Senin, April 18, 2016
Kamis, April 14, 2016
Diri ini, Rindu
13 April 2016
“Diri ini, Rindu”
Isma Az-Zaiinh
Di dalam sulbi-sulbi yang ringkih
Terpancang paku yang kukuh
Menyibak tirai kesunyian
Ku bersimpuh
Meredam rindu,
yang kian menderu
Di dalam sulbi-sulbi yang ringkih
Ku semayamkan cinta,
Memendam rindu untukku
Meski berabad jarak memisahkan kita
Cinta dan rindu ini,
Tak pernah lekang termakan zaman
Dan bilakah engkau mengizinkan,
Pada diri yang papa dan hina ini
Tuk mengecup ta’dzim tangan muliamu
Mengecap secercah nūr sucimu
Wahai engkau yang hidup di hatiku,
Jika hujan tak dapat kuraih
Derai gerimis pun cukup untuk mengobati rinduku
padamu.. .
Ya Rasulallah,
Diri ini, rindu.. .
Mentari di Ufuk Timur
9 Desember 2015
“Mentari di Ufuk Timur”
Isma Az-Zaiinh
Entah,
Ini kali ke berapa kubercengkerama denganmu
Menanti,
Dari pekatnya temaram
Menuju terangnya fajar
Mentari di ufuk timur
Hadirmu menenangkan
Penuh senyum kehangatan
Menawarkan harapan baru
Pada jiwa yang bimbang,
Dengan hati yang lebih tenang
Mengajakku untuk menghapus segala perih masa lalu
Mengajakku untuk menepis luka bayangan semu
Mengajakku untuk mengubur dalam-dalam duka di kalbu
Menjanjikan lembar baru bagiku
Menyadarkanku,
Akan ada banyak ruang untukku menoreh jejak
langkahku
Mengecap manis kalam indah-Mu
Dalam desah dan simpulku
Dengan sepenuh harapan
Menjadi lebih baik,
Lagi,
Dan lebih baik lagi
Hanya karena-Mu,
Oleh-Mu,
Dan untukku-Mu
Allah, Allah, Allah.. .
Ombak dan Karang
28 Desember 2015
“Ombak dan Karang”
Isma Az-Zaiinh
Kuharap aku adalah ombak itu
Begitu ikhlas
Membubung tinggi terbawa angin,
Dan kemudian terhempas
Deburnya tak selalu menjejak luka
Menebar buih-buih tak kentara
Dan kau adalah karang itu
Kalam-kalam suci-Nya
Yang perlahan kukikis
Merapal dalam pejaman
Melebur dalam hati dan ingatan
Mengeja,
Ayat demi ayat indah-Mu
Dalam hening
Dalam himmah yang tak mampu kujelaskan
Kuharap aku adalah ombak itu
Teguh,
Istiqomah,
Menaklukan kokohnya karang
Tunggu aku di batas waktu
Kan kuterus mengejarmu
Dalam perih,
Dalam rintih,
Demi menjaga bait-bait mulia-Mu
Allah.. .
Izinkanlah kumenggenggammu,
Hingga terpatri dalam relung hati
Pikiran,
Dan ingatan,
Izinkanlah kumencintaimu,
Lebih lama,
Dari selama-lamanya.. .
Bayangan
28 Desember 2015
“Bayangan”
Isma Az-Zaiinh
Sadarkan aku,
Bahwa kau hanyalah bayangan
Melukiskan warna yang indah
Memesona,
Birunya langit berpadu dengan
hijaunya bumi,
Sadarkan aku,
Bahwa kau hanyalah bayangan itu
Yang tercipta hanya dalam ketenangan
Keheningan,
Entah apa jadinya jika cermin tu beriak,
Bahkan bergelombang
Sadarkankan aku,
Akan dunia kita yang berbeda
Tak ada pintu untuk kita membuka bersama
Lepaskan aku dari perangkap semu
Jika kita tahu hal itu akan berakhir buruk,
Sanggupkah kita menghentikannya saat masih terasa indah?
Kau,
Bayangan.. .
The Secret Book
“The Secret Book”
Isma Az-Zaiinh
27-02-2016
“Juna bosan Mah. Juna bosan hidup dengan Mamah. Mamah tak pernah
punya waktu untuk Juna. Pantas saja ayah pergi, lari dari kehidupan Mamah yang
gila. Seharusnya Juna ikut bersama Ayah. Juna benci Mamah.” Teriak Juna sambil
berlari menuju kamarnya. Menguncinya dan berlari ke ruang perpustakaan pribadi
di kamarnya. Juna duduk di bawah rak buku memeluk lutut dan menangis.
“Juna. Maafkan Mamah. Semua yang Mamah lakukan juga untuk kamu Juna.”
Tak ada jawaban.
“Juna, buka pintunya Juna.”
Tetap tak ada jawaban.
“Miauww.” Kucing kesayangannya mengeong dan mengusap-usapkan
kepalanya di kaki Juna. Seolah menghiburnya. Juna meraihnya dan menaruh kucing
itu dipangkuannya. Kucing itu kembali mengeong dan melompat turun dari pangkuan
Juna.
“Ceri? Mau kemana?” Sahut Juna.
Kucing itu menengok ke arahnya dan mengeong lagi. Kemudian berjalan berbelok
ke kiri. Juna mengikutinya. Kucing berhenti di ujung lorong barat perpustakaan
pribadinya. Kucing itu duduk termangu seolah menunggu. Ada sebuah pintu di
sana.
“Ceri? Kau membawaku ke sini?”
Tanya Juna dengan raut muka heran.
Usianya 20 tahun. Dan selama itu ia belum pernah melihat pintu itu. Entah
kekuatan apa yang membuatnya melangkah mendekati pintu itu. Memutar gagang pintunya.
Pintu itu berderit. Gelap. Hanya ada cahaya yang menerobos dari jendela yang
sedikit tersingkap tirainya. Lantainya kotor dan berdebu. Begitu juga ranjang
dan semua perabot yang ada di sana. Kucing itu menerobos masuk yang diikuti
oleh Juna.
“Miaauuww” Ceri mengeong di atas peti yang tergeletak di tepi
ranjang.
“Kau menyuruhku membukanya?” Tanya Juna.
Juna pun membuka peti itu. Ada sebuah buku berwarna hitam. Juna
meraihnya.
“The Secret Book” Juna membaca tulisan emas yang ada sampul hitam
itu.
Juna membuka lembar pertama. Kosong. Hanya kertas usang yang
kekuning-kuningan. Juna hendak membuka lembar berikutnya ketika tiba-tiba saja
muncul tulisan di halaman yang tadinya kosong. Juna terperanjat kaget. Hampir
saja ia melempar buku itu.
Ia buka perlahan matanya yang refleks terpejam. Jantungnya berdegup
kencang. Ada tulisan-tulisan di lembar itu. Ia tak bisa membaca tulisan itu.
Simbol-simbol aneh. Ia sampai di tengah-tengah buku itu. Kosong. Tidak, ada
titik hitam. Titik itu semakin membesar. Membesar hingga memenuhi halaman buku
itu.
“Aaaaaaaa...” Teriak Juna kala muncul cahaya menyilaukan dari lubang
hitam yang menyedotnya masuk kedalam buku itu. Ia buka perlahan matanya. Ia
tetap sama dengan posisi sebelumnya. Hanya saja, ruangan itu berubah. Bersih.
Tirai jendela berwarna hijau. Seprei, bantal, cat tembok pun berwarna hijau
lembut. Warna kesukaannya. Lantai marmer berkilau. Langit-langit kamar di lukis
seperti langit sesungguhnya. Ada banyak bunga dalam vas di meja samping
ranjangnya, di bawah jendela, dan di setiap ujung ruangan. Berwarna-warni.
Indah.
Ceri melompat kepangkuan Juna. Bulunya yang hitam berubah menjadi
putih bersih. Juna meraih kucingnya hendak memeluk. Kala itu ia tersadar, baju
yang ia kenakan pun berubah. Menjadi gaun berwarna hijau lembut menjuntai
kebawah dengan lapisan kain tipis berwarna hijau terang yang berkerlip-kerlip.
Indah. Seperti gaun putri dalam dongeng. Ia berdiri. Berjalan. Memutar. Tak
percaya ia mengenakan gaun seindah itu.
“Aaaaa....” Ia menjerit, lagi. Kala ia melihat pada cermin besar yang
terpajang di atas meja rias di samping ranjangnya. Ia melihat gadis yang sangat
cantik. Benarkah itu dia? Juna berjalan mendekati cermin. Menyentuh pipinya.
Kemana perginya jerawat yang selalu memenuhi wajahnya itu? Pipinya lembut, merona,
bersih dan cerah. Rambutnya? Bukan lagi kribo mengembang tetapi panjang hitam
legam bergelombang. Ada mahkota kecil yang berkilau di kepalanya.
“Hwaahhh... Mimpikah?” Ucapnya sambil menepuk pipinya.
“Miiauww.” Ceri mengeong seolah menjawab pertanyaan Juna.
“Aaaaaaaa.... Ini nyataaaaa....” Teriak Juna sekali lagi. Juna
berjingkrak kegirangan.
“Juna sayang, ada apa? Kenapa menjerit begitu?” Terdengar suara
lembut dari balik pintu yang terbuka sedikit.
“Ma, mah?” Ucap Juna.
“Kamu panggil apa sayang? Mamah? Bukankah kau biasanya memanggil
bunda? Bunda Elena” Ucap perempuan cantik di hadapan Juna.
“Eh, nggak Ma, eh, bunda.” Ucap Juna tergagap. Ia bingung hendak
memanggil sosok di depannya itu dengan sebutan apa. Ia miripsekali dengan
Mamahnya di dunia nyata. Namun di sini ia terlihat lebih cantik. Tidak seperti
biasanya. Berantakan. Hidupnya hanya di laboratorium. Gila dengan
penemuan-penemuan bodohnya.
“Ayo turun. Bunda menunggumu dari tadi untuk saparan bersama. Hari
ini bunda masak menu spesial. Kesukaan kamu.”
“I, iya, Bunda.” Jawab Juna masih tergagap. Tak percaya. Bagaimana bisa
ibunya berubah menjadi ramah dan lembut seperti itu. Biasanya tak seramah itu.
Selalu mengabaikan Juna dan sibuk dengan dunianya sendiri. Ia berubah menjadi
sangat cantik. Dengan gaun perpaduan warna biru tua dan muda. Indah.
Juna meraih ceri. Berjalan mengikuti perempuan itu.
“Huwwaahhh.” Desah Juna tercengang. Di depan kamar juna ada sebuah
tangga berkilau yang menghubungkan dengan lantai dua. Sebuah ruangan yang
sangat besar. Seperti aula. Di lantainya terbentang permadani yang sangat indah
dan lembut. Dindingnya pun dihiasi dengan lukisan-lukisan dan ormamen yang indah. Sungguh. Rumahnya
seperti istana di negeri dongeng.
“Ayo sayang” Ucap perempuan bergaun biru itu.
Juna mempercepat langkah menuruni tangga. Menuju ruang makan. Juna
lahap memakan makanan kesukaannya itu.
Usai makan perempuan itu berdiri. Mengayunkan tongkat yang ada di
genggamannya. Semua peralatan makan itu terbang sendiri menuju wastafel.
Bergerak-gerak seolah ada yang sedang mencuci. Setelah bersih semua perabotan
itu terbang dan tertata rapi di rak.
“Mana tongkatmu sayang? Kamu tinggal di kamar?”
“A, eh, i, iya bunda.” Jawab Juna asal. Padahal ia tak tahu. Tongkat?
Tongkat apa? Tongkat sihir? Benarkah ia mempunyai tongkat sihir? Seperti yang
dipegang oleh perempuan itu?
“Tak apa. Bunda ambilkan.” Ucapnya sambil mengayunkan kembali
tongkatnya. Dan benar. Tongkat lain muncul dari kamarnya. Terbang menuruni
tangga, melewati ruangan tengah, dan sampai di depan Juna. Juna meraihnya.
Bingung.
“Lakukanlah apapun yang ingin kau lakukan Juna.”
Juna berjalan dan diiringi oleh Ceri. Menuju taman di belakang
istana. Sungguh. Indahnya tak tertandingi. Ada sebuah gazebo yang terbuat dari
kaca dan kristal. Berkilau di tengah danau yang jernih airnya. Di sekeliling
danau itu tumbuh bunga-bunga yang tertata dengan rapi. Berwarna-warni seperti
pelangi. Kupu-kupu berterbangan dengan sayap-sayap yang indah di dedaunan pohon
perdu yanga asri. Hari demi hari ia lalui di istana yang megah itu.
Suatu saat ia sedang berada di halaman atas istana megah itu, dimana
ia biasa menanti hadirnya sunrise dan sunset yang mengagumkan. Istana itu
memang benar-benar megah. Berada di puncak bukit yang di sisinya adalah lautan
yang indah memesona. Gerbang istana itu tampak kecil jika dilihat dari tempat
ia berdiri saat ini. setiap hari ia melihat perempuan yang berpakaian sederhana
berjalan menuju istana dengan di kawal oleh penjaga istana. Namun ia tak pernah
melihat perempuan-perempuan itu berjalan keluar ke istana. Entah. Mungkin
mereka tenaga baru yang direkrut menjadi pelayan di istana ini.
Hingga suatu hari. Kala ia sedang menunggang unicorn putihnya di
taman istana. Perempuan itu memanggilnya.
“Ayo ikuti bunda. Sudah waktunya kita melakukan ritual itu sayang.”
Ucap Elena sambil berjalan meninggalkan ruang makan.
“Ritual apa bunda?” Tanya Juna sambil beranjak mengikuti langkah
perempuan itu.
“Kau lupa? Hari ini genap usiamu 20 tahun. Kau harus melakukan ritual
ini jika ingin kecantikan dan kekuatanmu tetap abadi dan tidak pudar. Dan
ritual ini akan berlanjut setiap sebulan
sekali.”
Ritual? Kecantikan? Kekuatan? Keabadian? Pertanyaan itu berkelebat di
pikirannya. Hingga mereka sampai di depan pintu yang menjulang tinggi.
Perempuan itu mengayunkan kembali tongkatnya. Pintu itu berdebam.
Terbuka perlahan. Di dalamnya ada sebuah kolam dengan air berwarna merah. Air?
tak tampak seperti air. Entah. Darahkah?
“Masuklah ke dalamnya.” Ucap Elena.
“Ta, tapi ini apa bunda? Aku tidak mau.” Jawab Juna.
“Masuk. Kau tidak bisa menolaknya.” Jawab Elena tegas. Sorot matanya
menakutkan.
“Tidak. Aku tidak mau.” Jawab Juna hendak berlari keluar ruangan itu.
Perempuan itu mengayunkan tongkatnya. Pintu megah itu berdebam dan
kembali tertutup. Juna mendorong pintu itu. Percuma. Tenaganya tak kuat untuk
membuka pintu kokoh itu.
“Kau harus tetap hidup Juna. Untuk meneruskan kerajaan ini.”
“Ta, tapi apa yang ada di kolam itu?”
“Itu adalah harga yang harus dibayar untuk apa yang ingin kita
inginkan Juna.”
“Tidak. Bukan ini yang aku inginkan.”
“Bukankah ini impianmu? Menjadi putri cantik yang hidup di kerajaan
mewah? Bukan hidup di rumah tua dengan Mamahmu yang gila itu. Gila dengan
penemuan-penemuan tak bergunanya?”
Saat itu Juna teringat pada ibunya. Ia merindukan ibunya. Ia menyesal
kala itu membentak ibunya dan berkata bahwa ia membencinya. Sekarang ia tak
butuh kemegahan, kecantikan, dan kekuatan ini. Ia hanya butuh ibunya.
“Mamah.” Ucapnya lirih dengan derai air mata yang mulai mengalir. Ia
mengayunkan tongkatnya ke arah perempuan itu. Tongkat itu mengeluarkan petir
yang membuatnya terpental. Namun itu tak seberapa. Kekuatan Juna tak mampu
menandingi Elena.
Elena balas mengayunkan tongkatnya. Bukan untuk melukai Juna.
Melainkan mengambil tongkat yang digenggam oleh Juna. Tongkatnya terlempar jauh
darinya. Juna tak bisa melawan.
“Ayo cepat.” Perempuan itu menarik paksa tangan Juna dan menyeretnya
menuju kolam berisi darah itu.
Juna meronta. Ah, sayang sekali tongkatnya tak bisa ia raih. Mereka
sampai di tepi kolam itu.
“Setelah ini kau takkan pernah bisa kembali ke duniamu yang dulu.
Hahahhhaa...” Ucap Elena dengan tawa yang mengerikan.
Hingga tiba-tiba saja Ceri, kucing Juna, berlari menerjang wajah
Elena yang membuatnya terjatuh ke dalam kolam itu. Juna langsung berlari meraih
tongkatnya dan mengayunkan ke arah pintu itu. Sepertinya Elena kehilangan
tongkatnya dikubangan darah itu.
“Jangan buka pintu itu Juna. Jangan!!!”
Terlambat. Pintu itu terbuka. Juna meraih Ceri dan melangkah keluar
pintu itu. Ia kembali ke ruang perpustakaannya. Segera ia menutup pintu itu.
Tepat saat Elena hendak sampai ke pintu. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya
tersengal. Ia menghela napas dan memeluk Ceri.
“Juna, buka pintunya. Maafkan Mamah sayang.” Terdengar suara dari
balik pintu kamarnya. Ibunya masih di sana? Jadi berbulan-bulan ia di dunia
aneh itu tak merubah sedikit pun waktu di sini? Juna segera berlari. Membuka
pintu kamarnya. Dan memeluk ibunya.
“Mamah, maafkan Juna. Maafkan Juna. Juna sayang Mamah.” Ucapnya
dengan derai air mata.
“Mamah
juga sayang kamu Juna. Maafkan Mamah.”Ikhlaslah untuk Mengikhlaskan
“Ikhlaslah
untuk Mengikhlaskan”
Isma
Az-Zaiinh
25-02-2016
...وَلَا يُشْرِكُ بِعِبَادَةِ
رَبِّهِ اَحَدًا (الكهف: 110)
“Shodaqallahul
‘adzim”
Kututup Al Qur’an bersampul emasku. Segera
kulepas mukenah dan beranjak dari atas sajadah untuk mengambil wudhu. Sebentar lagi
adzan maghrib. Di pondok mewajibkan semua santri untuk ikut sholat ber jama’ah
. Darul Qur’an, itu nama tempat dimana aku dan puluhan temanku yang lain
berteduh. Sekadar untuk menimba ilmu dan mengkhatamkan hafalan Al Qur’an.
PING!!!
“Ara, hp
kamu bunyi terus tuh dari tadi.” Sahut Ima, sahabat sekamarku. Al Hafidz,
itulah nama kamarku di
lantai tiga.
‘pasti dari dia.’ Ujarku dalam hati.
“Iya, biarkan aja Ma.”
“wuiihh, tumben Ra? Habis makan apa kamu?
Biasanya langsung kalang kabut lari mengejar hp kalo hp kamu bunyi.” Timpal Ima.
“Makan hati” Jawab sekenaku sambil terus berjalan
menuju tempat wudhu yang terletak di lantai satu.
Kulangkahkan kaki menuruni tangga. Perlahan.
“Allah...” Desahku dalam hati dan tiba-tiba saja
air mataku mengalir. Langkahku terhenti. Dan kuterduduk di salah satu anak
tangga lantai dua. Menyandarkan bahu pada dinding tangga. tak terasa bulir hangat mengalir dari mata, melewati pipi dan terjatuh. Disusul dengan tetes-tetes bening yang kian menderas.
Terdengar adzan berkumandang. Segera kuseka air
mata dan bergegas untuk mengambil wudhu. Tidak ingin terlambat lagi untuk
jama’ah. Meski dalam hati tangisku belum reda.
Usai sholat berjama’ah kumelangkah gontai menuju
aula lantai dua. Tempatku dan teman-teman menyetorkan hafalanku. Rupanya air
mata ini tak rela kuseka paksa. Menggenang dipelupuk mata dan siap membuncah
meski kutahan sedari tadi. Setidaknya, tahanlah. Sampai ku selesai menyetorkan
hafalanku.
Benar. Air mata ini pun jatuh seiring deret
kalam yang kulantunkan di hadapan ustadzahku. Aku tergugu.
“Shodaqallahul ‘adzim.” Akhirnya aku pun akhiri
setoranku yang hanya dua halaman tak penuh.
“Ada apa mbak? Ada masalah?” Tanya ustadzahku.
“Nggeh ustadzah.” Jawabku singkat.
“Ikhwan yang kemarin kamu ceritakan
mbak?”
“Nggeh ustadzah.” Jawabku dengan derai
air mata yang kian deras.
“Kemarinkan sudah saya katakan. Itu hanya cobaan
untuk kamu. Cobaan orang yang sedang menghafal Al Qur’an memang banyak mbak.
Salah satunya ya ikhwan. Cobaan untuk mengukur seberapa kuat kamu menggenggam
Al Qur’an. Memang awalnya berat mbak. Perih. Tapi jangan sampai kecintaan kita
kepada Al Qur’an pudar. Apalagi hanya karena ikhwan. Sabar. Tabah. Kalau sudah
waktunya ia akan didatangkan tanpa terduga oleh Allah. Pilihan terbaik-Nya
untuk kamu. Lepaskanlah. Ia hanya cobaan untuk mengukur seberapa besar cintamu pada Al Qur’an.”
Panjang lebar ustadzah menasehati diri yang
sering lalai ini. Sedikit lega. Serupa oase yang menyejukan gersangnya hati.
Meski derai air mata ini tetap saja tak mau berhenti.
“Nggeh, matur nuwun ustadzah.” Aku mencium
tangan ustadzahku dan beringsut mundur. Kembali ke kamar.
Kuraih hp ku yang sedari pagi kuabaikan. Benar.
Tak ada pesan lain selain darinya. Banyak. Seperti biasa.
Semua ini berawal dari tujuh bulan yang lalu.
Aku mengenalnya saat KKN (Kuliah Kerja Nyata), salah satu program di
universitasku, UIN Sunan Kalijaga. Tak pernah terucap satu kata pun dari kami
kata yang melambangkan perasaan. Tapi entah kenapa perasaan ini tumbuh subur di
antara kami. Dia sama sepertiku. Mempunyai prinsip untuk menjaga diri hingga
halal. Tidak ingin terjebak dalam kubangan dosa, yang lebih biasa kita kenal
dengan pacaran.
Mungkin karena hal ini. Kami mulai mendiskusikan
banyak hal. Mulai dari ritual paganisme, tragedi Palestina dan Suriah,
aliran-aliran di Indonesia, dan banyak hal lain hingga urusan hati. Ah, hal ini
memang paling krusial untuk kami bahas. Tapi setidaknya kami saling menguatkan.
Untuk tetap teguh menjaga prinsip. Kami pun mempunyai banyak istilah untuk
mengganti istilah jomblo. Terlalu frontal katanya. Mufrad mabni, jomblo fisabilillah,
jomblo lillahi ta’ala, JOSS (Jomblo Sampai Sah), jomblo barokah, tuna
asmara, mbolovers, dll. Dari semua istilah itu kami lebih suka mufrad
mabni, tidak banyak yang mengetahui istilah itu.
Hari demi hari hingga sampai pada hitungan
bulan. Komunikasi kami semakin intensif, bahkan selepas kami undur diri dari
desa tempat KKN. Saat itulah mungkin kami mulai menyadari ada hal lain yang
terjadi. Perlahan. Tumbuh dengan suburnya seiring meningkatnya intensitas
komunikasi. Tak dapat kujelaskan. Ini pertama kalinya aku kontak dengan makhluk
asing, jenis lain dariku, ikhwan.
Hingga lambat laun hal itu mengganggu aktifitas
hafalanku. Menyadarkanku bahwa langkahku keliru. Apa bedanya aku dengan mereka
yang selama ini aku do’akan agar diberi hidayah oleh Allah. Memperbaiki diri.
Menjaga ikhtilat dengan lawan jenis. Menjaga muru’ah. Aku malu
pada diriku sendiri. Salahkah? Bukan duniaku-kah? Derai air mata ini semakin
menjadi. Deras tak terkendali.
“Kenapa Ra?” tanya Ima yang kujawab hanya dengan
gelengan kepala sambil tetap terisak dan tergugu. Ima lebih memilih diam. Dia
tahu. Dia sangat tahu keadaanku. Tiga setengah tahun kita bersama. Dalam
keadaan seperti ini aku hanya ingin didiamkan. Membiarkanku sendiri. Hingga
reda dengan sendirinya.
Kubuka pesan darinya. Banyak. Seperti biasa. Dia
menawarkan topik pembahasan yang berat. Pertanyaan yang membuat dahiku
berkerut. Tapi aku tak berselera untuk menjawabnya. Apalagi membahas topik itu,
yang biasanya membuat diskusi kami semakin panjang dan susah untuk dihentikan.
Seperti biasa.
‘Aku rindu diriku yang dulu.’ Balasku di bbm.
‘Diri yang bagaimana?’
‘Diriku yang tak mengenal
ikhwan.’
Lama tak ada balasan. Mungkin dia pun menyadari
kekeliruan kami selama ini. berpikir keras.
‘Boleh minta tolong?’ Akhirnya aku membalas.
‘Minta tolong apa?’ Balasnya.
‘Unfollow instagramku atau
antum tak blokir. Silahkan pilih.’
:’(
Hanya emot itu yang ia balas.
‘Ya sudah. Demi izzah-mu aku
rela. Tak unfollow. :’( ‘
‘syukron.’ Balasku.
‘afwan. :’( ‘ Balasnya.
Tak ada bahasan lain. Tak ada balasan lagi. Dan
air mataku masih saja setia mengalir. Kuletakkan hp ku. Aku kembali tergugu.
Banyak sekali yang kupikirkan. Apakah di sana pun merasakan hal yang sama?
Mengalirkan air mata dengan alasan yang sama?
Malam kian matang. Namun mata masih enggan untuk
terpejam. Tangisku tak lagi tergugu. Hanya isak yang sesekali menyesakkan kala
kelebat memori tentangnya muncul.
Entah kekuatan apa yang mendorongku untuk
mengambil keputusan itu. Dalam iringan derai air mata dan lantunanan nada itu,
ku berjuang. Berusaha menata hati kembali. Mengikhlaskan. Dan benarkah aku bisa
melepasnya dengan sebenar-benarnya ikhlas? Allah Maha Tahu apa yang ada di hati
ini. Bismillah. Kontak bbm-nya aku DC. Itu artinya tak ada lagi alasan untuk
kami berkomunikasi. Tak ada akses untuk kami kembali berkomunikasi. Mungkin ini
yang terbaik. Aku hanya ingin menjaga hati. Aku hanya ingin hati kita lebih
terjaga.
Malam kian pekat. Aku masih tergugu dengan
sejuta perasaan berkelebat hingga kuterjatuh ke alam mimpi. Pukul tiga dini
hari aku terbangun oleh isak tangisku sendiri. Ada apa denganmu wahai diri? Tak
cukupkah air mata semalam membasuh lukamu? Hingga kau pun melanjutkan desah
tangis itu dalam tidurmu. Dan kini, kau terbangun dengan air mata yang kau bawa
dari mimpi.
Yakinlah. Itu adalah keputusan yang terbaik.
Hanya ingin mengharap ridho Allah. Untuk menjaga hati. Untuk lebih menata diri.
Biarlah, cukuplah Allah yang menyertaimu dalam kisah ini. Sudahi air mata ini.
belum tentu yang di sana pun mengalirkan air mata yang sama denganmu.
Aku menghela napas.
“Allah, Allah, Allah.. .” Desahku lirih.
Kuseka air mataku. Melangkah gontai ke lantai
satu. Berwudhu. Kutumpahkan semua tangisku dalam sujudku. Hingga tak bersisa.
Ingin kuhabiskan air mata ini. berdamai dengan diri. Benar. Aku pun mulai
merasa tenang. Menghela napas panjang. Kubuka Al Qur’an bersampul emasku yang
kuabaikan semalam. Dengan hati yang mulai berdamai. Kurapal kembali deret
kalam-Nya. Mengeja dalam pejaman mata. Hingga adzan subuh berkumandang.
Kubergegas untuk sholat berjama’ah. Menyetorkan hafalanku. Dengan hati yang
lebih tenang. Sekali lagi, dengan hati yang lebih tenang.
Seminggu berlalu. Sisa-sisa memori tentangnya
memang masih berkelebat. Sesekali membuat bulir bening dari pelupuk mataku mengalir. Tak apa. Hijrah itu tidak instan bukan. Bertahap dan perlahan.
Berproses untuk berdamai dengan hati.
Menjaga hati hanya untuk yang terjaga. Karena yang menjaga pasti akan
dijaga. Ikhlaslah untuk mengikhlaskan.
CINTA MEREKA BERLABUH KARENA ALLAH
“CINTA MEREKA BERLABUH KARENA ALLAH”
Isma Az-Zaiinh
25-02-2016
Fajar belum sempurna matang. Ia duduk di teras
depan kosnya. Berselimutkan dingin yang menusuk hingga ke tulang. Namun itu tak
seberapa dibandingkan dingin di hatinya yang membeku. Bersama memori yang
bersusah payah ia kubur dalam-dalam.
Di tangannya tergenggam buku
sketsa miliknya yang telah menemaninya selama enam tahun terakhir. Di sana
menyimpan jutaan memori dalam setiap goresan sketsanya. Memori enam tahun
silam. Ia berusaha menggali kembali serpihan-serpihan memori yang tak
sepenuhnya bisa ia kubur itu. Mencoba mencairkan kebekuan hatinya. Berdamai
dengan pilihan terberat yang harus ia pilih.
Ia membuka lembar pertama. Ingatannya langsung terseret ke dalam
memori enam tahun silam. Torehan sketsa berlatarkan pagar kayu. Sesosok gadis
berbalut jilbab hitam lebar dengan pandangan mata sendu. Ada sejuta guratan
kesedihan di sana. Tangan kirinya menenteng tas punggung yang terlihat berat
dan tangan kanannya menggenggam erat tangan ayah Azam. Ia baru saja kehilangan kedua
penopang hidupnya. Anak dari sahabat kecil
ayah Azam. Itulah kali pertama ia berjumpa dengannya. Hingga sejak itu,
ia resmi menjadi adik angkat bagi Azam. Zahra namanya.
###
Dingin udara fajar masih terasa. Di ufuk timur mulai terlihat saputan
mega yang tak kentara. Fajar mulai menyapa. Ia membuka lembar berikutnya. Matanya
beradu pandang dengan sketsa sepasang tatapan mata yang lembut, berbinar, dan
tulus. Hatinya berdegup. Ingatannya kembali terperosok pada memori itu.
“Abang, tunggu Ara.” Sahutya
berlari-lari di halaman mengejarku. Terhitung enam bulan setelah perjumpaan
pertama Azam dengannya. Butuh waktu selama itu untuk mengubah mata sendunya
menjadi binar lembut yang tulus. Seperti pagi ini. Dan hari-hari berikutnya.
“Ayo Ra, kita sudah terlambat.”
Sejak saat itu, setiap hari mereka berangkat ke sekolah bersama. Dia di kelas 1
SMA, sedangkan Azam setingkat di atasnya. Setahun, dua tahun, dan tiga tahun
berlalu. Tiga tahun itu merangkum sejarah baru bagi mereka. Tak ada kebersamaan
di antara mereka sebelumnya. Hingga takdir mempertemukan. Mengukir kisah baru
dalam sudut memori, dalam bilik ruang hati yang tersembunyi. Di sana tumbuh
benih yang kian mengembang. Subur. Meski belum atau mungkin takkan pernah
terjelaskan di antara mereka.
‘Selamat malam. Mimpi indah, Ara.’ Ia menutup percakapan via
sms nya.
Hening
Tak ada balasan.
‘Mungkin sudah tidur.’ Ucapnya dalam hati. Ia meletakkan hp-nya.
Meraih kuas dan menggoreskan cat dalam kanvas yang sedari tadi di hadapannya.
Sedari kecil ia memang sangat suka melukis. Hingga ia pun kuliah mengambil
jurusan seni rupa. Jurusan yang disarankan oleh Zahra. Sosok yang diam-diam
menjadi begitu penting baginya.
Ini tahun pertama ia menimba ilmu di perantauan. Namun sudah banyak
karya yang dihasilkan. Entah, ini yang keberapa. Yang jelas objek lukisannya
berubah. Sejak tiga tahun yang lalu, ia lebih suka melukis sepasang mata dengan
berbagai ekspresi. Sendu, berbinar, tulus, berkaca-kaca, dan banyak ekspresi
lain yang menggambarkan perasaan dari pemilik sepasang mata itu. Pemilik sepasang
mata yang diam-diam menjelma menjadi muse, inspirasi baginya. Ia sering
mengikut sertakan karyanya di pameran. Karyanya dengan objek tak lazim itu lebih
banyak menarik minat pengunjung. Tak sedikit lukisannya yang terjual dengan
harga yang cukup mahal.
###
Ia mendesah pelan. Lembar demi lembar ia buka kembali. Perih memang.
Seperti membuka luka lama. Namun ia bertekad, berusaha berdamai. Ia sampai pada
lembar kesepuluh. Goresan sketsanya. Sepasang tangan lentik yang menggenggam
sebuah kado. Ingatannya kembali tenggelam pada memori silam.
Kala itu senja mulai menyapa. Ara sedang duduk di taman rumah.
Membaca buku yang sejak satu jam lalu
berada dalam genggamannya. Sesekali ia menyandarkan punggung di sandaran kursi
dan menatap gemercik air yang mengalir di kolam ikan.
“A, Ara.” Sahut Azam tergagap dengan kedua telapak tangan yang
tersembunyi di balik punggungnya.
“Eh, Bang Azam. Ada apa bang?” Jawabnya seraya menoleh. Mengalihkan
pandangannya dari buku yang sedari tadi mengalihkan dunianya. Demi menjawab
sapaan itu. Sapaan dari orang yang lambat laun menjadi begitu penting baginya.
Azam bergeming. Bimbang. Mana yang akan ia berikan. Kedua-duanya kah?
“Abang? Ada apa?” Sergah Ara yang bingung dengan sikap kakaknya.
“Eh, Selamat ulang tahun Ara.” Ucapnya seraya mengulurkan tangan
kanannya yang menggenggam kado bersampul hijau, warna kesukaan Zahra. Sementara
yang ada di genggaman tangan kirinya ia selipkan kembali ke dalam sakunya. Tertahan,
lagi. Entah, ini kali keberapa ia gagal memberikan apa yang ada digenggamannya
itu. Selalu saja. Ia tak mampu.
“Abang..., berapa kali Ara bilang? Ara tidak suka merayakan hari
ulang. Nggak penting. Bukan dunia Ara.” Ceracau Zahra.
“Aih, siapa juga yang ngerayain? Abang kan cuma mau ngasih kado ke kamu. Kalo nggak mau
ya udah.” Sambung Azam dengan berpura-pura memasang wajah jutek sambil menarik kembali
uluran tangannya yang segera disambar oleh Ara.
“Eh, kan udah dikasihkan ke Ara. Mana boleh diambil lagi?” Sanggahnya
sambil tertawa memamerkan gigi singsul dan lesung pipitnya.
Ah, demi melihat senyumnya itu. Siapa yang tak luruh?
###
Perih. Semakin ia membuka lembar demi lembar itu. Semakin ia
merasakan perihnya. Tapi ia tak mau berhenti. Ia harus bisa berdamai. Sekali
lagi. Ia buka lembar berikutnya. Siluet wajah yang mengenakan toga dengan
senyuman indah itu. Senyuman yang mengisi bilik ruang separuh hatinya. Tepat,
bersamaan dengan kabar yang meluluh lantakkan impiannya dan hampir menenggelamkan kehidupannya. Memori
terberat yang sangat ingin ia lupakan. Namun kali ini, ia memaksa diri untuk
kembali menyelami memori itu. Mencoba berdamai.
Seminggu setelah acara wisuda Zahra di Malang. Ia telah menyelesaikan
pendidikan D3nya. Matahari telah lama tergelincir. Namun ia tetap tak beranjak.
Setia menggores kuasnya di atas kanvas. Ia sedang menyelesaikan lukisannya yang
akan dia hadiahkan kepada Zahra. Jika selama ini ia hanya melukis bagian tak
utuh, entah mata, tangan, atau sebuah senyuman. Kali ini ia melukis wajah
penuh. Wajah dengan mata yang berbinar tulus dan senyum lesung pipit miliknya.
Ia berencana untuk memberitahu Zahra bahwa ia adalah muse yang selama
ini ia ceritakan kepadanya. Inspirator bagi karya-karyanya yang selama ini ia
rahasiakan. Ia pun berencana memberikan amplop bersampul hijau itu yang
berulang kali ia gagal memberikan kepadanya. Amplop berisi surat yang
mengungkap semua isi hatinya, yang ia pendam enam tahun lamanya. Hingga hp yang sedari tadi tergeletak di
sampingnya berdering.
‘Abang. Apa Ayah sudah cerita ke Abang?’
‘Cerita apa Ra?’ Balasnya sambil
mengernyitkan dahi.
‘Ayah menjodohkan Ara dengan anak sahabat Ayah. Bulan
depan. Ara harus bagaimana?’
Bagai tersambar petir. Palet cat lukis yang ada digenggamannya
terjatuh. Jika itu keputusan Ayahnya ia tak bisa apa-apa. Terlebih ia adalah
kakak bagi Ara. Setidaknya itulah yang orang-orang tahu. Bagaimana bisa ia
menentang keputusan ayahnya dan menjelaskan yang antara Azam dan Zahra pun tak
mampu saling menjelaskan. Ia tak tahu harus membalas apa.
‘Abang?’
Hening.
‘Ara harus bagaimana bang?’ Balasnya lagi.
Azam tak tahu atau mungkin takkan pernah tahu. Bahwa di sana pun ada
gelisah yang mendebarkan. Menanti penjelasan atas perasaan yang ia pendam sejak
enam tahun silam. Sama sepertinya. Ia pun tak mampu menjelaskannya. Hanya diam.
Membiarkannya bersemayam dan tumbuh subur di sudut hati. Tersembunyi. Tak
pernah terungkapkan.
Azam tak pernah tahu. Saat ini. di sana pun ada kegundahan.
Berkecamuk di hati yang meronta menuntut penjelasan. Namun sekali lagi. Hanya
hati yang berbicara. Seolah kata-kata itu kabur. Hanya air mata yang berbicara.
Mengalir deras seiring gejolak hati yang tak terungkap.
“Halo, Yah.” Ucap Azam tercekat di ujung telepon.
“Zam, kamu kenal Hanan
kan? Teman SMA-mu dulu. Dia melamar Zahra. Bagaimana menurutmu? Kau kan kenal
dekat dengan Hanan?”
Bagaimana bisa ia menjawab pertanyaan Ayahnya. Sekarang ia
benar-benar kehilangan daya. Ia terjatuh tersungkur dengan air mata tertahan.
“Di, Dia baik Yah. Ayah lebih tahu tentang dia. Dia baik untuk
Zahra.” Entah kenapa. Bagaimana bisa ia mengatakan hal itu? Tapi itu memang
benar. Hanan adalah sosok yang baik untuk Zahra. Berpendidikan dan beragama.
Selain itu ia juga hafidz. Dia jauh lebih pantas untuk Zahra. Kini, air matanya
benar-benar mengalir. Tak sanggup lagi ia membendungnya.
“Baiklah kalau begitu. Pulanglah bulan depan. Hanan dan keluarganya
akan datang ke rumah untuk melamar.”
Azam tak menjawab. Ia menutup teleponnya. Takut ayahnya mendengar
isak tangis tertahannya. Semenjak itu ia mematikan ponselnya hingga sebulan ke
depan. Sempurna. Ia menyerahkan Zahra kepada sahabatnya. Ia tergugu. Baru kali
ini ia menangis untuk seorang perempuan. Baru kali ini ia merasakan sakit yang
begitu dalam.
###
Saputan merah di ufuk semakin nampak. Fajar menyingsing. Azam telah sampai
pada lembar terakhir buku sketsa miliknya. Tak sadar, air matanya mengalir.
Luka itu benar-benar ternganga, kembali. Ia tak mampu berdamai. Ia belum bisa
menerima kenyataan itu. Hingga tiba-tiba saja sahutan itu terdengar. Sahutan
yang sangat ia kenal.
“Abang.”
Azam menoleh. Tak percaya. Zahra sedang berdiri di depannya. Menatap
sayu kepadanya. Bagaimana bisa? Seharusnya ia ada di rumah menanti kedatangan
keluarga Hanan untuk melamarnya.
“Abang kenapa tidak pulang?” Ucap Zahra yang kali ini diiringi dengan
derai air mata. Bulir bening itu jatuh mengalir melewati lesung pipitnya.
“Ka, kamu kenapa ada di sini?” Balas Azam tergagap.
Sebelum Zahra menjawabnya kedua orang tua Azam muncul dari balik
pagar kosnya.
“Pulanglah nak. Ayah sudah tahu semuanya.” Ayah Azam berkata sambil
memberikan buku sketsa milik Azam yang tertinggal di rumah.
“Pulanglah, bukan untuk perjodohan antara Zahra dan Hanan. Tapi kamu
dan Zahra.”
Azam benar-benar tak menduga. Ia memeluk Ayahnya dan tergugu. Zahra
pun semakin tergugu. Menangis dalam pelukan Ibu Azam yang juga turut menangis.
Bukan tangis derita yang selama ini Zahra dan Azam pendam. Tapi tangis bahagia.
Akhirnya cinta dalam diam itu pun dipersatukan dalam kisah yang tak terduga.
Cinta mereka berlabuh karena Allah.
Langganan:
Postingan (Atom)