Kamis, April 14, 2016

CINTA MEREKA BERLABUH KARENA ALLAH

“CINTA MEREKA BERLABUH KARENA ALLAH”
Isma Az-Zaiinh
25-02-2016

             Fajar belum sempurna matang. Ia duduk di teras depan kosnya. Berselimutkan dingin yang menusuk hingga ke tulang. Namun itu tak seberapa dibandingkan dingin di hatinya yang membeku. Bersama memori yang bersusah payah ia kubur dalam-dalam.
Di tangannya  tergenggam buku sketsa miliknya yang telah menemaninya selama enam tahun terakhir. Di sana menyimpan jutaan memori dalam setiap goresan sketsanya. Memori enam tahun silam. Ia berusaha menggali kembali serpihan-serpihan memori yang tak sepenuhnya bisa ia kubur itu. Mencoba mencairkan kebekuan hatinya. Berdamai dengan pilihan terberat yang harus ia pilih.
Ia membuka lembar pertama. Ingatannya langsung terseret ke dalam memori enam tahun silam. Torehan sketsa berlatarkan pagar kayu. Sesosok gadis berbalut jilbab hitam lebar dengan pandangan mata sendu. Ada sejuta guratan kesedihan di sana. Tangan kirinya menenteng tas punggung yang terlihat berat dan tangan kanannya menggenggam erat tangan ayah Azam. Ia baru saja kehilangan kedua penopang hidupnya. Anak dari sahabat kecil  ayah Azam. Itulah kali pertama ia berjumpa dengannya. Hingga sejak itu, ia resmi menjadi adik angkat bagi Azam. Zahra namanya.
###
Dingin udara fajar masih terasa. Di ufuk timur mulai terlihat saputan mega yang tak kentara. Fajar mulai menyapa. Ia membuka lembar berikutnya. Matanya beradu pandang dengan sketsa sepasang tatapan mata yang lembut, berbinar, dan tulus. Hatinya berdegup. Ingatannya kembali terperosok pada memori itu.
            “Abang, tunggu Ara.” Sahutya berlari-lari di halaman mengejarku. Terhitung enam bulan setelah perjumpaan pertama Azam dengannya. Butuh waktu selama itu untuk mengubah mata sendunya menjadi binar lembut yang tulus. Seperti pagi ini. Dan hari-hari berikutnya.
            “Ayo Ra, kita sudah terlambat.” Sejak saat itu, setiap hari mereka berangkat ke sekolah bersama. Dia di kelas 1 SMA, sedangkan Azam setingkat di atasnya. Setahun, dua tahun, dan tiga tahun berlalu. Tiga tahun itu merangkum sejarah baru bagi mereka. Tak ada kebersamaan di antara mereka sebelumnya. Hingga takdir mempertemukan. Mengukir kisah baru dalam sudut memori, dalam bilik ruang hati yang tersembunyi. Di sana tumbuh benih yang kian mengembang. Subur. Meski belum atau mungkin takkan pernah terjelaskan di antara mereka.
Selamat malam. Mimpi indah, Ara.’ Ia menutup percakapan via sms nya.
Hening
Tak ada balasan.
‘Mungkin sudah tidur.’ Ucapnya dalam hati. Ia meletakkan hp-nya. Meraih kuas dan menggoreskan cat dalam kanvas yang sedari tadi di hadapannya. Sedari kecil ia memang sangat suka melukis. Hingga ia pun kuliah mengambil jurusan seni rupa. Jurusan yang disarankan oleh Zahra. Sosok yang diam-diam menjadi begitu penting baginya.
Ini tahun pertama ia menimba ilmu di perantauan. Namun sudah banyak karya yang dihasilkan. Entah, ini yang keberapa. Yang jelas objek lukisannya berubah. Sejak tiga tahun yang lalu, ia lebih suka melukis sepasang mata dengan berbagai ekspresi. Sendu, berbinar, tulus, berkaca-kaca, dan banyak ekspresi lain yang menggambarkan perasaan dari pemilik sepasang mata itu. Pemilik sepasang mata yang diam-diam menjelma menjadi muse, inspirasi baginya. Ia sering mengikut sertakan karyanya di pameran. Karyanya dengan objek tak lazim itu lebih banyak menarik minat pengunjung. Tak sedikit lukisannya yang terjual dengan harga yang cukup mahal.
###
Ia mendesah pelan. Lembar demi lembar ia buka kembali. Perih memang. Seperti membuka luka lama. Namun ia bertekad, berusaha berdamai. Ia sampai pada lembar kesepuluh. Goresan sketsanya. Sepasang tangan lentik yang menggenggam sebuah kado. Ingatannya kembali tenggelam pada memori silam.
Kala itu senja mulai menyapa. Ara sedang duduk di taman rumah. Membaca buku yang sejak satu jam  lalu berada dalam genggamannya. Sesekali ia menyandarkan punggung di sandaran kursi dan menatap gemercik air yang mengalir di kolam ikan.
“A, Ara.” Sahut Azam tergagap dengan kedua telapak tangan yang tersembunyi di balik punggungnya.
“Eh, Bang Azam. Ada apa bang?” Jawabnya seraya menoleh. Mengalihkan pandangannya dari buku yang sedari tadi mengalihkan dunianya. Demi menjawab sapaan itu. Sapaan dari orang yang lambat laun menjadi begitu penting baginya.
Azam bergeming. Bimbang. Mana yang akan ia berikan. Kedua-duanya kah?
“Abang? Ada apa?” Sergah Ara yang bingung dengan sikap kakaknya.
“Eh, Selamat ulang tahun Ara.” Ucapnya seraya mengulurkan tangan kanannya yang menggenggam kado bersampul hijau, warna kesukaan Zahra. Sementara yang ada di genggaman tangan kirinya ia selipkan kembali ke dalam sakunya. Tertahan, lagi. Entah, ini kali keberapa ia gagal memberikan apa yang ada digenggamannya itu. Selalu saja. Ia tak mampu.
“Abang..., berapa kali Ara bilang? Ara tidak suka merayakan hari ulang. Nggak penting. Bukan dunia Ara.” Ceracau Zahra.
“Aih, siapa juga yang ngerayain? Abang kan  cuma mau ngasih kado ke kamu. Kalo nggak mau ya udah.” Sambung Azam dengan berpura-pura memasang wajah jutek sambil menarik kembali uluran tangannya yang segera disambar oleh Ara.
“Eh, kan udah dikasihkan ke Ara. Mana boleh diambil lagi?” Sanggahnya sambil tertawa memamerkan gigi singsul dan lesung pipitnya.
Ah, demi melihat senyumnya itu. Siapa yang tak luruh?
###
Perih. Semakin ia membuka lembar demi lembar itu. Semakin ia merasakan perihnya. Tapi ia tak mau berhenti. Ia harus bisa berdamai. Sekali lagi. Ia buka lembar berikutnya. Siluet wajah yang mengenakan toga dengan senyuman indah itu. Senyuman yang mengisi bilik ruang separuh hatinya. Tepat, bersamaan dengan kabar yang meluluh lantakkan impiannya dan  hampir menenggelamkan kehidupannya. Memori terberat yang sangat ingin ia lupakan. Namun kali ini, ia memaksa diri untuk kembali menyelami memori itu. Mencoba berdamai.
Seminggu setelah acara wisuda Zahra di Malang. Ia telah menyelesaikan pendidikan D3nya. Matahari telah lama tergelincir. Namun ia tetap tak beranjak. Setia menggores kuasnya di atas kanvas. Ia sedang menyelesaikan lukisannya yang akan dia hadiahkan kepada Zahra. Jika selama ini ia hanya melukis bagian tak utuh, entah mata, tangan, atau sebuah senyuman. Kali ini ia melukis wajah penuh. Wajah dengan mata yang berbinar tulus dan senyum lesung pipit miliknya. Ia berencana untuk memberitahu Zahra bahwa ia adalah muse yang selama ini ia ceritakan kepadanya. Inspirator bagi karya-karyanya yang selama ini ia rahasiakan. Ia pun berencana memberikan amplop bersampul hijau itu yang berulang kali ia gagal memberikan kepadanya. Amplop berisi surat yang mengungkap semua isi hatinya, yang ia pendam enam tahun lamanya.  Hingga hp yang sedari tadi tergeletak di sampingnya berdering.
‘Abang. Apa Ayah sudah cerita ke Abang?’
‘Cerita apa Ra?’ Balasnya sambil mengernyitkan dahi.
‘Ayah menjodohkan Ara dengan anak sahabat Ayah. Bulan depan. Ara harus bagaimana?’
Bagai tersambar petir. Palet cat lukis yang ada digenggamannya terjatuh. Jika itu keputusan Ayahnya ia tak bisa apa-apa. Terlebih ia adalah kakak bagi Ara. Setidaknya itulah yang orang-orang tahu. Bagaimana bisa ia menentang keputusan ayahnya dan menjelaskan yang antara Azam dan Zahra pun tak mampu saling menjelaskan. Ia tak tahu harus membalas apa.
‘Abang?’
Hening.
‘Ara harus bagaimana bang?’ Balasnya lagi.
Azam tak tahu atau mungkin takkan pernah tahu. Bahwa di sana pun ada gelisah yang mendebarkan. Menanti penjelasan atas perasaan yang ia pendam sejak enam tahun silam. Sama sepertinya. Ia pun tak mampu menjelaskannya. Hanya diam. Membiarkannya bersemayam dan tumbuh subur di sudut hati. Tersembunyi. Tak pernah terungkapkan.
Azam tak pernah tahu. Saat ini. di sana pun ada kegundahan. Berkecamuk di hati yang meronta menuntut penjelasan. Namun sekali lagi. Hanya hati yang berbicara. Seolah kata-kata itu kabur. Hanya air mata yang berbicara. Mengalir deras seiring gejolak hati yang tak terungkap.
“Halo, Yah.” Ucap Azam tercekat di ujung telepon.
“Zam, kamu kenal Hanan kan? Teman SMA-mu dulu. Dia melamar Zahra. Bagaimana menurutmu? Kau kan kenal dekat dengan Hanan?”
Bagaimana bisa ia menjawab pertanyaan Ayahnya. Sekarang ia benar-benar kehilangan daya. Ia terjatuh tersungkur dengan air mata tertahan.
“Di, Dia baik Yah. Ayah lebih tahu tentang dia. Dia baik untuk Zahra.” Entah kenapa. Bagaimana bisa ia mengatakan hal itu? Tapi itu memang benar. Hanan adalah sosok yang baik untuk Zahra. Berpendidikan dan beragama. Selain itu ia juga hafidz. Dia jauh lebih pantas untuk Zahra. Kini, air matanya benar-benar mengalir. Tak sanggup lagi ia membendungnya.
“Baiklah kalau begitu. Pulanglah bulan depan. Hanan dan keluarganya akan datang ke rumah untuk melamar.”
Azam tak menjawab. Ia menutup teleponnya. Takut ayahnya mendengar isak tangis tertahannya. Semenjak itu ia mematikan ponselnya hingga sebulan ke depan. Sempurna. Ia menyerahkan Zahra kepada sahabatnya. Ia tergugu. Baru kali ini ia menangis untuk seorang perempuan. Baru kali ini ia merasakan sakit yang begitu dalam.
###
Saputan merah di ufuk semakin nampak. Fajar menyingsing. Azam telah sampai pada lembar terakhir buku sketsa miliknya. Tak sadar, air matanya mengalir. Luka itu benar-benar ternganga, kembali. Ia tak mampu berdamai. Ia belum bisa menerima kenyataan itu. Hingga tiba-tiba saja sahutan itu terdengar. Sahutan yang sangat ia kenal.
“Abang.”
Azam menoleh. Tak percaya. Zahra sedang berdiri di depannya. Menatap sayu kepadanya. Bagaimana bisa? Seharusnya ia ada di rumah menanti kedatangan keluarga Hanan untuk melamarnya.
“Abang kenapa tidak pulang?” Ucap Zahra yang kali ini diiringi dengan derai air mata. Bulir bening itu jatuh mengalir melewati lesung pipitnya.
“Ka, kamu kenapa ada di sini?” Balas Azam tergagap.
Sebelum Zahra menjawabnya kedua orang tua Azam muncul dari balik pagar kosnya.
“Pulanglah nak. Ayah sudah tahu semuanya.” Ayah Azam berkata sambil memberikan buku sketsa milik Azam yang tertinggal di rumah.
“Pulanglah, bukan untuk perjodohan antara Zahra dan Hanan. Tapi kamu dan Zahra.”

Azam benar-benar tak menduga. Ia memeluk Ayahnya dan tergugu. Zahra pun semakin tergugu. Menangis dalam pelukan Ibu Azam yang juga turut menangis. Bukan tangis derita yang selama ini Zahra dan Azam pendam. Tapi tangis bahagia. Akhirnya cinta dalam diam itu pun dipersatukan dalam kisah yang tak terduga. Cinta mereka berlabuh karena Allah. 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About