Satu Burung di Tangan Lebih Berharga daripada
Seribu Burung di Angkasa
Oleh: Isma Az-Zaiinh
Rabu, 19 Februari 2014 aku dan kakakku pergi
ke salah satu super market di kota Tegal. Setelah memarkirkan motor kami pun
berjalan beriringan masuk ke super market. Bingung mau mulai dari mana.
Akhirnya kami pun naik lift dan langsung ke lantai atas. Aku pun berinisiatif mengajak
kakakku ke toko buku yang ada di super market itu. Kesalahan pertama, yaitu
kami pergi tanpa tujuan, akhirnya kami pun bingung apa yang akan kami beli.
Setelah muter-muter sekitar satu jam, lihat sana, lihat sini kemudian
pandanganku pun tertumbuk pada sebuah jam tangan mungil berwarna putih dengan
tali kecil. Cantik. Ada daun kecil di samping jarum jam itu yang membuatnya
terlihat lebih cantik. Setelah meminta persetujuan kakak akhirnya aku pun
membeli jam tangan itu. Kami pun berjalan ke kasir dan terjadilah trouble.
Jam tangan itu tak terdeteksi harganya, kami pun menunggu lama. Jenuh juga
kemudian kakakku bilang, “Cancel aja deh, nyari di tempat lain juga banyak.” Kesalahan
kedua, entah kenapa dengan patuhnya aku pun mengikuti sarannya. Kami bertolak
ke super market lain. Setelah satu jam mencari, nihil. aku tidak menemukan yang
lebih bagus atau setidaknya sama bagus. Aku pun mengajak kakakku kembali ke
saper market yang tadi tapi kakakku tidak mau. Kami pun pulang. Akhirnya
sepanjang jalan aku menyesali kenapa tadi tidak beli saja jam tangan itu.
Kejadian ini mengingatkanku tetang sebuah
kisah. Suatu hari ada seorang kyai yang menyuruh kepada santrinya untuk
mengambil bunga yang paling indah di sebuah taman, tapi syaratnya santri
tersebut tidak boleh berbalik arah. Kemudian santri itu melaksanakan perintah
sang kyai dan kembali ke kyai tersebut dengan tangan kosong. Sang kyai pun
bertanya kenapa ia tak membawa bunga. Santri itu menjawab, “Saya sudah
menemukan bunga yang paling indah, namun saya tidak langsung mengambilnya, saya
terus berjalan barangkali di depan sana saya menemukan yang lebih indah. Tetapi
saya tak menemukan bunga yang seindah bunga itu.”
Dari kisah ini kita bisa melihat bagaimana
sifat manusia itu tidak mudah puas. Selalu ingin mengharap lebih. Lupa dengan
apa yang ada di hadapan dan silau dengan angan-angan. Bukankah lebih arif jika
kita mensyukuri apa yang berada di genggaman. menyikapinya sebagai bentuk
pemberian Allah yang terbaik untuk kita. Belum tentu yang di luar sana lebih
baik karena apa yang menurut kita baik belum tentu itu baik di mata Allah.
Begitulah manusia, seringkali kita terlalu sibuk menyesali apa yang belum kita
miliki dan lupa mensyukuri apa yang telah kita miliki.
0 komentar:
Posting Komentar