Perjumpaan dengan Guru Mulia
Sabtu sore, 23 November 2013 adalah detik-detik penantian perjalanan menuju
Jakarta untuk bertemu guru mulia Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz
pimpinan Ma’had Darul Musthafa dan Daru Zahro Tarim, Hadramaut, Yaman.
Sungguh saat-saat yang mendebarkan. Mungkin seperti itulah rasanya menanti
perjumpaan dengan seorang kekasih. Bergemuruh rasanya hati ini. Lantunan
sholawat tak henti berkejaran dengan nafas yang kian memburu. Sholallah ‘ala
Muhammad... Sholallah ‘ala Muhammad...
Semilir angin malam mengantarkan perjalanan kami ke Banyumanik, rumah
Ustadzah Nina, tempat kami berkumpul. Kami menaiki taksi dalam keheningan,
hanya suara hati kami yang berucap, mengungkapkan perasaan masing-masing dan
masih tetap dalam hati yang bergemuruh. Aku, Eva, Mbak Ana, dan Mbak Ratih melayangkan
pikiran masing-masing, entah mungkin angan kami telah sampai di Jakarta sana,
memandang penuh cinta pada guru mulia Al Habib Umar.
Alhamdulillah, sampai di rumah Ustadzah Nina. Ya Rabb, hati ini tetap
bergemuruh, tapi perjalanan belum dimulai. Kami sholat Isya berjama’ah kemudian
berkumpul dengan wajah-wajah perindu Dzurriyat Rasul. Wajah-wajah tanpa
prasangka. Subhanallah, selalu kuperoleh ketenangan yang tak kudapat dalam
majelis lain selain berkumpul dengan mereka. Wajah-wajah yang mengajarkanku untuk
senantiasa husnudzon kepada Allah dan makhluk-makhluk Allah.
‘Ayush’, bidadari kecil yang berbahasa ‘amiyah. Cantik jelita
berceloteh dengan bahasa yang sebagian besar tak mampu kupahami. Kumau
berbetah-betah bercengkrama dengannya. Menyenangkan dan bisa sekalian praktek
berbahasa Arab.
Waktu pun mengingatkan rombongan kami untuk segera bergegas menuju bis dan
mulai meluncur menuju Jakarta, bismillah... Setengah tak percaya kuberkata
dalam hati, ‘aku akan ke Jakarta, bertemu kekasih Allah, kekasih hati’...
Perjalanan kami awali dengan pembacaan Ratibul Haddad bersama. Subhanallah,
syahdunya malam ini, lantunan shalawat Habib Syeh mengiringi perjalanan kami
bersama kerlap-kerlip lampu malam. Gemuruh hati pun tak mau pergi.
Pukul 04:00, Ahad, 24 November 2013, kami transit di sebuah pom bensin.
Subhanallah, sudah sampai Jakarta. Kami pun bergegas untuk sholat subuh
berjama’ah. Pukul 05:00 tepat kami melajutkan perjalanan. Lantunan Wirdul
Lathif menemani perjalanan kami dalam curahan cahaya fajar yang lembut. Damai
sekali rasanya. Usai kami melantunkan Wirdul Lathif, untaian siraman rohani Aa
Gym pun mengiringi perjalanan kami. Menyejukkan.
Alhamdulillah, sampai di penginapan Al Habsyi. Kami disambut hangat oleh
tuan rumah. Segera kami menuju kamar dan bersih-bersih diri. Aku dan
teman-teman dapat kamar di lantai dua, alhamdulillah, kusempatkan tuk menikmati
suasana pagi. Menghirup sejuk udara pagi dan sedikit mendung. Bertafakur,
subhanallah wal hamdulillah telah sampai di Jakarta, semakin dekat dengan
Habibana... sekali lagi kuberucap dalam hati tak percaya. Alhamdulillah.
Pukul 08:30 kami menuju Cidodol untuk menghadiri Haul Fakhrul Wujud Syaikh
Abu Bakar bin Salim yang dihadiri oleh Habibana Al Habib Umar bin Muhammad bin
Salim bin Hafidz. Panasnya mentari ibu kota tak menyurutkan kami untuk
melangkahkan kaki bergabung dengan jama’ah lain yang telah lebih dulu sampai.
Dan subhanallah, ketika Habibana Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin
Hafidz melantunkan kalam-kalam penuh hikmah seketika itu angin berhembus
menghalau panas yang sedari tadi cukup menggelisahkan. Bahkan bukan hanya itu,
rintik-rintik gerimis kecil pun mulai turun seolah bertasbih menyambut kalam
lembut dari beliau. Ya Rabb, cucuran air mata tak henti mengalirkan derai-derai
penuh mahabbah kepada Habibana. Sejuknya hati ini, terucap dalam hati bersama
luruhnya air mata yang seakan tak ingin terhenti ‘uhibbu ilaik....uhibbu
ilaik... ya Habibana...’ T.T
Masih dalam selimut mendung dan rintik yang mulai tak kentara, kami
beranjak menuju ke penginapan sholat dhuhur dan asar yang dijamak taksir karena
sekitar jam dua nanti kami akan menuju Ma’had Al Fachriyah Guru Mulia Al Habib Jindan bin Novel bin Salim bin
Ahmad bin Jindan bin Syech Abi Bakar di Ciledug,
Tangerang Selatan. Serombongan abaya hitam berpadu jilbab hitam dan
sebagian ada yang bercadar melangkah gesit seusai turun dari bus, melalui perumahan
yang cukup ramai dan sampailah kami di Ma’had Al Fachriyah. Setengah tak
percaya kubisa berada di sini. Ya Rabb, penghuni-penghuni yang kucintai,
kumencintai mereka keluarga Rasulullah SAW, kumencintai mereka yang mencintai
Rasulullah SAW. Subhanallah, semua kulihat wajah-wajah teduh itu dibalut dengan
jilbab dan cadar hitam. Ya Rabb, aku tak ingin pulang.
Kami masuk duduk bersama jama’ah lain, alhamdulillah rombongan kami
mendapat tempat di dalam ruangan berkumpul bersama syarifah-syarifah, bersama ustadzah-ustadzah.
Subhanallah, di sana pun aku bertemu ustadzah-ustazadhku yang dari Tegal,
ustadzah Fathimah bin Jindan, ustadzah Karimah istri Habib Mahdi, ustadzah
Zakiyah istri Habib Thoha, ustadzah Sakinah, dan ustadzah Khodijah, adik dari
ustadzah Karimah yang akan melangsungkan akad nikah disaksikan oleh Guru Mulia
Habibana Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz . Ya Rabb, kebahagiaan
yang berlipat-lipat, mengobati rindu yang menyesakkan hati kepada beliau-beliau
bidadari-bidadari bumi yang berwajah teduh. ‘uhibbu ilaik..., uhibbu ilaik,,,’
rintih hatiku dan masih dalam cucuran air mata yang tak terbendung. Ya Rabb,
memandangnya saja mampu menyejukkan hati ini, bagaimana tidak, jiwa dan hati ini senantiasa merindukan
perjumpaan dengan beliau-beliau, hati-hati yang lembut, hati-hati yang
bersinar. Tausiyah dari beliau para habaib bagai percikan air di tengah sahara,
menyejukkan, terlebih kalam beliau Habibana Al Habib Umar bin Muhammad bin
Salim bin Hafidz, tak kuasa air mata ini tak mengalir, memandang penuh cinta
pada beliau, qith’ah (potongan) dari wajah Nabi Muhammad SAW. Subahanallah,
jiwa dan hati kami sungguh diliputi cinta, mahabbah, kepada beliau-beliau
kekasih Allah, kepada beliau yang memancarkan cahaya-cahaya Allah dan
Rasulullah. Ya Rabb, kurasakan kenikmatan yang sangat berada dalam tempat ini,
berkumpul, duduk bersama, memandang wajah-wajah teduh itu, wajah yang
mengingatkanku kepada kekasih hati, Habinana Nabi Muhammad SAW.
Ceramah beliau diakhiri kemudian dilanjut shalat maghrib yang dijamak
dengan sholat isya. Khusus bagi akhwat tak langsung bubar melainkan duduk
bersimpuh melingkari menghadap wajah teduh, wajah mulia Hababah Nur istri Al
Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz. Merugi sekali mereka yang pulang
terlebih dahulu, bersyukur kami yang mengikuti rombongan ustadzah Alina Al
Munawwar, selain kami mendapat tempat di ruangan bersama para syarifah, kami
pun dapat duduk bersimpuh begitu dekatnya dengan beliau Guru Mulia Hababah Nur,
bahkan kami pun bisa mencium ta’dzim tangan mulia beliau dan tentunya dengan
linangan air mata cinta yang tak terbendung. Bukan hanya itu, kami pun mendapat
air do’a dari beliau yang kami bawa pulang dengan begitu hati-hatinya seolah
harta berharga yang tak ingin kami kehilangannya. Lantunan-lantunan kalam
lembut beliau limpahkan kepada kami, deret demi deret kami tulis amalan-amalan
yang beliau berikan kepada kami, diantaranya adalah cara memperkuat iman, yaitu
dengan menjaga wudhu, sholat jama’ah, sholat dhuha, sholat taqwiyatul iman, meninggalkan
hawa nafsu, dan tafakur. Selain itu beliau Guru Mulia juga mengamanatkan kami
untuk menjaga empat waktu yang penuh barokah, yaitu sebelum maghrib, setelah
maghrib, sebelum subuh, dan sesudah subuh. Akhirnya ceramah beliau pun diakhiri
dengan pemberian ijazah kepada kami untuk meneruskan dakwah. Ya Rabb,
bergemuruh rasanya hati ini kala kami bersama-sama mengucap ‘qobilna ijazah...’
Kami pun bertolak menuju penginapan Al-Habsyi dengan perasaan campur aduk,
senang karena bisa berjumpa dengan beliau Guru Mulia, sedih karena harus
berpisah dan melepas wajah teduh itu dari pandangan. Ya Rabb, aku tak ingin
pulang...
Sesampainya di penginapan kami langsung rebah, melepas lelah karena hampir
tak ada waktu untuk kami bersantai-santai, namun lelah ini adalah lelah yang
menyenangkan. Sangat menyenangkan. Bismillah, kuatkanlah hamba yang lemah ini
ya Rabb...
Esok hari, Senin, 25 November 2013, bersama terbitnya mentari yang bergegas
kami pun tak kalah bersemangat, seolah berkejaran dengan detik jarum jam yang
bergulir. Sungguh, gemuruh hati pun semakin dahsyat. Sebentar lagi kami akan
berziarah ke maqbarah Guru Mulia Al Habib Munzir bin Fu’ad Al Musawa. Ya Rabb,
tak percaya kubisa berada di sini, benar-benar berkah sebuah wasilah, kuberada
dalam rombongan orang-orang mulia, beliau Ustadzah Alina Al Munawwar dan
Ustadzah Muna Al Munawwar. Ziarah ini diakhiri dengan nasihat-nasihat dari
Ustadzah Alina Al Munawwar ang membuat air mata ini enggan untuk kami bendung.
Sebelum kami meninggalkan maqbarah beliau kami sempatkan satu per satu dari
kami mencium ta’dzim kubah beliau yang diawali oleh ustadzah Alina Al Munawwar.
Subhanallah, suasana haru menyelimuti hati-hati yang merindukan beliau, kekasih
Allah, Al Habib Munzir bin Fu’ad Al Musawa.
Perjalanan kami lanjutkan menuju kediaman beliau Al Habib Munzir bin Fu’ad
Al Musawa. Setengah tak percaya kumelangkahkan kaki masuk menuju rumah beliau,
penuh keteduhan. Di tempat ini Allah pun mempertemukan kami kembali dengan guru
kami, ustadzah Fatimah bin Jindan. Ya Rabb, kembali kuberucap tak percaya bisa
berada di sini, dikediaman orang mulia, dikediaman orang yang kucinta,
dikediaman kekasih Allah, sekali lagi, tak mungkin kubisa berada di sini jika
bukan karena wasilah. Ya Rabb, dekatkanlah hamba dengan orang-orang yang engkau
cintai. Amiiiin....
Kami mengikuti majelis dzikir beliau Hababah
Khodijah, sitri Al Habib Munzir bin Fu’ad Al Musawa yang dilanjut dengan
nasehat-nasehat dan cerita mengenai Al Habib Munzir bin Fu’ad Al Musawa dari
beliau Hababah Khodijah. Sungguh, air mata mengalir mengiringi kisah-kisah
beliau, mewakili bulir-bulir kerinduan yang kian deras kepada beliau kekasih
hati, Al Habib Munzir bin Fu’ad Al Musawa. Diantara kalam-kalam mulia beliau,
beliau mengatakan bahwa menzirahi rumah auliya lebih afdhol daripada menziarahi
maqbarohnya karena rumah auliya adalah tempat naiknya amal ibadah.
Alhamdulillah, Allah memberi kesempatan kepada kami untuk menziarahi maqbaroh
beliau dan kediaman beliau Al Habib Munzir bin Fu’ad Al Musawa. Sungguh,
kebahagiaan yang tak mampu kami ungkapkan dengan kata-kata, hanya air mata
cinta yang mampu menggambarkan betapa hati kami memendam buncah rindu yang
teramat sangat kepada beliau, kekasih Allah. Al Habib Munzir bin Fu’ad Al
Musawa. Lagi-lagi, perjumpaan kami dengan beliau Hababah Khodijah diakhiri
dengan ijazah sholawat yang paling sering Al Habib Munzir bin Fu’ad Al Musawa
lantunkan, yakni shalawat yang diajarkan Rasul saw kepada beliau lewat mimpi, yaitu:
"ALLAHUMMA SHALLI ALA SAYYIDINA MUHAMMAD WA ALIHI WA SHAHBIHI WASALLIM ".
Shalawat ini beliau baca 5.000x setiap harinya. Dengan gemuruh hati yang tak
mau lepas dan cucuran air mata yang tak mau berhenti, kami serempak mengucapkan
‘qobilna ijazah...’
Dalam
lalu lintas yang padat bus yang membawa kami pun terus merangkak berkejaran
dengan waktu yang mulai mengisyaratkan mentari akan segera lingsir. Kami
berniat untuk menjamak ta’khir sholat dhuhur. Perjalanan kami lanjutkan menuju
majelis yang akan dihadiri oleh Guru Mulia Hababah Nur. Alhamdulillah, sampai.
Kami disambut dengan ramahnya oleh wajah-wajah teduh berbalut abaya dan cadar
hitam. Kami duduk, mendengarkan kalam demi kalam penuh nasihat dan sarat ilmu,
meski sebentar, namun menyejukkan dan berbekas di hati, ‘Jika kau tak mampu
mencium tangan para auliya, cukuplah kau pandangi dengan pandangan cinta, bi
nadzor, dan jika kau tak mampu memandang para auliya padanglah wajah orang
yang memandang para auliya’.
Kami
kembali bertolak menuju penginapan Al Habsyi, persiapan untuk ke Monas, Majelis
Rasulullah SAW. Ya Rabb, detik-detik inilah yang paling mendebarkan, sungguh,
tubuh ini bergetar menanti detik-detik berkumpul bersama para hati-hati perindu
Rasulullah SAW, menghadiri pembacaan maulid terbesar di dunia. Segalanya kami
persiapan untuk acara puncak ini, ingin bertemu dengan kekasih hati, ingin
datang dengan keadaan yang sebaik-baiknya, sesempurna-sempurnanya, tak ingin
segala sesuatunya terlewatkan. Semuanya dari kami mengenakan abaya hitam dan cadar
hitam, sebagian besar bercadar sebelum berangkat, tak terkecuali aku. Ya Rabb,
syukur wal hamdulillah Engkau memperkenankan kami untuk hadir dalam majelis
mulia ini, Majelis Rasulullah SAW. Lagi-lagi kubersyukur dengan barokah
wasilah, rombongan kami datang terlambat, sekitar pukul 20.00 kami baru
berangkat dari penginapan menuju Monas, namun setiba di sana rombongan kami
dipersilahkan duduk di depan. Ya Rabb, barokah wasilah, beliau guruku,
kekasihku, Ustadzah Alina Al Munawwar dan Ustadzah Muna Al Munawwar. Jika tanpa
wasilah hamba tak ada apa-apanya, meski berangkat dari pagi hamba tetap akan
berada di kerumunan belakang, tak dapat memandang wajah Guru Mulia. Mungkin
kiranya inilah gambaran padang mahsyar, kata guruku, Ustadzah Muna Al Munawwar
suatu kala di majelis Al Batul yang aku dan teman-teman hadiri setiap hari ahad
kedua dan ahad keempat di Madrasah Al Munawwar Kauman, Johar, Semarang. Jika
tanpa wasilah, kita tak ada apa-apanya diantara seluruh umat manusia. Namun
dengan wasilah kita akan mudah mencari beliau Rasulullah SAW untuk memohon
syafa’at, meski kita dibangkitkan dari kubur paling akhir. Ya Rabb, jadikanlah
hamba insan yang mencintai keluarga Rasulullah SAW, sehingga dengan cintanya
akan membawa kami kepada cintaMu Ya Rabb......
Subhanallah,
sungguh skenario Allah begitu indah, di tengah-tengah lautan manusia itu Allah
mempertemukan kami kembali dengan guru kami, Ustadzah Fatimah bin Jindan dan
Ustadzah Karimah. Ya Rabb, kucium ta’dzim tangan mulia guru yang amat kucintai
itu. Sungguh, air mata ini tak mau berhenti sejak pertama kami duduk bersimpuh
menikmati alunan sholawat dan maulid. Subhanallah, sungguh terjadi lagi, kala
Guru Mulia Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz memulia kalam mulianya,
angin datang berhembus membawa kesejukan menelisik hingga ke relung hati yang
memendam rindu ini. Langit pun menjadi benderang seolah datang sebuah cahaya
yang turut memuliakan majelis mulia ini, Majelis Rasulullah SAW. Ya Rabb,
sungguh syahdu malam ini, penuh kenikmatan cinta kepada beliau kekasih
Rasulullah, kekasih Allah...
Tak
terasa acara ini berakhir, ‘kenapa begitu cepat? Benarkah telah berakhir?’
ucapku membatin. ‘aku belum ingin pulang, aku tak ingin pulang, masih ingin di
sini, di tempat penuh cinta, masih ingin memandang wajah beliau Guru Mulia...’
Hati ini terasa sakit kala bus itu membawa Guru Mulia menjauh, perih terasa
seiring pandangan yang tak mau aku lepaskan dari memandang wajah teduh itu,
wajah kelembutan itu, wajah penuh cinta itu, wajah qith’ah Rasulullah SAW...
hati ini merintih ‘uhibbu ilaik, uhibbu ilaik, uhibbu ilaik ya Habibana...’ :’(
0 komentar:
Posting Komentar