Kamis, April 14, 2016

The Secret Book

“The Secret Book”
Isma Az-Zaiinh
27-02-2016




“Juna bosan Mah. Juna bosan hidup dengan Mamah. Mamah tak pernah punya waktu untuk Juna. Pantas saja ayah pergi, lari dari kehidupan Mamah yang gila. Seharusnya Juna ikut bersama Ayah. Juna benci Mamah.” Teriak Juna sambil berlari menuju kamarnya. Menguncinya dan berlari ke ruang perpustakaan pribadi di kamarnya. Juna duduk di bawah rak buku memeluk lutut dan menangis.
“Juna. Maafkan Mamah. Semua yang Mamah lakukan juga untuk kamu Juna.”
Tak ada jawaban.
“Juna, buka pintunya Juna.”
Tetap tak ada jawaban.
“Miauww.” Kucing kesayangannya mengeong dan mengusap-usapkan kepalanya di kaki Juna. Seolah menghiburnya. Juna meraihnya dan menaruh kucing itu dipangkuannya. Kucing itu kembali mengeong dan melompat turun dari pangkuan Juna.
 “Ceri? Mau kemana?” Sahut Juna.
Kucing itu menengok ke arahnya dan mengeong lagi. Kemudian berjalan berbelok ke kiri. Juna mengikutinya. Kucing berhenti di ujung lorong barat perpustakaan pribadinya. Kucing itu duduk termangu seolah menunggu. Ada sebuah pintu di sana.
 “Ceri? Kau membawaku ke sini?” Tanya Juna dengan raut muka heran.
Usianya 20 tahun. Dan selama itu ia belum pernah melihat pintu itu. Entah kekuatan apa yang membuatnya melangkah mendekati pintu itu. Memutar gagang pintunya. Pintu itu berderit. Gelap. Hanya ada cahaya yang menerobos dari jendela yang sedikit tersingkap tirainya. Lantainya kotor dan berdebu. Begitu juga ranjang dan semua perabot yang ada di sana. Kucing itu menerobos masuk yang diikuti oleh Juna.
“Miaauuww” Ceri mengeong di atas peti yang tergeletak di tepi ranjang.
“Kau menyuruhku membukanya?” Tanya Juna.
Juna pun membuka peti itu. Ada sebuah buku berwarna hitam. Juna meraihnya.
“The Secret Book” Juna membaca tulisan emas yang ada sampul hitam itu.
Juna membuka lembar pertama. Kosong. Hanya kertas usang yang kekuning-kuningan. Juna hendak membuka lembar berikutnya ketika tiba-tiba saja muncul tulisan di halaman yang tadinya kosong. Juna terperanjat kaget. Hampir saja ia melempar buku itu.
Ia buka perlahan matanya yang refleks terpejam. Jantungnya berdegup kencang. Ada tulisan-tulisan di lembar itu. Ia tak bisa membaca tulisan itu. Simbol-simbol aneh. Ia sampai di tengah-tengah buku itu. Kosong. Tidak, ada titik hitam. Titik itu semakin membesar. Membesar hingga memenuhi halaman buku itu.
“Aaaaaaaa...” Teriak Juna kala muncul cahaya menyilaukan dari lubang hitam yang menyedotnya masuk kedalam buku itu. Ia buka perlahan matanya. Ia tetap sama dengan posisi sebelumnya. Hanya saja, ruangan itu berubah. Bersih. Tirai jendela berwarna hijau. Seprei, bantal, cat tembok pun berwarna hijau lembut. Warna kesukaannya. Lantai marmer berkilau. Langit-langit kamar di lukis seperti langit sesungguhnya. Ada banyak bunga dalam vas di meja samping ranjangnya, di bawah jendela, dan di setiap ujung ruangan. Berwarna-warni. Indah.
Ceri melompat kepangkuan Juna. Bulunya yang hitam berubah menjadi putih bersih. Juna meraih kucingnya hendak memeluk. Kala itu ia tersadar, baju yang ia kenakan pun berubah. Menjadi gaun berwarna hijau lembut menjuntai kebawah dengan lapisan kain tipis berwarna hijau terang yang berkerlip-kerlip. Indah. Seperti gaun putri dalam dongeng. Ia berdiri. Berjalan. Memutar. Tak percaya ia mengenakan gaun seindah itu.
“Aaaaa....” Ia menjerit, lagi. Kala ia melihat pada cermin besar yang terpajang di atas meja rias di samping ranjangnya. Ia melihat gadis yang sangat cantik. Benarkah itu dia? Juna berjalan mendekati cermin. Menyentuh pipinya. Kemana perginya jerawat yang selalu memenuhi wajahnya itu? Pipinya lembut, merona, bersih dan cerah. Rambutnya? Bukan lagi kribo mengembang tetapi panjang hitam legam bergelombang. Ada mahkota kecil yang berkilau di kepalanya.
“Hwaahhh... Mimpikah?” Ucapnya sambil menepuk pipinya.
“Miiauww.” Ceri mengeong seolah menjawab pertanyaan Juna.
“Aaaaaaaa.... Ini nyataaaaa....” Teriak Juna sekali lagi. Juna berjingkrak kegirangan.
“Juna sayang, ada apa? Kenapa menjerit begitu?” Terdengar suara lembut dari balik pintu yang terbuka sedikit.
“Ma, mah?” Ucap Juna.
“Kamu panggil apa sayang? Mamah? Bukankah kau biasanya memanggil bunda? Bunda Elena” Ucap perempuan cantik di hadapan Juna.
“Eh, nggak Ma, eh, bunda.” Ucap Juna tergagap. Ia bingung hendak memanggil sosok di depannya itu dengan sebutan apa. Ia miripsekali dengan Mamahnya di dunia nyata. Namun di sini ia terlihat lebih cantik. Tidak seperti biasanya. Berantakan. Hidupnya hanya di laboratorium. Gila dengan penemuan-penemuan bodohnya.
“Ayo turun. Bunda menunggumu dari tadi untuk saparan bersama. Hari ini bunda masak menu spesial. Kesukaan kamu.”
“I, iya, Bunda.” Jawab Juna masih tergagap. Tak percaya. Bagaimana bisa ibunya berubah menjadi ramah dan lembut seperti itu. Biasanya tak seramah itu. Selalu mengabaikan Juna dan sibuk dengan dunianya sendiri. Ia berubah menjadi sangat cantik. Dengan gaun perpaduan warna biru tua dan muda. Indah.
Juna meraih ceri. Berjalan mengikuti perempuan itu.
“Huwwaahhh.” Desah Juna tercengang. Di depan kamar juna ada sebuah tangga berkilau yang menghubungkan dengan lantai dua. Sebuah ruangan yang sangat besar. Seperti aula. Di lantainya terbentang permadani yang sangat indah dan lembut. Dindingnya pun dihiasi dengan lukisan-lukisan  dan ormamen yang indah. Sungguh. Rumahnya seperti istana di negeri dongeng.
“Ayo sayang” Ucap perempuan bergaun biru itu.
Juna mempercepat langkah menuruni tangga. Menuju ruang makan. Juna lahap memakan makanan kesukaannya itu.
Usai makan perempuan itu berdiri. Mengayunkan tongkat yang ada di genggamannya. Semua peralatan makan itu terbang sendiri menuju wastafel. Bergerak-gerak seolah ada yang sedang mencuci. Setelah bersih semua perabotan itu terbang dan tertata rapi di rak.
“Mana tongkatmu sayang? Kamu tinggal di kamar?”
“A, eh, i, iya bunda.” Jawab Juna asal. Padahal ia tak tahu. Tongkat? Tongkat apa? Tongkat sihir? Benarkah ia mempunyai tongkat sihir? Seperti yang dipegang oleh perempuan itu?
“Tak apa. Bunda ambilkan.” Ucapnya sambil mengayunkan kembali tongkatnya. Dan benar. Tongkat lain muncul dari kamarnya. Terbang menuruni tangga, melewati ruangan tengah, dan sampai di depan Juna. Juna meraihnya. Bingung.
“Lakukanlah apapun yang ingin kau lakukan Juna.”
Juna berjalan dan diiringi oleh Ceri. Menuju taman di belakang istana. Sungguh. Indahnya tak tertandingi. Ada sebuah gazebo yang terbuat dari kaca dan kristal. Berkilau di tengah danau yang jernih airnya. Di sekeliling danau itu tumbuh bunga-bunga yang tertata dengan rapi. Berwarna-warni seperti pelangi. Kupu-kupu berterbangan dengan sayap-sayap yang indah di dedaunan pohon perdu yanga asri. Hari demi hari ia lalui di istana yang megah  itu.
Suatu saat ia sedang berada di halaman atas istana megah itu, dimana ia biasa menanti hadirnya sunrise dan sunset yang mengagumkan. Istana itu memang benar-benar megah. Berada di puncak bukit yang di sisinya adalah lautan yang indah memesona. Gerbang istana itu tampak kecil jika dilihat dari tempat ia berdiri saat ini. setiap hari ia melihat perempuan yang berpakaian sederhana berjalan menuju istana dengan di kawal oleh penjaga istana. Namun ia tak pernah melihat perempuan-perempuan itu berjalan keluar ke istana. Entah. Mungkin mereka tenaga baru yang direkrut menjadi pelayan di istana ini.
Hingga suatu hari. Kala ia sedang menunggang unicorn putihnya di taman istana. Perempuan itu memanggilnya.
“Ayo ikuti bunda. Sudah waktunya kita melakukan ritual itu sayang.” Ucap Elena sambil berjalan meninggalkan ruang makan.
“Ritual apa bunda?” Tanya Juna sambil beranjak mengikuti langkah perempuan itu.
“Kau lupa? Hari ini genap usiamu 20 tahun. Kau harus melakukan ritual ini jika ingin kecantikan dan kekuatanmu tetap abadi dan tidak pudar. Dan ritual  ini akan berlanjut setiap sebulan sekali.”
Ritual? Kecantikan? Kekuatan? Keabadian? Pertanyaan itu berkelebat di pikirannya. Hingga mereka sampai di depan pintu yang menjulang tinggi.
Perempuan itu mengayunkan kembali tongkatnya. Pintu itu berdebam. Terbuka perlahan. Di dalamnya ada sebuah kolam dengan air berwarna merah. Air? tak tampak seperti air. Entah. Darahkah?
“Masuklah ke dalamnya.” Ucap Elena.
“Ta, tapi ini apa bunda? Aku tidak mau.” Jawab Juna.
“Masuk. Kau tidak bisa menolaknya.” Jawab Elena tegas. Sorot matanya menakutkan.
“Tidak. Aku tidak mau.” Jawab Juna hendak berlari keluar ruangan itu.
Perempuan itu mengayunkan tongkatnya. Pintu megah itu berdebam dan kembali tertutup. Juna mendorong pintu itu. Percuma. Tenaganya tak kuat untuk membuka pintu kokoh itu.
“Kau harus tetap hidup Juna. Untuk meneruskan kerajaan ini.”
“Ta, tapi apa yang ada di kolam itu?”
“Itu adalah harga yang harus dibayar untuk apa yang ingin kita inginkan Juna.”
“Tidak. Bukan ini yang aku inginkan.”
“Bukankah ini impianmu? Menjadi putri cantik yang hidup di kerajaan mewah? Bukan hidup di rumah tua dengan Mamahmu yang gila itu. Gila dengan penemuan-penemuan tak bergunanya?”
Saat itu Juna teringat pada ibunya. Ia merindukan ibunya. Ia menyesal kala itu membentak ibunya dan berkata bahwa ia membencinya. Sekarang ia tak butuh kemegahan, kecantikan, dan kekuatan ini. Ia hanya butuh ibunya.
“Mamah.” Ucapnya lirih dengan derai air mata yang mulai mengalir. Ia mengayunkan tongkatnya ke arah perempuan itu. Tongkat itu mengeluarkan petir yang membuatnya terpental. Namun itu tak seberapa. Kekuatan Juna tak mampu menandingi Elena.
Elena balas mengayunkan tongkatnya. Bukan untuk melukai Juna. Melainkan mengambil tongkat yang digenggam oleh Juna. Tongkatnya terlempar jauh darinya. Juna tak bisa melawan.
“Ayo cepat.” Perempuan itu menarik paksa tangan Juna dan menyeretnya menuju kolam berisi darah itu.
Juna meronta. Ah, sayang sekali tongkatnya tak bisa ia raih. Mereka sampai di tepi kolam itu.
“Setelah ini kau takkan pernah bisa kembali ke duniamu yang dulu. Hahahhhaa...” Ucap Elena dengan tawa yang mengerikan.
Hingga tiba-tiba saja Ceri, kucing Juna, berlari menerjang wajah Elena yang membuatnya terjatuh ke dalam kolam itu. Juna langsung berlari meraih tongkatnya dan mengayunkan ke arah pintu itu. Sepertinya Elena kehilangan tongkatnya dikubangan darah itu.
“Jangan buka pintu itu Juna. Jangan!!!”
Terlambat. Pintu itu terbuka. Juna meraih Ceri dan melangkah keluar pintu itu. Ia kembali ke ruang perpustakaannya. Segera ia menutup pintu itu. Tepat saat Elena hendak sampai ke pintu. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya tersengal. Ia menghela napas dan memeluk Ceri.
“Juna, buka pintunya. Maafkan Mamah sayang.” Terdengar suara dari balik pintu kamarnya. Ibunya masih di sana? Jadi berbulan-bulan ia di dunia aneh itu tak merubah sedikit pun waktu di sini? Juna segera berlari. Membuka pintu kamarnya. Dan memeluk ibunya.
“Mamah, maafkan Juna. Maafkan Juna. Juna sayang Mamah.” Ucapnya dengan derai air mata.
“Mamah juga sayang kamu Juna. Maafkan Mamah.”

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About