehat, ngaji meneh mbak. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا.
Sopo ngerti mbak, sakit iki dadi dalane sukses dunia akhirat. مَنْ
سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى
الْجَنَّةِ” Sambung beliau.
“Aamiin”
Ucapku lirih dengan derai air mata. Meraih tangan beliau dan menciumnya.
Panjang
lebar beliau menasehatiku. Serupa gerimis dalam gurun sahara. Hatiku kembali
teduh. Terkumpul kembali kemantapan hati yang kutekadkan tiga tahun silam.
###
“Alhamdulillah.”
Desahku lirih. Tetap dengan derai yang agak sedikit mereda.
Kembali
kubuka lembar Al-Qur’an yang kugenggam. Satu per satu. Hingga sampai pada juz
22. Kala kuhadapkan pada dua pilihan. Hingga aku pun tak tahu harus menangis
atau bahagia.
Suatu
keajaiban. Aku sembuh total dari semua diagnosa dokter yang berbeda-beda. Entah
ini gangguan jin atau bukan. Allah telah mencabut ujian sakitku. Alhamdulillah.
Segera kukejar ketertinggalanku, baik itu kuliah maupun Al-Qur’anku. Hingga aku
berhasil menyelesaikan S1-ku. Wisuda.
“Nduk.
Kenal Furqon?” Tanya Ayahku dalam perjalanan pulang usai wisuda. Sedikit kaget.
Kumenatap Ayahku yang tetap khusyuk menyetir mobil yang kami kendarai.
Berharap kumenemukan raut yang berbeda dari guratan wajah beliau. Sepertinya
aku tahu akan kemana arah pembicaraan Ayahku.
“Kenal
Bah.” Jawabku singkat.
“Sesuk
meh dolan ning omah nduk.”
“Badhe
nopo nggih Bah?”
“Nglamar
kowe tho nduk.” Deg. Kuarahkan kembali pandanganku pada beliau. Tak ada raut
yang berubah. Sepertinya beliau serius. Benar, dugaanku.
“Al-Qur’ane
kulo dereng khatam Bah.” Sanggahku.
“Kan
yo iso ngenteni tho nduk.” Skakmat. Bagaimana ini? Entah kenapa aku tak begitu
antusias menanggapinya. Seolah hatiku telah tertutup. Namun siapa yang telah
menutupnya? Aku tak tahu.
“Duko
Bah. Kulo khatamke Al-Qur’an kalih S2 riyin. Nembe kulo mikir jodoh nggih Bah.”
“Yo
wes, karepmu nduk.” Jawab Ayahku datar. Sepertinya beliau tahu pilihanku tak
bisa diganggu gugat.
Dua
tahun pun berlalu. Aku wisuda S2 sekaligus wisuda khataman Al-Qur’anku. Tak
kusangka aku bisa melaluinya. Hingga tiba-tiba saja ada seseorang yang datang
kerumahku. Sendiri. Tak ada pemberitahuan sebelumnya. Ia melamarku.
###
Kali
ini aku tersenyum, tidak, lebih tepatnya tertawa yang tertahan.
“Lho,
kenapa dek? Kok berhenti muraja’ahnya?” Sahut sosok yang duduk di
depanku. Sama sepertiku, di atas sajadah dengan Al-Qur’an digenggaman. Ia baru
tersadar kalau sedari tadi aku menghentikan muraja’ahku. Mungkin karena
ia terlalu khusyuk menikmati muraja’ahnya.
“Nggak
papa mas.” Sahutku sambil mengusap air mataku dengan mukenah hijau yang
kukenakan.
“Lho,
kok malah nangis? Kenapa dek?” Ucapnya dengan nada sedikit khawatir.
“Nggak
papa mas. Hanya terharu dengan skenario Allah. Alhamdulillah, Husna bisa
bertemu lagi dengan piala Husna yang tertukar” Ucapku yang membuat kami tertawa
bersama.
“Ya Habībatiy hayya muroja’ah mā’an.
Tadi sudah dapat berapa juz? Sini mas semakkan.”
“Baru
satu juz. Aiwa, Abiy.” Jawabku dan aku memulai muraja’ahku.
Benar.
Ia adalah Muhammad Ashdaq Fillah. Seseorang yang diam-diam telah menutup
hatiku. Seseorang yang seringkali terlintas dalam ujung tengadah dan sujudku. Seseorang
yang diam-diam menyelipkan namaku dalam do’anya hingga menguntai anak tangga.
Belum ada perjumpaan kami sebelumnya. Hanya saja, mungkin do’a kami yang
seingkali bertemu di Arys. Hingga Allah menyatukan kami di dalam mihrab
cinta-Nya.