Jumat, Juni 14, 2013

“Bangunlah...”

“Bangunlah...”
Isma Az-Zaiinh

zaman kian berkabut
terselubung hati dalam pekat
mata silau gemerlap

jerat
terbiar diri dalam jajah
lihatlah,
lubang peluru di dada
tidakkah ada luka?
Menganga kian menganga
Meski raga bertegak dada
Sungging simpul berlatar derita

Lubang peluru di dada
Haruskah kita bersilap mata
Terjajah liliput-liliput era

Tak kah kau lihat?
Tak kah terlihat?
Hilang negara akan wibawa
Hilang penguasa akan etika
Hilang rakyat akan pranata

Bangunlah..!
Bangkitlah..!



“MERDEKA”

“MERDEKA”
Isma Az-Zaiinh

Merdeka...!!!
Merdeka...!!!
Merdeka merdeka merdeka
Merdeka
Merde ka merde ka
Mer de ka
Mer de ka
Merdeka ?
Merdeka merdeka ??
Merdeka kah merdeka ?
Merdeka yang merdeka ?
Apa merdeka,
Siapa merdeka,
Merdeka apa,
Merdeka siapa,
Merdeka teriak merdeka
Merdeka lah merdeka...!
Merdeka...!!!
Merdeka...!!!


Merdeka...!!!

“Maaf”

“Maaf”
Oleh Isma Az-Zaiinh

Maaf...
Maafkan diriku yang tak pandai bicara
Bisuku menoreh luka
Geming,
Dalam sambut segaris rekah merona
Ku tahu
Amat ku tahu
Ku biar
Mencipta gerimis dalam hati
Menelan genang tak terrela...

                Maafkan diriku yang tak pandai berkata
                Menahan buncah berai kata yang tersiksa
Ku sadar,
Amat ku sadar
Entah dimana ku bertemu
Kunci untukku menggapai,
Semisai cahaya pengukir warna
Menyibak tirai hujan
Entah air mata...

Maafkan diriku yang tak pandai mengungkap makna
Ini ku apa adanya
Belenggu tak mampu ku dusta
Sepi,
Sendiri,
Bahkan kerlip indah pun tak lagi berarti
Tak ku siksa
Meski perih ku kekang hati
Membungkam jeritan sunyi...

Maafkan diriku yang tak pandai mengungkap rasa
                Menyerah dalam simpuh
                Hingga fajar terusir senja
Di batas peluh lara,
Ku ikhlas menyambut takdir-Nya
Meski itu bukan kau yang di sana,

Meski itu bukan kau yang di sana...

“Kau Ibu”

“Kau Ibu”
Oleh Isma Az-Zaiinh

“Ibu....Ibu...., ada nenek-nenek di luar Bu...”
          “Iya Ibu, ada pengemis Bu, bajunya jelek” Celoteh kedua anak kecil sambil berlari berhamburan masuk ke rumah menemui Ibunya.
          “Ada apa sayang...” Jawab sang ibu sambil berjalan menuju pintu depan. Raut wajahnya menegang ketika ia melihat siapa yang dimaksud anaknya sebagai pengemis.
          “ Dira, Nina, masuk ke dalam dulu yah” Ucapnya kepada kedua anak kembarnya.
          “Mau apa Kau ke sini?!”
          ia jawab pertanyaan itu dengan menyerahkan sebuah bungkusan.
 “Sudahlah, jangan campuri kehidupanku..!, enyahlah, dan jangan pernah menampakkan wajahmu di hadapanku lagi...!” Ucapnya sambil melempar bungkusan yang ternyata berisi kue-kue kecil.
Sosok rapuh itu tak mampu menjawab, hanya air mata yang mampu mewakili betapa pedih hatinya. Ia langkahkan kakinya yang terasa semakin berat. Sangat berat. Betapa tidak, anak satu-satunya, yang ia rawat sejak kecil, memperlakukannya bak sampah yang mengganggunya.
Mendung semakin nampak. Langit yang sedari dari berwarna biru kini merubah kelam oleh mendung yang menyelimuti. Satu-satu, tetes air hujan mulai turun, menyentuh tubuh lemah yang berlajan pelan. Terseok, mencoba menyeret tubuhnya yang terasa akan jatuh, hanya bertumpu pada tongkat yang licin oleh guyuran air hujan. Air matanya bercampur dengan air hujan yang kini telah membasahi sekujur tubuhnya. Ia tak peduli. Hatinya telah hancur.
Teringat ia, kala berjuang antara hidup dan mati, berharap kehadiran sebuah kehidupan makhluk mungil. Air mata bercucuran penuh bahagia menyambut kehadiran malaikat kecil yang ia namai Intan. Dan kini, ia kucurkan air mata kesedihan demi mendengar orang yang paling ia cintai menyuruhnya untuk tidak pernah hadir di kehidupannya lagi.
Kelebat-kelebat memori silam datang menampar-nampar, membuka luka lama yang ia obati perlahan-lahan. Sesak kini menjalar memenuhi rongga di hati. Dinginnya air hujan tak mampu mengalahkan pedih yang terasa hingga ke sumsum tulangnya. Kala itu ia berusia 12 tahun.
“Ibu, kenapa ibu pincang sih..!Intan malu diledekin temen-temen..!” Ucapnya sambil melempar tas sekolahnya di hadapan ibunya. Kemudian ia lari masuk ke kamar membiarkan ibunya yang diam membatu.
Sang ibu memungut tas itu, mengusapnya, dan menciumnya. Tak terasa bulir air hangat mengalir dari matanya yang kemudian menjadi sesenggukan yang membuat tubuh ringkihnya berguncang.
###
Hujan semakin deras, sederas air matanya yang seolah tak mampu berhenti. Jalanan sepi, hanya sesekali kendaraan lewat menyelip tubuh ringkih tua yang berjalan terseok-seok. Memori-memori silam kembali berkelebat di depan matanya. Menusuk-nusuk hatinya yang telah hancur berkeping-keping. Kala itu ia kelas dua SMA. Di lorong sekolah yang sepi seorang gadis berseragam putih abu-abu dengan modisnya, berjalan menghampiri sosok tua yang sedang membereskan dagangannya.
“Kenapa sih harus jualan di sini?! Mau bikin malu saya ya..! Mulai besok jangan pernah jualan di sini lagi, ngerti..!!”
Sang ibu hanya diam.
“Udah nggak usah nangis..! Mentang-mentang bisu bisanya cuma nangis doang..!” ucapnya sambil berjalan cepat meninggalkan sosok yang kini berlinangkan air mata. Ia pendam semua kesedihannya. Tak pernah ia membalas ucapan kasar anak semata wayangnya. Ia mencoba mengubur kepedihan-kepedihan itu dan mengubahnya menjadi rasa kasih sayang yang ia berikan sepenuhnya kepada anaknya.
Hal yang paling membuatnya sedih adalah saat anaknya berniat untuk pergi merantau ke Jakarta seusai lulus SMA.
“Aku mau pergi, mau merubah nasib, bosan aku hidup miskin seperti ini!”
Lagi-lagi sang ibu diam. Meski hatinya meronta memohon agar ia tidak pergi, namun ia berusaha tersenyum dan memberikan secarik kertas.

Pergilah nak,
carilah kebahagiaanmu,
maaf aku tak bisa membahagiakanmu,

          Intan benar-benar pergi meninggalkan ibunya. Tak ia indahkan kertas yang diberikan oleh ibunya kepadanya. Baginya, lepas dari ibunya adalah suatu kemerdekaan. Sudah lama ia menanggung malu tinggal dengan orang yang menurutnya memalukan. Pincang, miskin, bisu pula. Ia pun berharap takkan pernah mempunyai orang tua seperti dia. Ia pergi tanpa menoleh ke belakang lagi. Tak ia lihat bagaimana raut wajah ibunya yang terasa berat melepas anaknya. Tak terasa air mata mengalir, menetes, mewakili pedih di hatinya yang teramat sangat.

                                                         ###

Suatu hari ia berkeliling menjajakan dagangannya, kue-kue kecil yang ia buat sendiri. Hari sudah menjelang malam. Nampak mega merah yang berarak mendekati pekat. Setengah lingkar matahari yang membara pun perlahan menenggelamkan diri di ufuk horison barat. Ia melangkah cepat, takut akan kemalaman di perjalanan. Di tikungan tiba-tiba muncul sebuah mobil yang melaju cepat.
Ckiiiiiitt...
Hampir saja ia tertabrak mobil itu jika saja mobil itu tidak mengerem dan ia melangkah selangkah lagi. Tuhan masih melindunginya. Segera saja penumpang dari mobil itu turun.
“Heh, bosan hidup ya..! kalo jalan pake mata dong..” ucap seorang perempuan yang tak asing suaranya. Dan ternyata, itu adalah suara anaknya. Anaknya yang telah pergi meninggalkannya empat tahun yang lalu. Sang ibu sangat kaget, melebihi kekagetannya sesaat lalu saat nyawa terasa hendak lepas dari raganya.
“Kau..., Kau.. a...anakku...” Ucap sang ibu terbata-bata menahan haru karena tak ia sangka akan bertemu dengan anaknya lagi.
“Kau...” Ucap sang anak yang tak kalah kagetnya.
“Siapa sih Mah?” Muncul sebuah suara dari dalam mobil yang di susul dengan kemunculan sosok tegap dan berbaju rapi.
‘Mungkinkah ia suaminya’ Batin sang ibu.
“Bukan siapa-siapa Pah, ayo pulang Pah, anak-anak sudah menunggu.”
Dua orang itu pun masuk ke mobil dan pergi meninggalkan sosok yang masih terheran-heran itu. Sang ibu tak mau melepaskan anaknya begitu saja. Ia ikuti  mobil itu yang ternyata berhenti tak jauh dari tikungan tadi. Gerbang rumah di buka dan muncul dua sosok mungil yang berteriak kegirangan menyambut ayah dan ibunya. Sang ibu hanya bisa mengamati dari kejauhan. Menahan haru melihat senyum dan tawa keluarga yang bahagia itu. Sejak itu, setiap hari ia ketempat ini. Sekedar melihat senyum tawa anak dan cucu-cucunya, meski itu dari kejauhan.
###
Langit masih saja menumpahkan airnya yang seolah tak pernah habis. Hari pun semakin pekat. Mentari telah benar-benar bersembunyi di peraduan. Meninggalkan sosok tertatih-tatih dalam guyuran hujan dan selimut gelap yang mencekam. Hanya sesekali sorot lampu kendaraan menerpa dirinya, menampakkan sosok rapuh tak berdaya. Ia terus saja berjalan, meski tak tahu kemana arah ia langkahkan kakinya. Seolah ia sudah tak peduli pada tanah bumi yang ia pijak itu. Pikirannya mengembara, menyelami memori-memori silam. Masih tentang anaknya. Dan hanya tentang anaknya. Hingga tiba-tiba sebuah mobil berwarna merah melesat cepat di pertigaan. Tak sempat sang pengemudi menginjak rem dan ujung mobil itu telah menyentuh sosok rapuh tertatih itu.
Brukk...
Sosok rapuh itu terjatuh. Darah mengalir bercampur dengan air hujan dalam malam yang pekat. Tetes-tetes hujan menjadi saksi bisu perjalanan sosok ringkih itu menanggung pedih. Melawan derita yang seakan tak pernah habis. Kelebat-kelebat memori semakin padam. Padam. Ia memejamkan mata dan jatungnya berhenti berdetak.
###
“Mah, anak kita yang ketiga mau diberi nama siapa?”
“Hmmm, bagusnya apa ya Pah.”
“Bagaimana dengan Maryam?”
“Maryam?!! Kenapa harus maryam??”
“Aku teringat dengan seseorang yang menyelamatkanmu waktu kau melahirkan dulu Mah, Ia datang tiba-tiba disaat aku sedang kebingungan mencari pendonor darah AB, sungguh ia bagai malaikat,saat itu aku sangat takut kehilanganmu Mah”
“Maryam? Bagaimana ciri-cirinya Pah?” Ucap sang istri penasaran.
“Ia memakai daster, dan membawa sekeranjang kue-kue waktu itu. Ah iya, ada tahi lalat di dagunya dan ia, ia bisu.”
Deg..
Tak salah lagi, itu adalah ibunya. Ah, kenapa ia merasa terharu kali ini. Terharu pada sosok yang amat ia benci. Tapi bagaimana pun ia telah menyelamatkan hidupnya. Ia berjanji suatu hari akan mengunjunginya, sekadar mengucap terima kasih.
“kenapa Mah,kamu kenal?”
“E, ti..tidak Pah” segera ia mengubah ekspresi kegugupannya.
###
Ia menghentikan mobil di depan rumah kecil yang lebih tepat disebut gubuk. Bangunan yang sudah sangat tua, terlihat dari dindingnya yang sudah jebol di sana-sini dan terkelupas menampakkan deretan batu-bata yang menyusunnya. Cat pada jendela dan pintunya pun sudah tak nampak. Lantainya masih berupa tanah.
Ia turun dari mobil. Sedikit ragu, namun akhirnya ia melangkahkan kakinya menuju gubuk yang pernah menjadi rumahnya dulu. Ia ketuk pintu. Tak ada jawaban. Ia ketuk lagi. Tetap tak ada jawaban. Ah iya, ia ingat mungkin ibunya sedang berkeliling menjajakan dagangannya seperti biasa. Ia pun berbalik arah hendak menuju mobilnya, hingga tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya.
“Nyari siapa Bu?”
Intan pun membalikkan badannya dan mendapati seorang perempuan muda seusia dengannya muncul dari balik pintu rumah ibunya.
“Nyari Ibu Maryam, ada?”
“Sayang sekali Bu, Beliau sudah meninggal seminggu yang lalu”
“A...apah??” ucap Intan kaget dan matanya berkaca-kaca.
“Maaf, kalau boleh tahu ibu siapa ya?”
“Sa..Saya bukan siapa-siapa.”
“Ah, sayang sekali, saya kira Ibu adalah anaknya yang sering beliau ceritakan. Saya ingin menyerahkan peninggalan beliau kepada anaknya.”
“Sa...Saya kenal dengan anaknya, apa yang ingin dititipkan? “Nanti akan saya berikan kepada anaknya.”
“Syukurlah, sebentar saya ambilkan.” Ia masuk dan tak lama kemudian ia muncul dengan membawa sebuah kotak persegi dari kayu.
“Ini, saya tidak tahu apa isinya. Tolong sampaikan ke Intan ya.”
“I...Iya.., saya permisi dulu, terima kasih.”
Ia pun pergi dengan membawa perasaan sedih dalam hatinya. Entah karena apa. Bagiamana ia bisa merasa sedih dengan kepergian orang yang selama ini ia benci. Apakah mungkin ia sudah tidak membenci ibunya lagi? Sesampainya di rumah ia segera membuka kotak itu. Kotak itu berisi sebuah buku. Buku yang terlihat sudah sangat tua Sampulnya berwarna coklat. Cukup bersih, mungkin ibunya merawatnya dengan baik. Ia mulai membuka buku itu lembar demi lembar.
                                                              
02-07-1965
Hidupku menjadi terasa indah dengan hadirnya sosok mungil dalam hidupku, Intan, anakku yang amat kucintai. Semua kesedihan karena ditinggalkan oleh suamiku seolah hilang semua. Hari-hariku menjadi lebih berwarna. Aku berjuang keras untuk selalu membahagiakanmu.

25-02-1970
Saat itu aku akan menjemputmu di TK. Kau melihatku dan langsung menghampiriku dengan menyebrang jalan di depan TK. Aku langsung menghampirimu menyelamatkanmu dari mobil yang hampir menabrakmu. Kau selamat Nak, aku bersyukur kau selamat. Meski untuk melihatmu selamat aku harus kehilangan satu kakiku dan sejak itu aku berjalan pincang.
04-12-1982
Suatu hari kau bertanya kepadaku, “Ibu, kenapa ibu pincang sih..!Intan malu diledekin temen-temen..!” Aku tak bisa menjawab. Bukan karena lisanku yang tak mampu berkata tapi karena hatiku yang tak mampu berkata. Aku tak mau kau merasa bersalah jika ku jawab kenapa aku pincang. Maaf nak, maafkan ibumu yang memalukan ini.

19-02-1998
Hari itu aku dipanggil kepala sekolahmu. Biaya sekolahmu menunggak. Aku datang. Aku datang untuk membayar sekolahmu dengan  kalung peninggalan ayahmu. Satu-satunya perhiasan yang aku punya. Hari sudah siang, jadi aku sekalian menjajakan dagangan di sekolahmu. Tiba-tiba kau datang dan berkata, “Kenapa sih harus jualan di sini?! Mau bikin malu saya ya..! Mulai besok jangan pernah jualan di sini lagi, ngerti..!! Udah nggak usah nangis..! Mentang-mentang bisu bisanya cuma nangis doang..!”
Maaf nak, maafkan ibumu yang tak tahu diri ini, maafkan ibumu ini yang memalukan ini. Dan maafkan ibumu yang tak bisa bicara ini. Aku menyayangimu, sangat menyayangimu.

13-09-2000
Di pagi buta, saat ku hendak pergi menjajakan dagangan, kau berkata kepadaku, “Aku mau pergi, mau merubah nasib, bosan aku hidup miskin seperti ini!” Aku sangat sedih kala itu. Tak apa kau benci padaku, tak apa selalu berkata kasar padaku. Asal kau tak pergi dariku. Aku ingin kau selalu ada di sampingku hingga ajalku tiba. Karena hanya kaulah alasanku untuk terus hidup Nak. Semua telah aku korbankan untukmu, hanya untukmu.  Tapi akhirnya aku melepasmu dengan berkata pada secarik kertas yang kau buang tanpa kau baca, “Pergilah Nak, carilah kebahagiaanmu, maaf aku tak bisa membahagiakanmu.”

07-01-2007
Sebenarnya aku sangat sakit kala kau tak mengakui aku bukanlah ibumu. Orang tua mana yang tak sakit hatinya setelah berjuang membesarkanmu dan tidak diakui sebagai orang tua nak. Tetapi aku terlalu bahagia bisa bertemu denganmu kembali.Tak ku sangka aku bertemu lagi denganmu. Kau telah kembali dari merantau. Kau berubah sekarang. Menjadi sangat cantik. Dan kau telah bersuami. Anak-anakmu sangat manis.. Sejak itu, diam-diam aku selalu mengunjungi rumahmu sekadar melihat senyummu, anak-anakmu, meski itu hanya dari kejauhan. Itu sudah cukup membuatku tersenyum nak. Berbahagialah nak, karena bahagiamu adalah bahagiaku.

06-06-2007
Kala itu ku tahu kau akan melahirkan. Aku datang ke rumah sakit. Daganganku yang sedari pagi belum laku ku biarkan saja. Aku menungguimu di situ, meski tak ada satu pun yang tahu nak, bahkan dirimu. Hingga ku dengar kau mengalami pendarahan hebat, aku langsung menawarkan diriku untuk mendonorkan darah kepadamu nak. Syukurlah kau selamat dan anakmu pun selamat.
21-12-2007
Besok aku akan ke rumahmu. Aku ingin melihat cucu baruku yang baru berumur enam bulan. Akan aku bawakan kue-kue kesukaanmu dulu. Semoga kau suka...


Tak terasa selama membaca catatan ibunya air matanya mengalir dengan deras. Betapa durhakanya ia selama ini. Betapa jahatnya ia selama ini. Ia telah menyakiti sosok malaikat yang sangat mencintainya. Terakhir ibunya menulis catatan di buku itu adalah hari dimana ibunya datang kerumahnya dengan membawa kue-kue yang ia lempar di hadapan ibunya.
Pedih. Bagaimana ia tak menyadari selama itu ia tinggal bersama seorang malaikat yang selalu menjaga dan menyayanginya. Ia menangis sejadi-jadinya hingga tubuhnya berguncang. Bahkan kata maaf pun belum sempat ia ucapkan.
‘Ibu..., ibu...’ Rintihnya dalam hati sambil memeluk buku tua peninggalan ibunya.
“Mah, kenapa Mah” Ucap suaminya khawatir setelah dilihatnya sang istri tercinta menunduk tersimpuh dan menangis sesenggukan.
“Pah, bimbing aku bertaubat Pah..”
Seusai tangisnya reda, ia ceritakan semuanya kepada suaminya dan ia pun meminta maaf karena telah membohongi suaminya bahwa ia seorang yatim piatu dan tak mempunyai kerabat.
“Sudahlah, aku memaafkanmu sayang..” Ucap sang suami dan memeluknya.
“Pah, aku akan berjilbab, aku akan menghafal Al-Qur’an, aku ingin memberikan jubah kemuliaan untuk orang tuaku di akhirat nanti Pah. Sebagai ucapan maaf dan terima kasihku yang tak sempat kusampaikan padanya.”
Sejak saat itu ia pun berjilbab dan mulai menghafalkan Al-Qur’an. Ia mulai rajin belajar tentang agama. Tak berapa lama, ia pun mendirikan sebuah panti jompo dan panti asuhan.  Ia curahkan hidupnya untuk lebih memperbaiki diri. Menata hati, jiwa, dan raganya. Hidayah telah benar-benar Allah turunkan kepadanya melalui perantara sang ibu, sosok malaikat yang kini amat dicintainya.
Suatu hari ia menziarahi makam ibunya. Tak seperti biasanya, kali ini ia datang sendiri. Sepoi angin sore datang membelai jilbabnya dan menembus relung hatinya. Terasa damai.
“Ibu..., seribu maaf mungkin takkan pernah cukup untuk menghapus salahku padamu. Tapi aku akan melakukannya, dan terus melakukannya, dalam untaian do’aku untukmu. Terima kasih..., terima kasih untuk keikhlasan cinta kasihmu yang tak pernah menagih pamrih.., Ibu...”






Semarang, 6 Juni 2013
 

Blogger news

Blogroll

About