“CINTA MEREKA BERLABUH KARENA ALLAH”
Isma Az-Zaiinh
25-02-2016
Fajar belum sempurna matang. Ia duduk di teras
depan kosnya. Berselimutkan dingin yang menusuk hingga ke tulang. Namun itu tak
seberapa dibandingkan dingin di hatinya yang membeku. Bersama memori yang
bersusah payah ia kubur dalam-dalam.
Di tangannya tergenggam buku
sketsa miliknya yang telah menemaninya selama enam tahun terakhir. Di sana
menyimpan jutaan memori dalam setiap goresan sketsanya. Memori enam tahun
silam. Ia berusaha menggali kembali serpihan-serpihan memori yang tak
sepenuhnya bisa ia kubur itu. Mencoba mencairkan kebekuan hatinya. Berdamai
dengan pilihan terberat yang harus ia pilih.
Ia membuka lembar pertama. Ingatannya langsung terseret ke dalam
memori enam tahun silam. Torehan sketsa berlatarkan pagar kayu. Sesosok gadis
berbalut jilbab hitam lebar dengan pandangan mata sendu. Ada sejuta guratan
kesedihan di sana. Tangan kirinya menenteng tas punggung yang terlihat berat
dan tangan kanannya menggenggam erat tangan ayah Azam. Ia baru saja kehilangan kedua
penopang hidupnya. Anak dari sahabat kecil
ayah Azam. Itulah kali pertama ia berjumpa dengannya. Hingga sejak itu,
ia resmi menjadi adik angkat bagi Azam. Zahra namanya.
###
Dingin udara fajar masih terasa. Di ufuk timur mulai terlihat saputan
mega yang tak kentara. Fajar mulai menyapa. Ia membuka lembar berikutnya. Matanya
beradu pandang dengan sketsa sepasang tatapan mata yang lembut, berbinar, dan
tulus. Hatinya berdegup. Ingatannya kembali terperosok pada memori itu.
“Abang, tunggu Ara.” Sahutya
berlari-lari di halaman mengejarku. Terhitung enam bulan setelah perjumpaan
pertama Azam dengannya. Butuh waktu selama itu untuk mengubah mata sendunya
menjadi binar lembut yang tulus. Seperti pagi ini. Dan hari-hari berikutnya.
“Ayo Ra, kita sudah terlambat.”
Sejak saat itu, setiap hari mereka berangkat ke sekolah bersama. Dia di kelas 1
SMA, sedangkan Azam setingkat di atasnya. Setahun, dua tahun, dan tiga tahun
berlalu. Tiga tahun itu merangkum sejarah baru bagi mereka. Tak ada kebersamaan
di antara mereka sebelumnya. Hingga takdir mempertemukan. Mengukir kisah baru
dalam sudut memori, dalam bilik ruang hati yang tersembunyi. Di sana tumbuh
benih yang kian mengembang. Subur. Meski belum atau mungkin takkan pernah
terjelaskan di antara mereka.
‘Selamat malam. Mimpi indah, Ara.’ Ia menutup percakapan via
sms nya.
Hening
Tak ada balasan.
‘Mungkin sudah tidur.’ Ucapnya dalam hati. Ia meletakkan hp-nya.
Meraih kuas dan menggoreskan cat dalam kanvas yang sedari tadi di hadapannya.
Sedari kecil ia memang sangat suka melukis. Hingga ia pun kuliah mengambil
jurusan seni rupa. Jurusan yang disarankan oleh Zahra. Sosok yang diam-diam
menjadi begitu penting baginya.
Ini tahun pertama ia menimba ilmu di perantauan. Namun sudah banyak
karya yang dihasilkan. Entah, ini yang keberapa. Yang jelas objek lukisannya
berubah. Sejak tiga tahun yang lalu, ia lebih suka melukis sepasang mata dengan
berbagai ekspresi. Sendu, berbinar, tulus, berkaca-kaca, dan banyak ekspresi
lain yang menggambarkan perasaan dari pemilik sepasang mata itu. Pemilik sepasang
mata yang diam-diam menjelma menjadi muse, inspirasi baginya. Ia sering
mengikut sertakan karyanya di pameran. Karyanya dengan objek tak lazim itu lebih
banyak menarik minat pengunjung. Tak sedikit lukisannya yang terjual dengan
harga yang cukup mahal.
###
Ia mendesah pelan. Lembar demi lembar ia buka kembali. Perih memang.
Seperti membuka luka lama. Namun ia bertekad, berusaha berdamai. Ia sampai pada
lembar kesepuluh. Goresan sketsanya. Sepasang tangan lentik yang menggenggam
sebuah kado. Ingatannya kembali tenggelam pada memori silam.
Kala itu senja mulai menyapa. Ara sedang duduk di taman rumah.
Membaca buku yang sejak satu jam lalu
berada dalam genggamannya. Sesekali ia menyandarkan punggung di sandaran kursi
dan menatap gemercik air yang mengalir di kolam ikan.
“A, Ara.” Sahut Azam tergagap dengan kedua telapak tangan yang
tersembunyi di balik punggungnya.
“Eh, Bang Azam. Ada apa bang?” Jawabnya seraya menoleh. Mengalihkan
pandangannya dari buku yang sedari tadi mengalihkan dunianya. Demi menjawab
sapaan itu. Sapaan dari orang yang lambat laun menjadi begitu penting baginya.
Azam bergeming. Bimbang. Mana yang akan ia berikan. Kedua-duanya kah?
“Abang? Ada apa?” Sergah Ara yang bingung dengan sikap kakaknya.
“Eh, Selamat ulang tahun Ara.” Ucapnya seraya mengulurkan tangan
kanannya yang menggenggam kado bersampul hijau, warna kesukaan Zahra. Sementara
yang ada di genggaman tangan kirinya ia selipkan kembali ke dalam sakunya. Tertahan,
lagi. Entah, ini kali keberapa ia gagal memberikan apa yang ada digenggamannya
itu. Selalu saja. Ia tak mampu.
“Abang..., berapa kali Ara bilang? Ara tidak suka merayakan hari
ulang. Nggak penting. Bukan dunia Ara.” Ceracau Zahra.
“Aih, siapa juga yang ngerayain? Abang kan cuma mau ngasih kado ke kamu. Kalo nggak mau
ya udah.” Sambung Azam dengan berpura-pura memasang wajah jutek sambil menarik kembali
uluran tangannya yang segera disambar oleh Ara.
“Eh, kan udah dikasihkan ke Ara. Mana boleh diambil lagi?” Sanggahnya
sambil tertawa memamerkan gigi singsul dan lesung pipitnya.
Ah, demi melihat senyumnya itu. Siapa yang tak luruh?
###
Perih. Semakin ia membuka lembar demi lembar itu. Semakin ia
merasakan perihnya. Tapi ia tak mau berhenti. Ia harus bisa berdamai. Sekali
lagi. Ia buka lembar berikutnya. Siluet wajah yang mengenakan toga dengan
senyuman indah itu. Senyuman yang mengisi bilik ruang separuh hatinya. Tepat,
bersamaan dengan kabar yang meluluh lantakkan impiannya dan hampir menenggelamkan kehidupannya. Memori
terberat yang sangat ingin ia lupakan. Namun kali ini, ia memaksa diri untuk
kembali menyelami memori itu. Mencoba berdamai.
Seminggu setelah acara wisuda Zahra di Malang. Ia telah menyelesaikan
pendidikan D3nya. Matahari telah lama tergelincir. Namun ia tetap tak beranjak.
Setia menggores kuasnya di atas kanvas. Ia sedang menyelesaikan lukisannya yang
akan dia hadiahkan kepada Zahra. Jika selama ini ia hanya melukis bagian tak
utuh, entah mata, tangan, atau sebuah senyuman. Kali ini ia melukis wajah
penuh. Wajah dengan mata yang berbinar tulus dan senyum lesung pipit miliknya.
Ia berencana untuk memberitahu Zahra bahwa ia adalah muse yang selama
ini ia ceritakan kepadanya. Inspirator bagi karya-karyanya yang selama ini ia
rahasiakan. Ia pun berencana memberikan amplop bersampul hijau itu yang
berulang kali ia gagal memberikan kepadanya. Amplop berisi surat yang
mengungkap semua isi hatinya, yang ia pendam enam tahun lamanya. Hingga hp yang sedari tadi tergeletak di
sampingnya berdering.
‘Abang. Apa Ayah sudah cerita ke Abang?’
‘Cerita apa Ra?’ Balasnya sambil
mengernyitkan dahi.
‘Ayah menjodohkan Ara dengan anak sahabat Ayah. Bulan
depan. Ara harus bagaimana?’
Bagai tersambar petir. Palet cat lukis yang ada digenggamannya
terjatuh. Jika itu keputusan Ayahnya ia tak bisa apa-apa. Terlebih ia adalah
kakak bagi Ara. Setidaknya itulah yang orang-orang tahu. Bagaimana bisa ia
menentang keputusan ayahnya dan menjelaskan yang antara Azam dan Zahra pun tak
mampu saling menjelaskan. Ia tak tahu harus membalas apa.
‘Abang?’
Hening.
‘Ara harus bagaimana bang?’ Balasnya lagi.
Azam tak tahu atau mungkin takkan pernah tahu. Bahwa di sana pun ada
gelisah yang mendebarkan. Menanti penjelasan atas perasaan yang ia pendam sejak
enam tahun silam. Sama sepertinya. Ia pun tak mampu menjelaskannya. Hanya diam.
Membiarkannya bersemayam dan tumbuh subur di sudut hati. Tersembunyi. Tak
pernah terungkapkan.
Azam tak pernah tahu. Saat ini. di sana pun ada kegundahan.
Berkecamuk di hati yang meronta menuntut penjelasan. Namun sekali lagi. Hanya
hati yang berbicara. Seolah kata-kata itu kabur. Hanya air mata yang berbicara.
Mengalir deras seiring gejolak hati yang tak terungkap.
“Halo, Yah.” Ucap Azam tercekat di ujung telepon.
“Zam, kamu kenal Hanan
kan? Teman SMA-mu dulu. Dia melamar Zahra. Bagaimana menurutmu? Kau kan kenal
dekat dengan Hanan?”
Bagaimana bisa ia menjawab pertanyaan Ayahnya. Sekarang ia
benar-benar kehilangan daya. Ia terjatuh tersungkur dengan air mata tertahan.
“Di, Dia baik Yah. Ayah lebih tahu tentang dia. Dia baik untuk
Zahra.” Entah kenapa. Bagaimana bisa ia mengatakan hal itu? Tapi itu memang
benar. Hanan adalah sosok yang baik untuk Zahra. Berpendidikan dan beragama.
Selain itu ia juga hafidz. Dia jauh lebih pantas untuk Zahra. Kini, air matanya
benar-benar mengalir. Tak sanggup lagi ia membendungnya.
“Baiklah kalau begitu. Pulanglah bulan depan. Hanan dan keluarganya
akan datang ke rumah untuk melamar.”
Azam tak menjawab. Ia menutup teleponnya. Takut ayahnya mendengar
isak tangis tertahannya. Semenjak itu ia mematikan ponselnya hingga sebulan ke
depan. Sempurna. Ia menyerahkan Zahra kepada sahabatnya. Ia tergugu. Baru kali
ini ia menangis untuk seorang perempuan. Baru kali ini ia merasakan sakit yang
begitu dalam.
###
Saputan merah di ufuk semakin nampak. Fajar menyingsing. Azam telah sampai
pada lembar terakhir buku sketsa miliknya. Tak sadar, air matanya mengalir.
Luka itu benar-benar ternganga, kembali. Ia tak mampu berdamai. Ia belum bisa
menerima kenyataan itu. Hingga tiba-tiba saja sahutan itu terdengar. Sahutan
yang sangat ia kenal.
“Abang.”
Azam menoleh. Tak percaya. Zahra sedang berdiri di depannya. Menatap
sayu kepadanya. Bagaimana bisa? Seharusnya ia ada di rumah menanti kedatangan
keluarga Hanan untuk melamarnya.
“Abang kenapa tidak pulang?” Ucap Zahra yang kali ini diiringi dengan
derai air mata. Bulir bening itu jatuh mengalir melewati lesung pipitnya.
“Ka, kamu kenapa ada di sini?” Balas Azam tergagap.
Sebelum Zahra menjawabnya kedua orang tua Azam muncul dari balik
pagar kosnya.
“Pulanglah nak. Ayah sudah tahu semuanya.” Ayah Azam berkata sambil
memberikan buku sketsa milik Azam yang tertinggal di rumah.
“Pulanglah, bukan untuk perjodohan antara Zahra dan Hanan. Tapi kamu
dan Zahra.”
Azam benar-benar tak menduga. Ia memeluk Ayahnya dan tergugu. Zahra
pun semakin tergugu. Menangis dalam pelukan Ibu Azam yang juga turut menangis.
Bukan tangis derita yang selama ini Zahra dan Azam pendam. Tapi tangis bahagia.
Akhirnya cinta dalam diam itu pun dipersatukan dalam kisah yang tak terduga.
Cinta mereka berlabuh karena Allah.
0 komentar:
Posting Komentar