Al-Qur’an
Bersampul Emas
Isma
Az-Zaiinh
Sore ini tak seperti biasanya. Kurasakan
tempias gerimis itu begitu menyenangkan. Menepuk lembut pada telapakku yang
sengaja kutengadah. Indah. Serupa sakura yang bermekaran di musim semi. Mungkin
seperti itulah suasana hatiku. Berkabut, bukan abu-abu, melainkan jingga
merona.
Kulangkahkan kaki pelan. Tak
ingin kukotori gamisku yang berwarna biru dengan motif bunga-bunga di ujungnya.
Hawa dingin menyeruak menembus jilbab hingga terasa dingin leherku.
“Ayo, ayooo, udah kumpul semua
kan?” ucap Hasan yang biasa kami panggil ustadz.
“nanti tad, nunggu Dita beli
minum.” Jawab Asih, teman serombelku. Sebenarnya kami lebih sering memanggilnya
bunda karena dia mirip sekali dengan dosen kami yang biasa kami panggil bunda,
namanya Siti Salamah.
“aduh, udah laper ni, nanti
keburu imsak, eh, buka puasa maksudnya” celetuk adit.
“Iya, udah sore ni, berangkat
aja yuk, nanti yang lain nyusul.”
Mobil Avanza itu pun membawa
kami menerobos hujan yang mulai menyerbu dataran bumi.
“Alhamdulillah, aku naik
mobil, jadinya nggak kehujanan.” ucap hatiku.
“Astaghfirullah, kasian
temen-temen yang pake motor, pasti pada kedinginan.” Sela suara hatiku yang
lain. Debat antara hatiku pun dimulai. Antara bersyukur tidak kehujanan dan iba
dengan teman-teman lain yang kehujanan. Yah, sudahlah, akhirnya kudo’akan saja
semoga mereka baik-baik saja dan selalu dalam lindungan Allah.
Aku duduk di belakang bersama
kedua temanku, Caca dan Lisa. Sengaja kududuk di samping dekat dengan kaca
mobil. Ku ingin menikmati tarian air hujan. Gemulai, seolah mengajakku turut
bersama merayakan kebahagian yang menyapa. Ah, fatamorgana.
Kulirik Cici yang mengantuk
duduk tepat di depanku, sementara di sampingnya, Anis dan Safa asik dengan
hp-nya masing-masing. Iseng, aku sms Cici.
.kerang tak pernah menyesal jika harus kehilangan
mutiaranya...
.daun tak pernah menyesal jika harus gugur dari
tangkainya...
.begitu juga es yang tak pernah menyesal jika harus mencair...
.tapi aku bukanlah kerang, daun, ataupun es, aku hanya
seorang yang akan menyesal jika harus kehilangkan sahabat secantik dan
sesolekhah anti... ^^
Smsku pun dibalas, bukan
dengan sms, tapi dengan tengokan wajah manyun berbalut jilbab putih. Jilbab
yang paling sering ia kenakan. Aku hanya nyengir kuda.
Iseng, aku sms lagi
deh...
.bales dong
cantik...^^
Tak ada respon. Mungkin
ia sedang tak ingin diajak bercanda. Ya sudahlah, aku pun sudah enggan untuk
lanjut menjailinya. Kembali ku asyik bercengkerama dengan rintik-rintik hujan
yang kini semakin deras. Kulihat lampu kanan kiri jalan mulai menyala. Seolah
menyambut perjalanan kami yang seakan diburu waktu. Ah, sungguh senja yang
indah. Aku suka hujan. Ajaib. Untaian bening yang berjatuhan itu membawa pesan
yang yang mendamaikan. Masuk dan merasuk kedalam jiwa. Sungguh, Maha Besar Kekuasaan
Allah.
“Alhamdulillah, sampai.”
Ucap ustadz.
Kedatangan kami telah
disambut oleh sosok berjilbab hitam dengan seulas senyum yang terlihat samar di
tengah temaram senja menuju pekat. Aku tebak, itu pasti ibunya ustadz. Benar,
setelah kami turun kulihat ustadz menghampiri sosok berpayung biru itu dan
mencium tangannya. Subhanallah, pemandangan yang sangat jarang kulihat. Melihat
fenomena pemuda jaman sekarang, sangat jarang yang masih menghormati sosok
malaikat yang telah melahirkan kita. Sosok yang mempunyai derajat tiga tingkat
dibanding seorang ayah. Sosok yang menjanjikan surga bagi siapa saja yang mau
berbakti kepadanya. Ibu.
Kami pun masuk ke dalam
rumah itu. Berjinjit agar tidak terciprat air hujan dan berjalan pelan. Ah,
ternyata memang sudah dipersiapkan. Terlihat karpet telah tergelar dan kami pun
duduk melingkar. Kumengambil posisi dekat aquarium diapit oleh kedua sahabatku
tercinta, caca dan cici. Si kembar yang menurutku tak kembar.
Baru saja kududuk dan
meletakkan tas di depanku, mataku tertumbuk pada sebuah tulisan yang terpampang
di dinding tepat di depanku.
DENGAR ADZAN LANGSUNG KE
MASJID
Subhanallah, kembali aku
tercengang. Begitu kental terasa keagamaan disini. Kumerasa aura kedisiplinan
dan ketegasan. Bukan, bukan dalam kekerasan, melainkan didikan untuk menuju
satu jalan, jalan Allah. Aku menebak, ibunya Hasan pasti orang yang agamis dan
disiplin. Terlihat sekilas dari penampilan beliau, setidaknya itulah menurut
pandanganku.
“Assalamu’alaikum
warohmatullahi wa barokatuh...” Ucap
ustadz.
“Wa’alaikumussalam
warohmatullahi wa barokatuh...” kompak kami menjawab.
“Ya, alhamdulillah kita
telah berkumpul dalam acara buka puasa bersama kaum dhuafa....”
“ Yaaaa...., Uuuuu.....,
Ustadzzzzzz.... Aaaa....... “ Protes teman-teman karena disebut kaum dhuafa.
Ustadz hanya tersenyum.
Ustadz pun melanjutkan
dengan tausiyah yang kami dengarkan dengan seksama. Hening. Sungguh, biasanya
sulit sekali mendiamkan kami. Tapi kali ini seakan semua kompak mengheningkan
cipta dan hanya mendengarkan satu suara.
“Allahu akbar,,, Allahu
akbar...” Terdengar adzan merdu dari masjid tak jauh dari rumah ustadz.
“Alhamdulillah....”
Seketika kami kompak mengungguli kekompakan paduan suara. Bukan hanya koor kami
yang kompak, namun apa yang terlintas di benak kami pun kompak, buka puasa,
makan.
Sekali lagi sosok
berbalut jilbab hitam panjang itu menghampiri kami, menyuruh kami untuk segera
berbuka puasa. Kami pun mulai asyik berperang dengan dentingan sendok dan
piring. Subhanallah, nikmat sekali. Selama merantau di kota kembang ini jarang
sekali kumenemukan makanan selezat ini, bukan karena tak ada yang menjual, tetapi
tak ada uang untuk membeli.
Setelah menyantap buka
puasa bersama rombongan kami pun berbondong-bondong menuju masjid kecuali aku.
Udzur syar’ilah yang menghalangiku untuk bergabung bersama mereka. Rasanya
tidak enak di sini sendiri. Tapi tak apalah. Akhirnya aku pun berniat untuk
membantu ibunya ustadz untuk mencuci peralatan makan yang kami gunakan tadi.
Belakangan baru kutahu beliau bernama bu Najwa.
“Nggak usah nak, udah
duduk saja di sini.” Ucap ibu najwa dengan lembut sambil merangkul pundakku dan
membimbingku duduk di karpet, lagi.
“Ini, kalo bosen baca ini
saja.” Ucap beliau sambil menyerahkan sebuah majalah islami kepadaku dan
kembali menghilang di balik pintu. Ingin sekali kususul, tak tega kubiarkan
beliau mencuci peralatan makan sebanyak itu, sendirian. Namun kuurung, beliau
sudah melarangku.
Samar-samar kudengar suara
imam dari masjid. Mendayu, meliuk-liuk hingga menusuk sanubari. Damai sekali
rasanya. Ingin rasanya kubergabung bersama mereka, bersua dan bercengkerama
dengan Sang Pencipta. Kuhentikan membaca majalah itu dan memilih khusyu’
menyimak lantunan ayat-ayat dari sang imam. Sungguh, berpuluh raka’at pun aku
mau diimami olehnya. Sepuluh ayat Al-Baqarah yang ia baca setiap rakaatnya
terasa begitu singkat. Hingga tiba-tiba saja kutersadar bu Najwa telah duduk di
depanku.
“Ustadz Salman namanya,
merdukan suaranya?” Ucap Bu Najwa seolah menjawab tanya yang sekilas terbesit
di benaknya.
“Ia baru pulang dari
Tarim, Hadramaut, Yaman. Hafidz lho, belum punya calon” sebelum kumenjawab
beliau telah menambahkan.
Aku bingung mau menjawab
apa. Akhirnya aku pun hanya tersenyum sambil mengangguk pelan. Bingung.
‘Subhanallah, beruntung
sekali siapa yang nantinya akan menjadi istrinya.’ Hatiku berucap.
“ Nanti kalau nyari suami
yang hafidz ya Nak, orang hafidz itu bisa memberi syafa’at kepada tujuh puluh
keluarganya.”
“Mohon do’anya Bu,
mudah-mudahan ada seorang hafidz yang mau menjadi suami saya.” Jawabku
malu-malu.
“Bener Nak, do’a, jangan
pernah kita meninggalkan do’a. Kepada siapa lagi kita meminta kalau tidak
kepada Allah. Terkadang kita itu sering melupakan bahwa Allah itu ada. Selalu
dipusingkan dengan hal-hal sepele. Kita
itu masih punya Allah yang Maha memiliki segalanya. Kenapa susah-susah, tinggal
minta sama Allah.”
Sekali lagi, aku hanya
mengangguk ta’dzim.
‘Alhamdulillah, dapat
ilmu lagi.’ Ucapku membatin.
“Sebentar ya Nak.” Ucap
beliau kemudian bangkit dari dudukya dan berjalan masuk ke sebuah ruang, kukira
itu kamar beliau.
Aku pun kembali asyik
menyimak alunan ayat-ayat dari sang imam itu. Sudah jam delapan, biasanya
setengah jam lagi tarawih di kampungku sudah selesai yang kemudian dilanjut
dengan tadarus sampai sahur menjelang. Aku taksir tarawih di sini akan selesai sekitar
jam sembilan.
“Ini Nak, ambil lah, itu
Al-Qur’an yang selalu menemani saya ketika saya menghafal dulu.”
Sungguh, kaget aku
disuguhkan dengan kitab suci itu. Bagaimana bisa beliau memberikan Al-Qur’an
itu kepadaku? Apa aku pantas? Dan Apa maksud beliau? Berpuluh-puluh pertanyaan
pun datang berkelebat, namun tak ada yang mampu kujawab.
“Ambillah.” Ucapnya
lembut.
Setengah sadar
kumengulurkan tanganku dan aku pun kaget Al-Qur’an itu telah berada di
tanganku.
“Istiqomah ya Nak.”
“Maksudnya Bu?”
Belum sempat kumendapat
jawaban dari beliau tiba-tiba mulai berdatangan satu per satu teman-temanku.
Ternyata sholat tarawih sudah selesai. Dugaanku benar, tepat jam sembilan.
Kembali aku tersadar,
masih tergenggam Al-Qur’an terjemahan bersampul emas itu. Segera kumasukkan ke
dalam tasku, bertumpuk dengan Al-Qur’an terjemahanku yang bersampul pink.
Sementara kusimpan
keherananku akan Al-Qur’an yang kini dalam genggamanku ini. Setelah basa-basi
sedikit kami pun berpamitan pulang. Kalau dipikir lucu juga memang. Kita yang
diudang, kita yang dijemput, dan kita yang diantarkan pulang.
‘Alhamdulillah, semoga
Allah membalas amal baik ahlul bait.’ Ucapku membatin.
Hujan telah mereda. Namun
hawa dingin masih betah menyelimuti daratan bumi semarang. Baru saja kulangkahkan
kaki keluar pintu, langsung saja aku disambut semilir angin malam yang menusuk
hingga membuatku bergidik kedinginan.
“Nak, pakai ini, dingin
lho di luar.” Ucap Bu Najwa menyusulku yang kebetulan aku memang berada di
barisan paling akhir.
“Nggak usah Bu, saya
tidak apa-apa.”
“Udah pakai saja.”
Akhirnya aku pun menerima sweater berbahan lembut itu.
“Terima kasih Bu, nanti saya
kembalikan lewat Hasan.”
“Udah, pakai saja Nak,
tak usah dikembalikan.” Ucap beliau sambil menyuguhkan seulas senyum untukku.
Kumenangkap ketulusan pada senyum beliau. Subhanallah. Aku merindukan senyuman
itu. Senyuman yang tak lagi kutemukan sejak setahun yang lalu. Senyuman terakhir
yang kulihat dari wajah pucat pasi berbalut helai warna melati.
Mobil Avanza berwarna
putih itu kembali membawa kami di tengah malam yang berselimutkan hawa dingin.
Hening. Kami menembus keheningan malam dengan keheningan. Tak ada satu pun yang
bersuara dalam mobil. Semuanya sedang asyik dengan pikirannya masing-masing.
Merangkai-rangkai memori. Tak terkecuali diriku. Kulayangkan pandang pada
keheningan malam. Namun kutahu, sesungguhnya dibalik keheningan itu tersimpan
kisah dan misteri yang tak dapat kulihat. Hanya Allah dan alamlah yang tahu.
Sama sepertiku, dalam keheninganku kumelayang pada kelebat-kelebat memori yang
kian membingungkan. Namun kutahu, pasti ada simpul benangnya, sayang, aku belum
menemukannya.
“Tadi suara imamnya,
Hmmm....., Subhanallah sekali yo tadz.” Ucap huda yang duduk paling depan di
samping ustadz.
“Hafidz lho, baru pulang
dari Tarim.” Ucap ustadz, persis seperti perkataan ibunya.
“Perempuan mana coba yang
mau nolak kalau dilamar sama mas Salman.” Tambahnya.
‘Subhanallah, perempuan
mana yang tidak merasa beruntung bila dikhitbah olehnya.’ Ucapku dalam hati.
Kembali hening. Tak ada
yang berniat melanjutkan pembicaraan ini. Benar saja. Mereka telah terlelap.
Hanya aku, ustadz, dan Huda yang masih terjaga. Dan kulihat Huda pun mulai
menggeser-geser posisi, siap untuk terlelap.
‘Ya Rabb, apakah ini
jawaban dari istikharahku?’ Ucapku membatin. Sebulan ini aku sedang
dibingungkan dengan sebuah pilihan. Aku ingin menghafal, namun aku belum menemukan
ketetapan hati untuk memulainya.
‘Bismillah, aku akan
memulainya besok.’
Semarang, 5 November 2013