Senin, Februari 24, 2014

BEBAS


Perjumpaan dengan Guru Mulia
Oleh: Isma Az-Zaiinh

Sabtu sore, 23 November 2013 adalah detik-detik penantian perjalanan menuju Jakarta untuk bertemu guru mulia Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz pimpinan Ma’had Darul Musthafa dan Daru Zahro Tarim, Hadramaut, Yaman. Sungguh saat-saat yang mendebarkan. Mungkin seperti itulah rasanya menanti perjumpaan dengan seorang kekasih. Bergemuruh rasanya hati ini. Lantunan sholawat tak henti berkejaran dengan nafas yang kian memburu. Sholallahala Muhammad... Sholallahala Muhammad...
Semilir angin malam mengantarkan perjalanan kami ke Banyumanik, rumah Ustadzah Nina, tempat kami berkumpul. Kami menaiki taksi dalam keheningan. Hanya suara hati kami yang berucap. Mengungkapkan perasaan masing-masing dan masih tetap dalam hati yang bergemuruh. Aku, Eva Muzdalifah, Ana Kurniati, dan Ratih Triana Purbayanti melayangkan pikiran masing-masing. Entah mungkin angan kami telah sampai di Jakarta sana. Memandang penuh cinta pada guru mulia Al Habib Umar.
Alhamdulillah, sampai di rumah Ustadzah Nina. Ya Rabb, hati ini tetap bergemuruh, tapi perjalanan belum dimulai. Kami sholat Isya berjama’ah kemudian berkumpul dengan wajah-wajah perindu Dzurriyat Rasulullah. Wajah-wajah tanpa prasangka. Subhanallah, selalu kuperoleh ketenangan yang tak kudapat dalam majelis lain selain berkumpul dengan mereka. Wajah-wajah yang mengajarkanku untuk senantiasa husnudzon kepada Allah dan makhluk-makhluk Allah.
‘Ayush’, bidadari kecil yang berbahasa ‘amiyah. Cantik jelita berceloteh dengan bahasa yang sebagian besar tak mampu kupahami. Kumau berbetah-betah bercengkrama dengannya. Menyenangkan dan bisa sekalian praktek berbahasa Arab.
Waktu pun mengingatkan rombongan kami untuk segera bergegas menuju bis dan mulai meluncur menuju Jakarta. Bismillah. Setengah tak percaya kuberkata dalam hati, aku akan ke Jakarta, bertemu kekasih Allah, kekasih hati.
Perjalanan kami awali dengan pembacaan Ratibul Haddad bersama. Subhanallah. Syahdunya malam ini. Lantunan shalawat Habib Syeh mengiringi perjalanan kami bersama kerlap-kerlip lampu malam. Gemuruh hati pun tak mau pergi.
Pukul 04:00, Ahad, 24 November 2013, kami transit di sebuah pom bensin. Subhanallah. Sudah sampai Jakarta. Kami pun bergegas untuk sholat subuh berjama’ah. Pukul 05:00 tepat kami melajutkan perjalanan. Lantunan Wirdul Lathif menemani perjalanan kami dalam curahan cahaya fajar yang lembut. Damai sekali rasanya. Usai kami melantunkan Wirdul Lathif, untaian siraman rohani Aa Gym pun mengiringi perjalanan kami. Menyejukkan.
Alhamdulillah. Sampai di penginapan Al Habsyi. Kami disambut hangat oleh tuan rumah. Segera kami menuju kamar dan bersih-bersih diri. Aku dan teman-teman dapat kamar di lantai dua. Kusempatkan diri tuk menikmati suasana pagi. Menghirup sejuk udara pagi yang sedikit mendung. Bertafakur, subhanallah wal hamdulillah telah sampai di Jakarta, semakin dekat dengan Habibana. Sekali lagi kuberucap dalam hati tak percaya. Alhamdulillah.
Pukul 08:30 kami menuju Cidodol untuk menghadiri Haul Fakhrul Wujud Syaikh Abu Bakar bin Salim yang dihadiri oleh Habibana Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz. Panasnya mentari ibu kota tak menyurutkan kami untuk melangkahkan kaki bergabung dengan jama’ah lain yang telah lebih dulu sampai. Subhanallah, ketika Habibana Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz melantunkan kalam-kalam penuh hikmah seketika itu angin berhembus menghalau panas yang sedari tadi cukup menggelisahkan. Bahkan bukan hanya itu, rintik-rintik gerimis kecil pun mulai turun seolah bertasbih menyambut kalam lembut dari beliau. Ya Rabb, cucuran air mata tak henti mengalirkan derai-derai penuh mahabbah kepada Habibana. Sejuknya hati ini, terucap dalam hati bersama luruhnya air mata yang seakan tak ingin terhenti, uhibbu ilaik....uhibbu ilaik... ya Habibana... T.T
Masih dalam selimut mendung dan rintik yang mulai tak kentara, kami beranjak menuju ke penginapan. Melaksanakan sholat dhuhur dan asar yang dijamak taksir karena sekitar jam dua nanti kami akan menuju Ma’had Al Fachriyah Guru Mulia Al Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan bin Syech Abi Bakar di Ciledug, Tangerang Selatan. Serombongan abaya hitam berpadu jilbab hitam dan sebagian ada yang bercadar melangkah gesit seusai turun dari bus. Melalui perumahan yang cukup ramai dan sampailah kami di Ma’had Al Fachriyah. Ya Rabb, penghuni-penghuni yang kucintai, kumencintai mereka keluarga Rasulullah SAW, kumencintai mereka yang mencintai Rasulullah SAW. Subhanallah, semua kulihat wajah-wajah teduh itu dibalut dengan jilbab dan cadar hitam. Ya Rabb, aku tak ingin pulang.
Kami masuk duduk bersama jama’ah lain, alhamdulillah rombongan kami mendapat tempat di dalam ruangan berkumpul bersama syarifah-syarifah, bersama ustadzah-ustadzah. Subhanallah, di sana pun an bertemu ustadzah-ustazadhku yang dari Tegal, ustadzah Fathimah bin Jindan istri Habib Abdullah Al-Haddad, ustadzah Karimah istri Habib Mahdi Al-Hiyed, ustadzah Zakiyah istri Habib Thoha, ustadzah Sakinah, dan ustadzah Khodijah, adik dari ustadzah Karimah yang akan melangsungkan akad nikah disaksikan oleh Guru Mulia Habibana Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz . Ya Rabb, kebahagiaan yang berlipat-lipat, mengobati rindu yang menyesakkan hati kepada beliau-beliau bidadari-bidadari bumi yang berwajah teduh. ‘uhibbu ilaik..., uhibbu ilaik,,,’ rintih hatiku dan masih dalam cucuran air mata yang tak terbendung. Ya Rabb, memandangnya saja mampu menyejukkan hati ini. Bagaimana tidak,  jiwa dan hati ini senantiasa merindukan perjumpaan dengan beliau-beliau, hati-hati yang lembut, hati-hati yang bersinar. Tausiyah dari beliau para habaib bagai percikan air di tengah sahara, menyejukkan, terlebih kalam beliau Habibana Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz, tak kuasa air mata ini tak mengalir, memandang penuh cinta pada beliau, qith’ah (potongan) dari wajah Nabi Muhammad SAW. Subahanallah, jiwa dan hati kami sungguh diliputi cinta, mahabbah, kepada beliau-beliau kekasih Allah, kepada beliau yang memancarkan cahaya-cahaya Allah dan Rasulullah. Ya Rabb, kurasakan kenikmatan yang sangat berada dalam tempat ini, berkumpul, duduk bersama, memandang wajah-wajah teduh itu, wajah yang mengingatkanku kepada kekasih hati, Habinana Nabi Muhammad SAW.
Ceramah beliau diakhiri kemudian dilanjut shalat maghrib yang dijamak dengan sholat isya. Khusus bagi akhwat tak langsung bubar melainkan duduk bersimpuh melingkari menghadap wajah teduh, wajah mulia Hababah Nur istri Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz. Merugi sekali mereka yang pulang terlebih dahulu. Bersyukur kami yang mengikuti rombongan ustadzah Alina Al Munawwar. Selain kami mendapat tempat di ruangan bersama para syarifah, kami pun dapat duduk bersimpuh begitu dekatnya dengan beliau Guru Mulia Hababah Nur. Bahkan kami pun bisa mencium ta’dzim tangan mulia beliau dan tentunya dengan linangan air mata cinta yang tak terbendung. Bukan hanya itu, kami pun mendapat air do’a dari beliau yang kami bawa pulang dengan begitu hati-hatinya seolah harta berharga yang tak ingin kami kehilangannya. Lantunan-lantunan kalam lembut beliau limpahkan kepada kami. Deret demi deret kami tulis amalan-amalan yang beliau berikan kepada kami. Diantaranya cara memperkuat iman, yaitu dengan menjaga wudhu, sholat jama’ah, sholat dhuha, sholat taqwiyatul iman, meninggalkan hawa nafsu, dan tafakur. Selain itu beliau Guru Mulia juga mengamanatkan kami untuk menjaga empat waktu yang penuh barokah, yaitu sebelum maghrib, setelah maghrib, sebelum subuh, dan sesudah subuh. Akhirnya ceramah beliau pun diakhiri dengan pemberian ijazah kepada kami untuk meneruskan dakwah. Ya Rabb, bergemuruh rasanya hati ini kala kami bersama-sama mengucap ‘qobilna ijazah...’
Kami pun bertolak menuju penginapan Al-Habsyi dengan perasaan campur aduk, senang karena bisa berjumpa dengan beliau Guru Mulia, sedih karena harus berpisah dan melepas wajah teduh itu dari pandangan. Ya Rabb, an tak ingin pulang...
Sesampainya di penginapan kami langsung rebah, melepas lelah karena hampir tak ada waktu untuk kami bersantai-santai, namun lelah ini adalah lelah yang menyenangkan. Sangat menyenangkan. Bismillah, kuatkanlah hamba yang lemah ini ya Rabb...
Esok hari, Senin, 25 November 2013, bersama terbitnya mentari yang bergegas kami pun tak kalah bersemangat, seolah berkejaran dengan detik jarum jam yang bergulir. Sungguh, gemuruh hati pun semakin dahsyat. Sebentar lagi kami akan berziarah ke maqbarah Guru Mulia Al Habib Munzir bin Fu’ad Al Musawa. Ya Rabb, benar-benar berkah sebuah wasilah, kuberada dalam rombongan orang-orang mulia, beliau Ustadzah Alina Al Munawwar dan Ustadzah Muna Al Munawwar, dzuriyat Rasulullah. Ziarah ini diakhiri dengan nasihat-nasihat dari Ustadzah Alina Al Munawwar ang membuat air mata ini enggan untuk kami bendung. Sebelum kami meninggalkan maqbarah beliau kami sempatkan satu per satu dari kami mencium ta’dzim kubah beliau yang diawali oleh ustadzah Alina Al Munawwar. Subhanallah, suasana haru menyelimuti hati-hati yang merindukan beliau, kekasih Allah, Al Habib Munzir bin Fu’ad Al Musawa.
Perjalanan kami lanjutkan menuju kediaman beliau Al Habib Munzir bin Fu’ad Al Musawa. Kumelangkahkan kaki masuk menuju rumah beliau, penuh keteduhan. Di tempat ini Allah pun mempertemukan kami kembali dengan guru kami, ustadzah Fatimah bin Jindan. Ya Rabb, kuberada dikediaman orang mulia, dikediaman orang yang kucinta, dikediaman kekasih Allah, sekali lagi, tak mungkin kubisa berada di sini jika bukan karena wasilah. Ya Rabb, dekatkanlah hamba dengan orang-orang yang Engkau cintai. Amiiiin....
Kami mengikuti majelis dzikir beliau Hababah Khodijah, sitri Al Habib Munzir bin Fu’ad Al Musawa yang dilanjut dengan nasehat-nasehat dan cerita mengenai Al Habib Munzir bin Fu’ad Al Musawa dari beliau Hababah Khodijah. Sungguh, air mata mengalir mengiringi kisah-kisah beliau. Mewakili bulir-bulir kerinduan yang kian deras kepada beliau kekasih hati, Al Habib Munzir bin Fu’ad Al Musawa. Diantara kalam-kalam mulia beliau, beliau mengatakan bahwa menzirahi rumah ‘auliya lebih afdhol daripada menziarahi maqbarohnya karena rumah ‘auliya adalah tempat naiknya amal ibadah. Alhamdulillah, Allah memberi kesempatan kepada kami untuk menziarahi maqbaroh beliau dan kediaman beliau Al Habib Munzir bin Fu’ad Al Musawa. Sungguh, kebahagiaan yang tak mampu kami ungkapkan dengan kata-kata, hanya air mata cinta yang mampu menggambarkan betapa hati kami memendam buncah rindu yang teramat sangat kepada beliau, kekasih Allah, Al Habib Munzir bin Fu’ad Al Musawa. Lagi-lagi, perjumpaan kami dengan beliau Hababah Khodijah diakhiri dengan ijazah sholawat yang paling sering Al Habib Munzir bin Fu’ad Al Musawa lantunkan, yakni shalawat yang diajarkan Nabi Muhammad Saw kepada beliau lewat mimpi, yaitu: "ALLAHUMMA SHALLI ALA SAYYIDINA MUHAMMAD WA ALIHI WA SHAHBIHI WASALLIM ". Shalawat ini beliau baca 5.000x setiap harinya. Dengan gemuruh hati yang tak mau lepas dan cucuran air mata yang tak mau berhenti, kami serempak mengucapkan ‘qobilna ijazah...’
            Dalam lalu lintas yang padat bus yang membawa kami pun terus merangkak berkejaran dengan waktu yang mulai mengisyaratkan mentari akan segera lingsir. Kami berniat untuk menjamak ta’khir sholat dhuhur. Perjalanan kami lanjutkan menuju majelis yang akan dihadiri oleh Guru Mulia Hababah Nur. Alhamdulillah, sampai. Kami disambut dengan ramahnya oleh wajah-wajah teduh berbalut abaya dan cadar hitam. Kami duduk, mendengarkan kalam demi kalam penuh nasihat dan sarat ilmu, meski sebentar, namun menyejukkan dan berbekas di hati, ‘Jika kau tak mampu mencium tangan para ‘auliya, cukuplah kau pandangi dengan pandangan cinta, bi nadzor, dan jika kau tak mampu memandang para ‘auliya padanglah wajah orang yang memandang para ‘auliya’.
            Kami kembali bertolak menuju penginapan Al Habsyi, persiapan untuk ke Monas, acara Majelis Rasulullah Saw. Ya Rabb, detik-detik inilah yang paling mendebarkan, sungguh, tubuh ini bergetar menanti detik-detik berkumpul bersama para hati perindu Rasulullah Saw. Menghadiri pembacaan maulid terbesar di dunia. Segalanya kami persiapan untuk acara puncak ini, ingin bertemu dengan kekasih hati, ingin datang dengan keadaan yang sebaik-baiknya, sesempurna-sempurnanya. Tak ingin segala sesuatunya terlewatkan. Semuanya dari kami mengenakan abaya hitam dan cadar hitam, sebagian besar bercadar sebelum berangkat, tak terkecuali aku. Ya Rabb, syukur wal hamdulillah Engkau memperkenankan kami untuk hadir dalam majelis mulia ini, Majelis Rasulullah Saw. Lagi-lagi kubersyukur dengan barokah wasilah. Rombongan kami datang terlambat, sekitar pukul 20.00 kami baru berangkat dari penginapan menuju Monas. Namun setiba di sana rombongan kami dipersilahkan duduk di depan. Ya Rabb, lagi-lagi barokah wasilah, beliau guruku, kekasihku, Ustadzah Alina Al Munawwar dan Ustadzah Muna Al Munawwar. Jika tanpa wasilah hamba tak ada apa-apanya, meski berangkat dari pagi hamba tetap akan berada di kerumunan belakang, tak dapat memandang wajah Guru Mulia. Mungkin kiranya inilah gambaran padang mahsyar, kata guruku, Ustadzah Muna Al Munawwar suatu kala di majelis Al Batul yang aku dan teman-teman hadiri setiap hari ahad kedua dan ahad keempat di Madrasah Al Munawwar Kauman, Johar, Semarang. Jika tanpa wasilah, kita tak ada apa-apanya diantara seluruh umat manusia. Namun dengan wasilah kita akan mudah mencari beliau Rasulullah Saw untuk memohon syafa’at, meski kita dibangkitkan dari kubur paling akhir. Ya Rabb, jadikanlah hamba insan yang mencintai keluarga Rasulullah Saw, sehingga dengan cintanya akan membawa kami kepada cintaMu Ya Rabb....
            Subhanallah, sungguh skenario Allah begitu indah, di tengah-tengah lautan manusia itu Allah mempertemukan kami kembali dengan guru kami, Ustadzah Fatimah bin Jindan dan Ustadzah Karimah. Ya Rabb, kucium ta’dzim tangan mulia guru yang amat kucintai itu. Sungguh, air mata ini tak mau berhenti sejak pertama kami duduk bersimpuh menikmati alunan sholawat dan maulid. Subhanallah, sungguh terjadi lagi, kala Guru Mulia Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz memulai kalam mulianya, angin datang berhembus membawa kesejukan menelisik hingga ke relung hati yang memendam rindu ini. Langit pun menjadi benderang seolah datang sebuah cahaya yang turut memuliakan majelis mulia ini, Majelis Rasulullah Saw. Ya Rabb, sungguh syahdu malam ini, penuh kenikmatan cinta kepada beliau kekasih Rasulullah, kekasih Allah...
            Tak terasa acara ini berakhir, ‘kenapa begitu cepat? Benarkah telah berakhir?’ ucapku membatin. ‘aku belum ingin pulang, aku tak ingin pulang, masih ingin di sini, di tempat penuh cinta, masih ingin memandang wajah beliau Guru Mulia...’ Hati ini terasa sakit kala bus itu membawa Guru Mulia menjauh, perih terasa seiring pandangan yang tak mau aku lepaskan dari memandang wajah teduh itu, wajah kelembutan itu, wajah penuh cinta itu, wajah qith’ah Rasulullah SAW... hati ini merintih ‘uhibbu ilaik, uhibbu ilaik, uhibbu ilaik ya Habibiy...’ :’(

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About