Senin, November 11, 2013

Al-Qur'an Bersampul Emas

Al-Qur’an Bersampul Emas
Isma Az-Zaiinh

            Sore ini tak seperti biasanya. Kurasakan tempias gerimis itu begitu menyenangkan. Menepuk lembut pada telapakku yang sengaja kutengadah. Indah. Serupa sakura yang bermekaran di musim semi. Mungkin seperti itulah suasana hatiku. Berkabut, bukan abu-abu, melainkan jingga merona.
Kulangkahkan kaki pelan. Tak ingin kukotori gamisku yang berwarna biru dengan motif bunga-bunga di ujungnya. Hawa dingin menyeruak menembus jilbab hingga terasa dingin leherku.
“Ayo, ayooo, udah kumpul semua kan?” ucap Hasan yang biasa kami panggil ustadz.
“nanti tad, nunggu Dita beli minum.” Jawab Asih, teman serombelku. Sebenarnya kami lebih sering memanggilnya bunda karena dia mirip sekali dengan dosen kami yang biasa kami panggil bunda, namanya Siti Salamah.
“aduh, udah laper ni, nanti keburu imsak, eh, buka puasa maksudnya” celetuk adit.
“Iya, udah sore ni, berangkat aja yuk, nanti yang lain nyusul.”
Mobil Avanza itu pun membawa kami menerobos hujan yang mulai menyerbu dataran bumi.
“Alhamdulillah, aku naik mobil, jadinya nggak kehujanan.” ucap hatiku.
“Astaghfirullah, kasian temen-temen yang pake motor, pasti pada kedinginan.” Sela suara hatiku yang lain. Debat antara hatiku pun dimulai. Antara bersyukur tidak kehujanan dan iba dengan teman-teman lain yang kehujanan. Yah, sudahlah, akhirnya kudo’akan saja semoga mereka baik-baik saja dan selalu dalam lindungan Allah.
Aku duduk di belakang bersama kedua temanku, Caca dan Lisa. Sengaja kududuk di samping dekat dengan kaca mobil. Ku ingin menikmati tarian air hujan. Gemulai, seolah mengajakku turut bersama merayakan kebahagian yang menyapa. Ah, fatamorgana.
Kulirik Cici yang mengantuk duduk tepat di depanku, sementara di sampingnya, Anis dan Safa asik dengan hp-nya masing-masing. Iseng, aku sms Cici.
.kerang tak pernah menyesal jika harus kehilangan mutiaranya...
.daun tak pernah menyesal jika harus gugur dari tangkainya...
.begitu juga es yang tak pernah menyesal jika harus mencair...
.tapi aku bukanlah kerang, daun, ataupun es, aku hanya seorang yang akan menyesal jika harus kehilangkan sahabat secantik dan sesolekhah anti... ^^
Smsku pun dibalas, bukan dengan sms, tapi dengan tengokan wajah manyun berbalut jilbab putih. Jilbab yang paling sering ia kenakan. Aku hanya nyengir kuda.
Iseng, aku sms lagi deh...
.bales dong cantik...^^
Tak ada respon. Mungkin ia sedang tak ingin diajak bercanda. Ya sudahlah, aku pun sudah enggan untuk lanjut menjailinya. Kembali ku asyik bercengkerama dengan rintik-rintik hujan yang kini semakin deras. Kulihat lampu kanan kiri jalan mulai menyala. Seolah menyambut perjalanan kami yang seakan diburu waktu. Ah, sungguh senja yang indah. Aku suka hujan. Ajaib. Untaian bening yang berjatuhan itu membawa pesan yang yang mendamaikan. Masuk dan merasuk kedalam jiwa. Sungguh, Maha Besar Kekuasaan Allah.
“Alhamdulillah, sampai.” Ucap ustadz.
Kedatangan kami telah disambut oleh sosok berjilbab hitam dengan seulas senyum yang terlihat samar di tengah temaram senja menuju pekat. Aku tebak, itu pasti ibunya ustadz. Benar, setelah kami turun kulihat ustadz menghampiri sosok berpayung biru itu dan mencium tangannya. Subhanallah, pemandangan yang sangat jarang kulihat. Melihat fenomena pemuda jaman sekarang, sangat jarang yang masih menghormati sosok malaikat yang telah melahirkan kita. Sosok yang mempunyai derajat tiga tingkat dibanding seorang ayah. Sosok yang menjanjikan surga bagi siapa saja yang mau berbakti kepadanya. Ibu.
Kami pun masuk ke dalam rumah itu. Berjinjit agar tidak terciprat air hujan dan berjalan pelan. Ah, ternyata memang sudah dipersiapkan. Terlihat karpet telah tergelar dan kami pun duduk melingkar. Kumengambil posisi dekat aquarium diapit oleh kedua sahabatku tercinta, caca dan cici. Si kembar yang menurutku tak kembar.
Baru saja kududuk dan meletakkan tas di depanku, mataku tertumbuk pada sebuah tulisan yang terpampang di dinding tepat di depanku.
DENGAR ADZAN LANGSUNG KE MASJID
Subhanallah, kembali aku tercengang. Begitu kental terasa keagamaan disini. Kumerasa aura kedisiplinan dan ketegasan. Bukan, bukan dalam kekerasan, melainkan didikan untuk menuju satu jalan, jalan Allah. Aku menebak, ibunya Hasan pasti orang yang agamis dan disiplin. Terlihat sekilas dari penampilan beliau, setidaknya itulah menurut pandanganku.
“Assalamu’alaikum warohmatullahi wa barokatuh...” Ucap  ustadz.
“Wa’alaikumussalam warohmatullahi wa barokatuh...” kompak kami menjawab.
“Ya, alhamdulillah kita telah berkumpul dalam acara buka puasa bersama kaum dhuafa....”
“ Yaaaa...., Uuuuu....., Ustadzzzzzz.... Aaaa....... “ Protes teman-teman karena disebut kaum dhuafa. Ustadz hanya tersenyum.
Ustadz pun melanjutkan dengan tausiyah yang kami dengarkan dengan seksama. Hening. Sungguh, biasanya sulit sekali mendiamkan kami. Tapi kali ini seakan semua kompak mengheningkan cipta dan hanya mendengarkan satu suara.
“Allahu akbar,,, Allahu akbar...” Terdengar adzan merdu dari masjid tak jauh dari rumah ustadz.
“Alhamdulillah....” Seketika kami kompak mengungguli kekompakan paduan suara. Bukan hanya koor kami yang kompak, namun apa yang terlintas di benak kami pun kompak, buka puasa, makan.
Sekali lagi sosok berbalut jilbab hitam panjang itu menghampiri kami, menyuruh kami untuk segera berbuka puasa. Kami pun mulai asyik berperang dengan dentingan sendok dan piring. Subhanallah, nikmat sekali. Selama merantau di kota kembang ini jarang sekali kumenemukan makanan selezat ini, bukan karena tak ada yang menjual, tetapi tak ada uang untuk membeli.
Setelah menyantap buka puasa bersama rombongan kami pun berbondong-bondong menuju masjid kecuali aku. Udzur syar’ilah yang menghalangiku untuk bergabung bersama mereka. Rasanya tidak enak di sini sendiri. Tapi tak apalah. Akhirnya aku pun berniat untuk membantu ibunya ustadz untuk mencuci peralatan makan yang kami gunakan tadi. Belakangan baru kutahu beliau bernama bu Najwa.
“Nggak usah nak, udah duduk saja di sini.” Ucap ibu najwa dengan lembut sambil merangkul pundakku dan membimbingku duduk di karpet, lagi.
“Ini, kalo bosen baca ini saja.” Ucap beliau sambil menyerahkan sebuah majalah islami kepadaku dan kembali menghilang di balik pintu. Ingin sekali kususul, tak tega kubiarkan beliau mencuci peralatan makan sebanyak itu, sendirian. Namun kuurung, beliau sudah melarangku.
Samar-samar kudengar suara imam dari masjid. Mendayu, meliuk-liuk hingga menusuk sanubari. Damai sekali rasanya. Ingin rasanya kubergabung bersama mereka, bersua dan bercengkerama dengan Sang Pencipta. Kuhentikan membaca majalah itu dan memilih khusyu’ menyimak lantunan ayat-ayat dari sang imam. Sungguh, berpuluh raka’at pun aku mau diimami olehnya. Sepuluh ayat Al-Baqarah yang ia baca setiap rakaatnya terasa begitu singkat. Hingga tiba-tiba saja kutersadar bu Najwa telah duduk di depanku.
“Ustadz Salman namanya, merdukan suaranya?” Ucap Bu Najwa seolah menjawab tanya yang sekilas terbesit di benaknya.
“Ia baru pulang dari Tarim, Hadramaut, Yaman. Hafidz lho, belum punya calon” sebelum kumenjawab beliau telah menambahkan.
Aku bingung mau menjawab apa. Akhirnya aku pun hanya tersenyum sambil mengangguk pelan. Bingung.
‘Subhanallah, beruntung sekali siapa yang nantinya akan menjadi istrinya.’ Hatiku berucap.
“ Nanti kalau nyari suami yang hafidz ya Nak, orang hafidz itu bisa memberi syafa’at kepada tujuh puluh keluarganya.”
“Mohon do’anya Bu, mudah-mudahan ada seorang hafidz yang mau menjadi suami saya.” Jawabku malu-malu.
“Bener Nak, do’a, jangan pernah kita meninggalkan do’a. Kepada siapa lagi kita meminta kalau tidak kepada Allah. Terkadang kita itu sering melupakan bahwa Allah itu ada. Selalu dipusingkan dengan  hal-hal sepele. Kita itu masih punya Allah yang Maha memiliki segalanya. Kenapa susah-susah, tinggal minta sama Allah.”
Sekali lagi, aku hanya mengangguk ta’dzim.
‘Alhamdulillah, dapat ilmu lagi.’ Ucapku membatin.
“Sebentar ya Nak.” Ucap beliau kemudian bangkit dari dudukya dan berjalan masuk ke sebuah ruang, kukira itu kamar beliau.
Aku pun kembali asyik menyimak alunan ayat-ayat dari sang imam itu. Sudah jam delapan, biasanya setengah jam lagi tarawih di kampungku sudah selesai yang kemudian dilanjut dengan tadarus sampai sahur menjelang. Aku taksir tarawih di sini akan selesai sekitar jam sembilan.
“Ini Nak, ambil lah, itu Al-Qur’an yang selalu menemani saya ketika saya menghafal dulu.”
Sungguh, kaget aku disuguhkan dengan kitab suci itu. Bagaimana bisa beliau memberikan Al-Qur’an itu kepadaku? Apa aku pantas? Dan Apa maksud beliau? Berpuluh-puluh pertanyaan pun datang berkelebat, namun tak ada yang mampu kujawab.
“Ambillah.” Ucapnya lembut.
Setengah sadar kumengulurkan tanganku dan aku pun kaget Al-Qur’an itu telah berada di tanganku.
“Istiqomah ya Nak.”
“Maksudnya Bu?”
Belum sempat kumendapat jawaban dari beliau tiba-tiba mulai berdatangan satu per satu teman-temanku. Ternyata sholat tarawih sudah selesai. Dugaanku benar, tepat jam sembilan.
Kembali aku tersadar, masih tergenggam Al-Qur’an terjemahan bersampul emas itu. Segera kumasukkan ke dalam tasku, bertumpuk dengan Al-Qur’an terjemahanku yang bersampul pink.
Sementara kusimpan keherananku akan Al-Qur’an yang kini dalam genggamanku ini. Setelah basa-basi sedikit kami pun berpamitan pulang. Kalau dipikir lucu juga memang. Kita yang diudang, kita yang dijemput, dan kita yang diantarkan pulang.
‘Alhamdulillah, semoga Allah membalas amal baik ahlul bait.’ Ucapku membatin.
Hujan telah mereda. Namun hawa dingin masih betah menyelimuti daratan bumi semarang. Baru saja kulangkahkan kaki keluar pintu, langsung saja aku disambut semilir angin malam yang menusuk hingga membuatku bergidik kedinginan.
“Nak, pakai ini, dingin lho di luar.” Ucap Bu Najwa menyusulku yang kebetulan aku memang berada di barisan paling akhir.
“Nggak usah Bu, saya tidak apa-apa.”
“Udah pakai saja.” Akhirnya aku pun menerima sweater berbahan lembut itu.
“Terima kasih Bu, nanti saya kembalikan lewat Hasan.”
“Udah, pakai saja Nak, tak usah dikembalikan.” Ucap beliau sambil menyuguhkan seulas senyum untukku. Kumenangkap ketulusan pada senyum beliau. Subhanallah. Aku merindukan senyuman itu. Senyuman yang tak lagi kutemukan sejak setahun yang lalu. Senyuman terakhir yang kulihat dari wajah pucat pasi berbalut helai warna melati.
Mobil Avanza berwarna putih itu kembali membawa kami di tengah malam yang berselimutkan hawa dingin. Hening. Kami menembus keheningan malam dengan keheningan. Tak ada satu pun yang bersuara dalam mobil. Semuanya sedang asyik dengan pikirannya masing-masing. Merangkai-rangkai memori. Tak terkecuali diriku. Kulayangkan pandang pada keheningan malam. Namun kutahu, sesungguhnya dibalik keheningan itu tersimpan kisah dan misteri yang tak dapat kulihat. Hanya Allah dan alamlah yang tahu. Sama sepertiku, dalam keheninganku kumelayang pada kelebat-kelebat memori yang kian membingungkan. Namun kutahu, pasti ada simpul benangnya, sayang, aku belum menemukannya.
“Tadi suara imamnya, Hmmm....., Subhanallah sekali yo tadz.” Ucap huda yang duduk paling depan di samping ustadz.
“Hafidz lho, baru pulang dari Tarim.” Ucap ustadz, persis seperti perkataan ibunya.
“Perempuan mana coba yang mau nolak kalau dilamar sama mas Salman.” Tambahnya.
‘Subhanallah, perempuan mana yang tidak merasa beruntung bila dikhitbah olehnya.’ Ucapku dalam hati.
Kembali hening. Tak ada yang berniat melanjutkan pembicaraan ini. Benar saja. Mereka telah terlelap. Hanya aku, ustadz, dan Huda yang masih terjaga. Dan kulihat Huda pun mulai menggeser-geser posisi, siap untuk terlelap.
‘Ya Rabb, apakah ini jawaban dari istikharahku?’ Ucapku membatin. Sebulan ini aku sedang dibingungkan dengan sebuah pilihan. Aku ingin menghafal, namun aku belum menemukan ketetapan hati untuk memulainya.
‘Bismillah, aku akan memulainya besok.’



Semarang, 5 November 2013

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About