BIOGRAFI SINGKAT HABIB AHMAD BIN NOVEL BIN SALIM BIN JINDAN...
Alhamdulillah Beliaulah guru yg kita cintai beliau lah khalifah majelis rasulullah...
Habib Ahmad bin Novel, putra kedua Habib
Novel bin Salim Jindan,adik kandung dari Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan
Beliau lahir di Jakarta 12
Januari 1982. Sejak kecil ia dididik ketat di
lingkungan agama oleh keluarganya.
Pertama dididik oleh sang ayah, yakni Habib
Novel bin Salim Jindan yang saat itu tinggal
di Bungur, Senen Jakarta Pusat. Ia
mengawali pendidikan dasar di SD Islam
Meranti, Kalibaru Timur, Bungur, Jakarta
Pusat. Ia juga belajar diniyah pada sebuah
madrasah yang diasuh oleh Ustadzah Nur
Baiti di Bungur.
Saat kelas enam SD atau tepatnya tahun
1992, Habib Novel pindah ke Larangan,
Ciledug Tangerang dan mulai mendirikan
Ponpes Al-Facriyyah, Ciledug. Habib Ahmad
saat itu masih tinggal beberapa bulan
bersama keluarganya di Bungur, Jakarta
Pusat, karena ujian akhir nasional tinggal
sebulan lagi. Lepas lulus sekolah dasar pada
tahun 1992, ia melanjutkan ke tingkat
Tsanawiyah di Madrasah Tsanawiyah
Darunnajah, Petukangan, Jakarta Selatan,
tapi hanya menginjak kelas dua.
Sebagaimana kakak atau adik-adiknya ia
juga sering diajak abahnya yakni Habib
Novel dalam berdakwah. Sang ayah saat itu
dikenal sebagai "Singa Podium", yang gaya
pidatonya sangat memikat. Suaranya saat
itu masih lantang, menggema dan membuat
betah jamaah untuk mendengar orasi-
orasinya."Abah saya, kalau berangkat
berdakwah, sering mengajak anak-
anaknya…," ujarnya mengenang.
Saat menginjak kelas dua, saat itu umurnya
baru 13 tahun, ia melanjutkan belajar ke
Hadramaut. Ketika itu Ustadz Abdullah
Abdun, Malang mendapat jatah untuk
mengirim santri-santri belajar ke Darul
Musthofa, Hadramaut Yaman. Kebetulan,
Ustadz Abdullah Abdun mempunyai kedekatan
khusus dengan Habib Novel bin Salim bin
Jindan, sehingga diikutsertakanlah Habib
Ahmad belajar ke Hadramaut. Ia berangkat
bersama Ustadz Haikal Al-Amiri (Palu),
Ustadz Saleh Abdun (Malang), Ustadz Salim
Nur (Malang) dan lain-lain.
Beruntung, ia bisa berangkat ke Hadramaut
dan berguru dengan seorang pendidik dan
orator ulung seperti Habib Umar bin
Muhammad Al-Hafidz. Habib Umar adalah
sosok pendakwah yang tak kenal lelah dan
juga pengasuh Pondok Pesantren Darul
Musthafa yang amat terkenal melahirkan
dai-dai tangguh hingga saat ini.
Tahun 1990-an Republik Yaman baru
merdeka dari penjajahan komunis dan
oerang saudara. Saat komunis masih
berkuasa, lembaga-lembaga pendidikan
agama Islam di tutup. Mulai dari pesantren,
ribath hingga majelis taklim. Termasuk
ribath Tarim, yang saat itu diasuh oleh Habib
Hasan bin Abdullah Asy-Syatiri. Bahkan,
banyak ulama yang dibunuh.
Baru tahun 1990-1n Habib Umar mulai
mendidik santri-santri yang berdatangan ke
ribath yang beliau asuh. Beliau juga gigih
berdakwah ke luar pesantren. Habib Umar
mempunyai program khusus untuk
menghidupkan lagi pesantren-pesantren
yang ditutup saat komunis menguasai negeri
itu.
Sesampainya Habib Ahmad di TArim sekitar
tahun 1994, saat itu Habib Umar bin Hafidz
sudah menggunakan masjid Maula Aidid
sebagai tempat belajar santri-santri.
Sedangkan para santri tinggal di samping
bangunan masjid. Pesantren Darul Musthafa
pada waktu belum dibangun. Di Tarim,
majelis-majelis ta’lim memang ada dan
santri-santri juga menghadirinya. "Kami
hadir dalam pengajian-pengajian umum dan
belajar di majelis-majelis yang ada di
Tarim," ujarnya.
Menurutnya, Habib Umar adalah guru yang
istimewa. "Kami semua berhubungan bukan
seperti murid dengan guru, tapi seperti bapak
dengan anak. Beliau tidak pernah marah
secara pribadi," katanya. Sekalipun santri-
santri ada yang nakal, karena masih anak-
anak.
Ketika mulai berdatangan ke Hadramaut,
oleh Habib Umar santri-santri dari Indonesia
sering diajak untuk berdakwah."Kami tidak
duduk di Tarim saja. Ada suatu Rubath di
kota Syihr yang menjadi perhatian Habib
Umar berdakwah….Tujuannya supaya hidup
lagi kegiatan keagamaan di daerah
tersebut."
Habib Umar juga membangun rubath di kota
Hami’. Dengan langkah seperti itu, Habib
Umar memancing santri-santri local untuk
berpartisipasi, lalu mendidik mereka agar
mampu mengelola dakwah secara mandiri di
tengah masyarakat. Sekarang di Yaman
bermunculan pesantren-pesantren baru.
Lemah lembut
Komunis hengkang dari Yaman dengan
meninggalkan banyak luka. Dan mereka
masih meningalkan permasalahan lain,
misalnya paham Wahabi dan aliran-aliran lain
yang masih marak saat itu. "Saat itu Habib
Umar tidak gampang dalam berdakwah.
Orang-orang Wahabi banyak memegang
senjata api."
Pernah suatu ketika Habib Umar berdakwah
dalam suatu acara Maulid di sebuah masjid
yang dijaga ketat dengan senjata api oleh
orang-orang Wahabi. Akhirnya beliau memilih
masjid untuk berdakwah.
Setelah Habib Ahmad belajar kurang lebih
empat tahun, Habib Umar mengirimnya ke
sebuah tempat untuk berdakwah. Program
dakwah itu memang lumayan lama sekitar
dua bulan. Setiap kelompk terdiri dari
delapan orang. "Semua berkesan. Karena
selama empat tahun di peantren kesannya
tertutup dari dunia luar. Saat itu saya di
kirim ke daerah Dauan, sebuah tempat
bersejarah. Di tempat itu terlahir banyak
‘auliya Allah, seperti Habib Muhammad Al-
Muhdor, Syaikh Ali Baros, Habib Muhammad
bin Thohir Al-Hadad dan lain-lain.
Habib Umar mengirimnya untuk berdakwah ke
tempat itu selama dua bulan. Itu salah satu
pengalaman yang sangat berkesan. Di Dau’an
ia belajar mandiri. "Keadaan sangat susah.
Di tempat itu, rombongan saya berhadapan
dengan orang-orang Wahabi. Yang jelas,
caranya tidak main keras. Kami sampaikan
kepada masyarakat. Kalau mau ikut
silahkan. Kalau tidak, terserah mereka."
Orang-orang Wahabi dan orang-orang yang
mempunyai pemahaman lain dari Ahlussunah
wal-Jama’ah lainnya, menurutnya terbagi
menjadi dua kelompk."Ada kelompok yang
mengikuti paham tersebut karena tidak
mengerti, dan itu mereka mayoritas," kata
Habib Ahmad.
Solusi yang ditawarkan untuk menghadapi
mereka adalah dengan pendekatan yang
lemah lembut."Sampaikan kepada mereka
nasehat dengan lemah lembut dan dalil yang
bisa diterima dengan akal mereka. Mereka
kebanyakan tidak tahu dalilnya, karena
mereka hanya mengikuti pendapat orang
lain, dan itu mayoritas. Jadi, berikan
dalilnya, insya Allah mereka terima pendapat
kita," katanya.
Sedangkan kelompok kedua adalah yang lebih
sulit. " Sebagian di antara mereka adalah
gembong dari paham ini. Mereka sebenarnya
tahu benar dan salah. Tapi permasalahannya,
mereka seperti itu didasari bukan karena
kebodohan, karena benci dan dengki,"
ujarnya.
Stelah belajar sekitar 6 tahun, pada tahun
2000 ia pulang ke Jakarta, kemudian
menikah. Begitu pulang, ia langsung
mengajar di Ponpes Al-Facriyyah,
Tangerang, apalagi saat itu Habib Novel
sedang sakit-sakitan. Namun, walau kondisi
sang ayah dalam keadaan sakit, Habib Novel
tetap mengajak putra-putranya untuk
berdakwah ke tempat-tempat yang ada di
Jakarta." Seakan-akan beliau mengatakan
pada jama’ah, ‘Inilah penerus dakwah
saya’."
Sang ayahanda, Habib Novel bin Salim bin
Jindan wafat pada hari Jum’at (3 Juni 2005/
24 Rabiul Akhir 1926 H, pukul 17.00 WIB dan
dimakamkan keesokan harinya di kompleks
Ponpes Al-Fachriyyah, Ciledug-Tangerang.
Setelah wafatnya sang Ayah, ia banyak
mendampingi sang kakak yakni Habib Jindan
mengasuh pondok pensantren Al-Fachriyyah
Ciledug. Selain mengajar dan berdakwah, ia
juga rajin menulis dan karyanya banyak
disebarkan ke umat. Beberapa tulisan yang
beredar diantaranya adalah Mutiara yang
Indah tentang Zakat Fitrah, Amalan bulan
Rajab,. Namun juga ada beberapa kita yang
tidak beredar dengan luas (terbatas) masih
dalam bahasa Arab, seperti Manakin Habib
Salim bin Ahmad bin Jindan, Sifatul ‘Ulama
Akhirah dan lain-lain.
dan mulai hari ini beliau resmi di pilih oleh Habib Umar Alhafidz,sebagai penerus da'wahnya Habibana Munzir di Majelis yg kita cintai ini
اَللَّهُمَّ صَلِِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَىآلِ. سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ