Ketukan Hidayah-Mu
“Yaa banii Aadama qod
anzalnaa alaikum libasan yuwaarii sauaatikum wariisyan...(Al-A’raaf: 26)” Untaian ayat-ayat yang ia eja dalam pejaman mata terhenti
seketika kala sampai pada sepenggal ayat itu. Ayat itu membawa ingatannya pada
memori silam. Kala ia berada dalam kebimbangan yang mengguncang jiwanya.
“Hey, ko ngelamun sih?”
“Eh, nggak ko Ra. Emm, pulang yuk.”
“Hmm, udah jam segini, aku sholat dulu ya, takut sampe
rumah nggak sempet.”
“...” Tak ada jawaban.
“Ra, tuh kan ngelamun lagi.”
“Eh, i, iya. Jangan lama-lama ya.” Ucap Zahra tergagap.
“Kenapa tuh anak, setelah ikut pengajian tadi ko jadi pendiem
gitu ya. Apa ada yang salah dengan apa yang tadi disampaikan ustadz Syahdan?”
Ucap Naila membatin.
###
Ia buka jendela kamarnya. Seketika angin malam datang
menyerbu membelai wajah dan rambutnya yang panjang bergelombang. Ia pejamkan
mata dan entah kenapa pikirannya tertumbuk pada sebuah ucapan dari ustadz Syahdan.
"Allah berfirman dalam surat
Al-Ahzab: 59 .... Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka ...." Ucapan yang ia dengar dalam sebuah kajian yang pertama
kali ia ikuti selama dua tahun menduduki bangku di SMA.
Sebenarnya ia pun
ingin berjilbab. Ia ingin seperti Naila, teman sebangkunya. Di matanya ia
sangat anggun, baik, dan banyak disukai orang. Itulah kenapa ia beranikan diri
hadir dalam sebuah kajian rutin di sekolahnya yang diisi oleh ustadz Syahdan,
salah satu guru di sekolahnya.
“Dalam surat An-Nuur: 26 Allah pun berfirman: wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula) ....” Kembali kata-katanya terngiang-ngiang di benak Zahra.
“Apakah ia termasuk salah satu dari wanita keji itu?
Ucapnya membatin. Mendung kini terlihat di balik kelopak matanya yang sayu.
Segaris gurat pun terlukiskan di keningnya yang tak berponi. Benar. Hatinya
sedang bergejolak sekarang.
“Dan Rasulullah pun
pernah berkata dalam sebuah riwayat Bukhari dan Muslim. Wahai anakku
Fatimah! Adapun perempuan-perempuan yang akan digantung rambutnya hingga
mendidih otaknya dalam neraka adalah mereka itu di dunia tidak mau menutup
rambutnya daripada dilihat oleh lelaki yang bukan mahramnya.” Ucapan yang
ia dengar siang tadi kembali berkelebat menampar benak dan hatinya.
“Aaaaa....” Jeritnya sambil
berlari menubruk ranjangnya. Ia tarik selimut yang sedari tadi terlipat rapi.
Ia tutupi seluruh tubuhnya sambil menggigil ketakutan. Keringat dingin
bercucuran. Gurat di dahinya kini tak lagi segaris namun membentuk lekuk-lekuk
seperti gelombang.
“begitu hinakah diriku? Hina. Bisakah aku berubah? Yah,
aku harus berubah. Aku harus berjilbab. Tapi..., tapi tidak sekarang. Nanti.
Nanti saat aku telah benar-benar siap. Aku berjanji.” Ucapnya dalam hati yang
masih bergemuruh menahan gejolak perang di hatinya.
###
Bruukkkk....
“Ya Allah, Zahra...., Zahra bangun Nak....” Jerit ibu
Salamah dengan mendapati anaknya terkapar di depan pintu kamar mandi. Dengan cucuran
air mata dan desahan istighfar yang tak henti-henti sang ibu memeluk erat
anaknya kala hendak membawanya ke rumah sakit.
“Bu...” Ritih gadis berambut panjang itu.
“Ya Nak, Ibu di sini Nak.” Ucap sang ibu sambil menyeka
air matanya yang semakin deras.
“Sabar Nak, kamu akan sembuh.” Tak kuasa ia melihat
anaknya. Lehernya terputar 90 derajat dan tidak bisa ia gerakan. Mulutnya
mencong ke kiri. Padahal sebelumnya ia baik-baik saja.
“Ya Allah, apa salahku? Apa dosaku? Kenapa aku seperti
ini?” rintihnya dalam hati. ia merasa berada dalam ujung jurang yang menganga.
Langit begitu kelam ditambah kelebat kilat yang berkejaran. Angin bertiup
begitu kencang seolah semua sedang mendorongnya masuk ke jurang itu. Inikah
ujung dari hidupnya? Haruskah ini menjadi akhir bagi hidupnya? Bahkan ia pun
belum memenuhi janjinya.
“Allah, jika aku tahu akan seperti ini. Aku takkan
menunda untuk memenuhi perintahmu sebelum semuanya menjadi terlambat.
Seharusnya sejak dulu aku memenuhi perintahmu. Seharusnya sejak dulu aku
berjilbab.” Suara di hatinya meratap.
“Bu, A..ra ber..na..dzar
Bu, ji..ka A..ra sem..buh, A..ra a..kan ber..jil..bab.” Ucapnya dengan tetes
air mata yang jatuh luruh bersamaan dengan luruhnya sebongkah kerikil yang
selama ini mengganjal di hatinya.
“Iya Nak, kamu akan sembuh Nak, kamu akan sembuh.” Hibur
sang ibu masih dengan cucuran air mata yang tak henti-henti.
Malam semakin menampakkan pekatnya. Tak ada satu bintang
pun yang mau menampakkan diri. Zahra dipapah ibunya turun dari mobil. Suara
geledek roda dan derap kaki mengiringinya dalam pembaringan.
“Ibu....” Ucap Zahra lirih saat ia telah sampai tepat di
pintu masuk rumah sakit.
“Zahra..., ka..kamu.”
“Ara baik-baik saja Bu. Ara sudah baik-baik saja.”
Benar saja. Ia sembuh kembali kesediakala. Lehernya tak
lagi terputar dan mulutnya pun telah kembali normal. Bahkan seulas senyum ia
suguhkan pada ibunya untuk menegaskan bahwa ia memang baik-baik saja.
“Alhamdulillah Ya Allah.” Ucap sang ibu sambil memeluk
anaknya. Kini air mata yang mengalir bukan lagi air mata kesedihan namun air
mata kebahagiaan.
###
“Subhanallah..., Araaa....” Jerit Naila kaget melihat
sosok bergamis coklat dihadapannya. Sehelai jilbab krem bertengger membungkus
wajah yang kini tersenyum manis kepadanya.
“Bimbing aku ya..” Belum sempat Ara menyelesaikan
ucapannya Naila telah menubruknya dan memeluknya erat.
“Bimbing aku ya untuk menjadi khafidzah.” Bisik Ara
kepada Naila.
Kini kehidupannya pun berubah. Lantunan
ayat-ayat suci Al-Qur’an telah menjadi temannya sehari-hari. Ia tidak mau lagi
menunda-nunda untuk melakukan kebaikan. Ketukan hidayah itu telah merubah sang
ulat menjadi kupu-kupu.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
0 komentar:
Posting Komentar