“Ikhlaslah
untuk Mengikhlaskan”
Isma
Az-Zaiinh
25-02-2016
...وَلَا يُشْرِكُ بِعِبَادَةِ
رَبِّهِ اَحَدًا (الكهف: 110)
“Shodaqallahul
‘adzim”
Kututup Al Qur’an bersampul emasku. Segera
kulepas mukenah dan beranjak dari atas sajadah untuk mengambil wudhu. Sebentar lagi
adzan maghrib. Di pondok mewajibkan semua santri untuk ikut sholat ber jama’ah
. Darul Qur’an, itu nama tempat dimana aku dan puluhan temanku yang lain
berteduh. Sekadar untuk menimba ilmu dan mengkhatamkan hafalan Al Qur’an.
PING!!!
“Ara, hp
kamu bunyi terus tuh dari tadi.” Sahut Ima, sahabat sekamarku. Al Hafidz,
itulah nama kamarku di
lantai tiga.
‘pasti dari dia.’ Ujarku dalam hati.
“Iya, biarkan aja Ma.”
“wuiihh, tumben Ra? Habis makan apa kamu?
Biasanya langsung kalang kabut lari mengejar hp kalo hp kamu bunyi.” Timpal Ima.
“Makan hati” Jawab sekenaku sambil terus berjalan
menuju tempat wudhu yang terletak di lantai satu.
Kulangkahkan kaki menuruni tangga. Perlahan.
“Allah...” Desahku dalam hati dan tiba-tiba saja
air mataku mengalir. Langkahku terhenti. Dan kuterduduk di salah satu anak
tangga lantai dua. Menyandarkan bahu pada dinding tangga. tak terasa bulir hangat mengalir dari mata, melewati pipi dan terjatuh. Disusul dengan tetes-tetes bening yang kian menderas.
Terdengar adzan berkumandang. Segera kuseka air
mata dan bergegas untuk mengambil wudhu. Tidak ingin terlambat lagi untuk
jama’ah. Meski dalam hati tangisku belum reda.
Usai sholat berjama’ah kumelangkah gontai menuju
aula lantai dua. Tempatku dan teman-teman menyetorkan hafalanku. Rupanya air
mata ini tak rela kuseka paksa. Menggenang dipelupuk mata dan siap membuncah
meski kutahan sedari tadi. Setidaknya, tahanlah. Sampai ku selesai menyetorkan
hafalanku.
Benar. Air mata ini pun jatuh seiring deret
kalam yang kulantunkan di hadapan ustadzahku. Aku tergugu.
“Shodaqallahul ‘adzim.” Akhirnya aku pun akhiri
setoranku yang hanya dua halaman tak penuh.
“Ada apa mbak? Ada masalah?” Tanya ustadzahku.
“Nggeh ustadzah.” Jawabku singkat.
“Ikhwan yang kemarin kamu ceritakan
mbak?”
“Nggeh ustadzah.” Jawabku dengan derai
air mata yang kian deras.
“Kemarinkan sudah saya katakan. Itu hanya cobaan
untuk kamu. Cobaan orang yang sedang menghafal Al Qur’an memang banyak mbak.
Salah satunya ya ikhwan. Cobaan untuk mengukur seberapa kuat kamu menggenggam
Al Qur’an. Memang awalnya berat mbak. Perih. Tapi jangan sampai kecintaan kita
kepada Al Qur’an pudar. Apalagi hanya karena ikhwan. Sabar. Tabah. Kalau sudah
waktunya ia akan didatangkan tanpa terduga oleh Allah. Pilihan terbaik-Nya
untuk kamu. Lepaskanlah. Ia hanya cobaan untuk mengukur seberapa besar cintamu pada Al Qur’an.”
Panjang lebar ustadzah menasehati diri yang
sering lalai ini. Sedikit lega. Serupa oase yang menyejukan gersangnya hati.
Meski derai air mata ini tetap saja tak mau berhenti.
“Nggeh, matur nuwun ustadzah.” Aku mencium
tangan ustadzahku dan beringsut mundur. Kembali ke kamar.
Kuraih hp ku yang sedari pagi kuabaikan. Benar.
Tak ada pesan lain selain darinya. Banyak. Seperti biasa.
Semua ini berawal dari tujuh bulan yang lalu.
Aku mengenalnya saat KKN (Kuliah Kerja Nyata), salah satu program di
universitasku, UIN Sunan Kalijaga. Tak pernah terucap satu kata pun dari kami
kata yang melambangkan perasaan. Tapi entah kenapa perasaan ini tumbuh subur di
antara kami. Dia sama sepertiku. Mempunyai prinsip untuk menjaga diri hingga
halal. Tidak ingin terjebak dalam kubangan dosa, yang lebih biasa kita kenal
dengan pacaran.
Mungkin karena hal ini. Kami mulai mendiskusikan
banyak hal. Mulai dari ritual paganisme, tragedi Palestina dan Suriah,
aliran-aliran di Indonesia, dan banyak hal lain hingga urusan hati. Ah, hal ini
memang paling krusial untuk kami bahas. Tapi setidaknya kami saling menguatkan.
Untuk tetap teguh menjaga prinsip. Kami pun mempunyai banyak istilah untuk
mengganti istilah jomblo. Terlalu frontal katanya. Mufrad mabni, jomblo fisabilillah,
jomblo lillahi ta’ala, JOSS (Jomblo Sampai Sah), jomblo barokah, tuna
asmara, mbolovers, dll. Dari semua istilah itu kami lebih suka mufrad
mabni, tidak banyak yang mengetahui istilah itu.
Hari demi hari hingga sampai pada hitungan
bulan. Komunikasi kami semakin intensif, bahkan selepas kami undur diri dari
desa tempat KKN. Saat itulah mungkin kami mulai menyadari ada hal lain yang
terjadi. Perlahan. Tumbuh dengan suburnya seiring meningkatnya intensitas
komunikasi. Tak dapat kujelaskan. Ini pertama kalinya aku kontak dengan makhluk
asing, jenis lain dariku, ikhwan.
Hingga lambat laun hal itu mengganggu aktifitas
hafalanku. Menyadarkanku bahwa langkahku keliru. Apa bedanya aku dengan mereka
yang selama ini aku do’akan agar diberi hidayah oleh Allah. Memperbaiki diri.
Menjaga ikhtilat dengan lawan jenis. Menjaga muru’ah. Aku malu
pada diriku sendiri. Salahkah? Bukan duniaku-kah? Derai air mata ini semakin
menjadi. Deras tak terkendali.
“Kenapa Ra?” tanya Ima yang kujawab hanya dengan
gelengan kepala sambil tetap terisak dan tergugu. Ima lebih memilih diam. Dia
tahu. Dia sangat tahu keadaanku. Tiga setengah tahun kita bersama. Dalam
keadaan seperti ini aku hanya ingin didiamkan. Membiarkanku sendiri. Hingga
reda dengan sendirinya.
Kubuka pesan darinya. Banyak. Seperti biasa. Dia
menawarkan topik pembahasan yang berat. Pertanyaan yang membuat dahiku
berkerut. Tapi aku tak berselera untuk menjawabnya. Apalagi membahas topik itu,
yang biasanya membuat diskusi kami semakin panjang dan susah untuk dihentikan.
Seperti biasa.
‘Aku rindu diriku yang dulu.’ Balasku di bbm.
‘Diri yang bagaimana?’
‘Diriku yang tak mengenal
ikhwan.’
Lama tak ada balasan. Mungkin dia pun menyadari
kekeliruan kami selama ini. berpikir keras.
‘Boleh minta tolong?’ Akhirnya aku membalas.
‘Minta tolong apa?’ Balasnya.
‘Unfollow instagramku atau
antum tak blokir. Silahkan pilih.’
:’(
Hanya emot itu yang ia balas.
‘Ya sudah. Demi izzah-mu aku
rela. Tak unfollow. :’( ‘
‘syukron.’ Balasku.
‘afwan. :’( ‘ Balasnya.
Tak ada bahasan lain. Tak ada balasan lagi. Dan
air mataku masih saja setia mengalir. Kuletakkan hp ku. Aku kembali tergugu.
Banyak sekali yang kupikirkan. Apakah di sana pun merasakan hal yang sama?
Mengalirkan air mata dengan alasan yang sama?
Malam kian matang. Namun mata masih enggan untuk
terpejam. Tangisku tak lagi tergugu. Hanya isak yang sesekali menyesakkan kala
kelebat memori tentangnya muncul.
Entah kekuatan apa yang mendorongku untuk
mengambil keputusan itu. Dalam iringan derai air mata dan lantunanan nada itu,
ku berjuang. Berusaha menata hati kembali. Mengikhlaskan. Dan benarkah aku bisa
melepasnya dengan sebenar-benarnya ikhlas? Allah Maha Tahu apa yang ada di hati
ini. Bismillah. Kontak bbm-nya aku DC. Itu artinya tak ada lagi alasan untuk
kami berkomunikasi. Tak ada akses untuk kami kembali berkomunikasi. Mungkin ini
yang terbaik. Aku hanya ingin menjaga hati. Aku hanya ingin hati kita lebih
terjaga.
Malam kian pekat. Aku masih tergugu dengan
sejuta perasaan berkelebat hingga kuterjatuh ke alam mimpi. Pukul tiga dini
hari aku terbangun oleh isak tangisku sendiri. Ada apa denganmu wahai diri? Tak
cukupkah air mata semalam membasuh lukamu? Hingga kau pun melanjutkan desah
tangis itu dalam tidurmu. Dan kini, kau terbangun dengan air mata yang kau bawa
dari mimpi.
Yakinlah. Itu adalah keputusan yang terbaik.
Hanya ingin mengharap ridho Allah. Untuk menjaga hati. Untuk lebih menata diri.
Biarlah, cukuplah Allah yang menyertaimu dalam kisah ini. Sudahi air mata ini.
belum tentu yang di sana pun mengalirkan air mata yang sama denganmu.
Aku menghela napas.
“Allah, Allah, Allah.. .” Desahku lirih.
Kuseka air mataku. Melangkah gontai ke lantai
satu. Berwudhu. Kutumpahkan semua tangisku dalam sujudku. Hingga tak bersisa.
Ingin kuhabiskan air mata ini. berdamai dengan diri. Benar. Aku pun mulai
merasa tenang. Menghela napas panjang. Kubuka Al Qur’an bersampul emasku yang
kuabaikan semalam. Dengan hati yang mulai berdamai. Kurapal kembali deret
kalam-Nya. Mengeja dalam pejaman mata. Hingga adzan subuh berkumandang.
Kubergegas untuk sholat berjama’ah. Menyetorkan hafalanku. Dengan hati yang
lebih tenang. Sekali lagi, dengan hati yang lebih tenang.
Seminggu berlalu. Sisa-sisa memori tentangnya
memang masih berkelebat. Sesekali membuat bulir bening dari pelupuk mataku mengalir. Tak apa. Hijrah itu tidak instan bukan. Bertahap dan perlahan.
Berproses untuk berdamai dengan hati.
Menjaga hati hanya untuk yang terjaga. Karena yang menjaga pasti akan
dijaga. Ikhlaslah untuk mengikhlaskan.
0 komentar:
Posting Komentar